A PHP Error was encountered

Severity: 8192

Message: Methods with the same name as their class will not be constructors in a future version of PHP; MY_Lang has a deprecated constructor

Filename: core/MY_Lang.php

Line Number: 16

Stop Fraud di Dunia Kesehatan

Better Policies Better Lives TM
Semua orang yang bergelut di dunia kesehatan paham bahwa fraud (kecurangan) ada dan dilakukan oleh dokter. Hasil penelitian yang telah dilakukan pada tahun 2007 menemukan sebesar 69 persen penyedia layanan kesehatan melakukan kecurangan. Kecurangan dilakukan paling banyak oleh penyedia layanan kesehatan yakni dokter, rumah sakit, dan laboratorium. Penelitian ini juga menemukan 31 persen peserta asuransi kesehatan kemungkinan melakukan kecurangan.
Stories of Change16-12-2016

Stop Fraud di Dunia Kesehatan

 Semua orang yang bergelut di dunia kesehatan paham bahwa fraud (kecurangan) ada dan dilakukan oleh dokter. Hasil penelitian yang telah dilakukan pada tahun 2007 menemukan sebesar 69 persen penyedia layanan kesehatan melakukan kecurangan. Kecurangan dilakukan paling banyak oleh penyedia layanan kesehatan yakni dokter, rumah sakit, dan laboratorium. Penelitian ini juga menemukan 31 persen peserta asuransi kesehatan kemungkinan melakukan kecurangan.[1]

Kecurangan dokter sebenarnya sudah terjadi sejak jaman sistem pembayaran biaya kesehatan ASKES. Tetapi praktik kecurangan mengalami booming sejak diberlakukannya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Di sebuah rumah sakit swasta di Yogyakarta, pada 2012 ada kasus pasien masuk menggunakan pembayaran ASKES, pasien melakukan operasi usus buntu (appendisitis akut) dan dirawat selama 5 hari.Ketika keluar rumah sakit pasien diminta membayar 20 juta rupiah. Harga yang sangat fantastik. Sementara biaya yang ditanggung ASKES hanya sekitar 2 juta rupiah.

Kita bandingkan dengan jaman JKN saat ini di mana  tarif operasi usus buntu akut sebesar 5.407.600 padarumah sakit kelas B regional V. Pada masa ASKES pasien membayar sesuai dengan pelayanan yang diberikan (fee for service) sedangkan jaman JKN pasien hanya membayar premi per bulan ke BPJS Kesehatan dan BPJS Kesehatan membayar ke rumah sakit berdasarkan kode diagnosa penyakit yang diderita pasien atau yang dikenal dengan sistem pembayaran INA CBG’s.[2]

Saat ini, beberapa profesi dokter secara terang-terangan memprotes nominal tarif INA CBG’s. Ada asumsi bahwa tarif INA CBG’s yang berlaku masih rendah sehingga biaya yang dikeluarkan rumah sakit untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien belum mencukupi. Rumah sakit menganggap dirinya rugi.

***

Secara teori ada tiga unsur fraudyaitu ada niat, berlaku curang, dan memperoleh keuntungan finansial.

Ada pernyataan dari seorang dokter di luar Jawa tentang pelayanan pada pasien JKN, “Rumah sakit akan memulangkan pasien jika biaya untuk melayani pasien BPJS Kesehatan sudah melewati batas tarif INA CBG’s”. Apakah ini fraud? Ini bukan fraud karena tidak ada niat untuk mendapatkan keuntungan, walaupun unsur niat susah dideteksi.

Potensi fraud tertinggi saat ini adalah mengubah kode diagnosa penyakit. Di sebuah RS, ketika dalam suatu diskusi kami menanyakan “Berapa jumlah pasien appendisitis perforasi?” Staf rumah sakit menjawab, “Yang benar-benar appendisitis perforasi atau yang sudah diubah?” Staf menjawab tanpa rasa takut dan ragu. Staf tidak mengetahui bahwa orang-orang yang terlibat dalam tindakan mengubah kode diagnosis tersebut telah melakukan fraud. Tindakan mengubah diagnosa penyakit dari appendisitis akut ke appendisitis perforasi merupakan salah satu jenis fraud.

Fraud dapat menyebabkan kerugian bagi pasien maupun BPJS Kesehatan. Fraud menyebabkan tersedotnya dana kesehatan yang di kelola BPJS Kesehatan. Uang negara dan masyarakat tidak terdistribusi ke rumah sakit-rumah sakit sesuai dengan alokasinya. Bayangkan berapa uang yang disedot oleh rumah sakit jika rumah sakit melakukan satu jenis fraudInstitute of Medicine of The National Academies memperkirakanfraud dalam pelayanan kesehatan mencapai 75 milyar dollar pada 2013.

Apa akibat fraud bagi pasien? Pasien dapat terkena risiko atau menjadi korban kerugian fisik karena prosedur yang tidak diperlukan atau berbahaya. Ada kasus di sebuah RS, pasien dipasang ring di jantungsebanyak dua kali dengan maksud pasien bisa daftar dua  kali sehingga rumah sakit bisa mengklaim dua kali, padahal pemasangan ring jantung dapat langsung dipasang sekali sehingga biaya yang dibayar oleh BPJS Kesehatan ke rumah sakit hanya sekali bayar.

***

Seberapa besar masalah fraud di Indonesia? Tidak ada seorang pun yang memiliki jawaban definitif karenafraud merupakan kejahatan yang pada dasarnya diawali dengan ketidaktahuan. Saat ini belum ada kajian yang menyatakan jumlah fraud pada masa JKN ini.

Tapi kita bisa berkaca kepada pengalaman Amerika Serikat. Setelah menerapkan program JKN, perkiraan besarnya jumlah fraud dalam sistem pelayanan kesehatan Amerika Serikat tercatat 3-10 persen. Prof. dr. Laksono Trisnantoro MSc., PhD selaku board PKMK FK UGM telah menyadari bahwa potensi fraud akan menjadi masalah di Indonesia jika JKN diberlakukan pada tahun 2014. Untuk itu sejak tahun 2013, Prof Laksono mulai memberikan pemahaman tentang fraud yang dapat terjadi di dunia kesehatan.

Kegiatan sosialisasi fraud  dilakukan kepada pengambil  kebijakan dan pemangku kepentingan, mulai dari dosen di perguruan tinggi, klinisi, manajer rumah sakit, kepala cabang BPJS Kesehatan, Kepala Unit Manajemen Pelayanan Kesehatan Primer, Kepala Unit Manajemen Pelayanan Kesehatan Rujukan, dan Kemenetrian Kesehatan. Proses sosialisasi dilakukan melalui metode blended learning menggunakan aplikasi goto webinarBlended learning merupakan pembelajaran dengan menggunakan tatap muka dan pembelajaran mandiri secara online. Program ini sangat membantu PKMK untuk terhubung dengan semua peserta blended learning yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Tim Blended learning PKMK ada Prof. dr. Laksono Trisnantoro, dr. Hanevi Djasri MARS, drg. Yulita Hendrartini M.Kes, drg. Puti Aulia Rahma MPH, Eva Tirtabayu Hasri S.Kep.MPH, Elisa Sulistyanigrum MPH, Anantasya Noviana SE dan Yulis Yuhiba ST.

Blended learning yang pertama kali dilakukan pada dosen dan peneliti di perguruan tinggi bertemakan “Pencegahan dan Pengurangan Fraud di Jaminan Kesehatan Nasional”, berlangsung pada bulan Febuari tahun 2014. Kegiatan ini mendapat dukungan dari KPK dan OJK dalam bentuk kesediaan menjadi narasumber.

Blended learning kedua bertemakan “Pencegahan dan Pengurangan Fraud di Jamianan Kesehatan Nasional untuk Klinisi, Manajer, Pengawas dan Peneliti di RS”, berlangsung selama bulan Juni sampai Agustus 2014. Sosialisasi dilakukan pada RS Cipto Mangunkusumo, RS Kariadi, RS Sardjito, RS Wahidin Sudirohusudo, RS Sanglah, RS Soeradji Tirtonegoro, dan RS Moewardi. Dari hasil sosialisai dihasilkan kajian tentang potensi fraud yang ada di Indonesia berdasarkan asumsi tujuh rumah sakit. Didapatkan 15 jenis fraud yang mungkin terjadi di Indonesia. Hasil ini menjadi dasar disusunya Permenkes 36 Tahun 2015 tentang kecurangan dalam JKN.

                                                    Jenis-jenis Potensi Fraud di Indonesia

Tindakan

Definisi Operasional

Persentase PotensiFraud Terjadi di 7 RS

Upcoding

Memasukkan klaim penagihan atas dasar kode yang tidak akurat, yaitu diagnosa atau prosedur yang lebih kompleks atau lebih banyak menggunakan sumber dayanya, sehingga menghasilkan nilai klaim lebih tinggi dari yang seharusnya

100 %

Keystroke Mistake

 

Kesalahan dalam mengetikkan kode diagnosa dan atau prosedur, yang dapat mengakibatkan klaim lebih besar atau lebih kecil

100 %

Cancelled Services

 

Penagihan terhadap obat, prosedur atau layanan yang sebelumnya sudah direncanakan namun kemudian dibatalkan

86 %

No Medical Value

 

Penagihan untuk layanan yang tidak meningkatkan derajat kesembuhan pasien atau malah memperparah kondisi pasien. Khususnya yang tidak disertai bukti efikasi secara ilmiah.

86 %

Standard of Care

Penagihan layanan yang tidak sesuai standar kualitas dan keselamatan pasien yang berlaku

86 %

Service Unbundling or fragmentation

Menagihkan beberapa prosedur secara terpisah yang seharusnya dapat ditagihkan bersama dalam bentuk paket pelayanan, untuk mendapatkan nilai klaim lebih besar pada satu episode perawatan pasien

71 %

Unnecessary Treatment

Penagihan atas pemeriksaan atau terapi yang tidak terindikasi untuk pasien

71 %

Phantom Billing

Tagihan untuk layanan yang tidak pernah diberikan

57 %

Inflated Bills

 

Menaikkan tagihan global untuk prosedur dan perawatan yang digunakan pasien khususnya untuk alat implant dan obat-obatan

57 %

Self Referral

 

Penyedia layanan kesehatan yang merujuk kepada dirinya sendiri atau rekan kerjanya untuk memberikan layanan, umumnya disertai insentif uang atau komisi

57 %

Type of Room Charge

 

Menagihkan biaya perawatan untuk ruangan yang kelas perawatanya lebih tinggi daripada yang sebenarnya digunakan pasien

57 %

Repeat Billing

 

    Cetak | Bagikan Email
 
 
 
 
 

 

Topik :

Write Your Comments Here

*required *email required
*required
Stories Of Change Lainnya

Setelah melewati serangkaian pertemuan intensif dengan…

Pada akhir bulan Juli 2016, KSI merilis "Call for…

Kita sering mendengar slogan “nothing can stay on…

Ketika meluncurkan aplikasi datapolitik.org, tak pernah…

Di negeri kita perizinan usaha dan pungutan (pajak/retribusi)…

Titah Menteri Kelautan dan Perikanan saat itu bukan…