A PHP Error was encountered

Severity: 8192

Message: Methods with the same name as their class will not be constructors in a future version of PHP; MY_Lang has a deprecated constructor

Filename: core/MY_Lang.php

Line Number: 16

Hilmar Farid: Distribusi Kuasa Melalui Birokrasi yang Inklusif

Better Policies Better Lives TM
Sejarawan, akademisi, aktivis dan kini birokrat adalah beragam identitas yang melekat pada sosok Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Beragam identitas ini muncul dari perjalanan panjang Fay, begitu pria kelahiran 8 Maret 1968 ini akrab dipanggil dalam kiprahnya membangun manusia Indonesia. Ia membidani lahirnya Jaringan Kerja Budaya dan Institut Sejarah Sosial Indonesia. Minat mendalam pada kebudayaan dan sejarah membawa Fay menjadi editor untuk Asian Regional Exchange for New Alternatives (ARENA) dan Inter-Asia Cultural Studies Society. Setelah melewati proses seleksi ketat oleh Tim Pansel, ia menjadi satu-satunya Direktur Jenderal di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang berasal dari jalur non-pegawai.
Knowledge Sector Interview05-04-2017

Hilmar Farid: Distribusi Kuasa Melalui Birokrasi yang Inklusif

oleh: Yuti Ariani dan Rini Astuti

Cendekiawan-aktivis dan kemudian menjadi bagian dari birokrasi. Bagaimana Anda mendeskripsikan perubahan posisi ini?

Sebagai cendekiawan-aktivis, kita menelaah suatu permasalahan dan kemudian menyajikannya dengan harapan analisis tersebut mampu memberi kejelasan pada bagian yang tidak begitu dimengerti oleh publik. Pada saat bersamaan, kita menyadari keterbatasan dari pendekatan ini karena efektivitas dari tindakan tersebut bergantung pada pembuat kebijakan. Kita hanya satu unsur diantara sekian banyak unsur lainnya yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Sebagai birokrat, posisinya terbalik. Kalau mulanya kita menganjurkan orang untuk melakukan sesuatu berdasarkan analisis, sekarang kita yang harus mengambil keputusan.

Apakah Anda melihat perubahan posisi dari cendekiawan-aktivis menjadi birokrat sebagai sebuah kontinuitas?

Pasti, itulah alasan mengapa saya masuk menjadi birokrat. Banyak teman saya memilih untuk tetap berada di luar dan mengkritik. Silahkan saja, tapi saya pikir sayang karena sekarang ada ruang terbuka yang memungkinkan untuk terlibat langsung didalam. Menurut saya dan teman yang ada di dalam, posisi watch dog ini tidak efektif. Daripada terus memberi masukan kepada orang yang belum tentu melakukan, lebih baik kita kerjakan sendiri. Untuk isu kebudayaan misalnya, daripada menulis di koran dan kemudian berharap ada orang baik diluar sana yang membaca kemudian menjadikannya sebagai bahan masukan pembuatan kebijakan, lebih baik langsung saja. Saya tahu persis dari posisi saya sekarang, prosesnya tidak begitu. Proses politik kita masih jauh dari public discourse yang diawali oleh proses pembentukan wacana dan kemudian orang dapat menyerap.

Anda dulu menggagas budaya Maritim yang inklusif. Bagaimana kelanjutannya?

Dulu saya punya gagasan, ide dan cita-cita, sekarang semuanya itu harus dikerjakan. Tentu tidak semudah membalikan telapak tangan. Sekarang saya bisa membuat Surat Keputusan (SK) untuk mewujudkan mimpi saya. Hanya saja tantangan dan cara kerjanya berbeda. Di luar, kita bisa berpendapat apa saja dan membahas satu isu dalam lokakarya yang tidak berujung. Di dalam, tidak ada dialog, saya cukup perintah dan orang-orang akan mengikuti. Dari segi volume pekerjaan tidak memungkinkan untuk melakukan lokakarya di dalam. Oleh karena itu strateginya adalah membuka ruang selebar mungkin bagi publik untuk terlibat sehingga bebannya tidak jatuh kepada individu-indiidu yang berada di dalam tapi kepada kantornya.

cendekiawan-aktivis bergerak atas dasar evidence. Dengan volume pekerjaan yang sangat besar, apakah Anda masih memiliki ruang untuk memiliki evidence-based policy?

Sangat ada. Masalahnya adalah bagaimana menciptakan ruang untuk melakukan evidence-based policy itu. Sebagai gambaran, pada saat saya masuk ke sini, saya diberi petunjuk teknis (juknis) yang harus diselesaikan pada tahun itu. Ketika saya lihat, saya bilang ini kegiatan Bantuan Sosial untuk membagi uang ke masyarakat. Saya bilang, sebelum dilanjutkan buat dulu ulasan terhadap apa yang telah dikerjakan. Hasil ulasan menunjukan carut marutnya kegiatan itu. Untuk selanjutnya, hal ini harus diubah, tapi proses perubahan ini tidak bisa hanya dengan kata-kata ‘sekarang kita menggunakan temuan-temuan di lapangan.’ Agar evidence-based bisa berjalan diperlukan formula baru melalui Peraturan Menteri baru yang kemudian disambung dengan juknis baru.

Sebagai seseorang yang berada di dalam birokrasi, bagaimana Anda memandang kuasa?

Dalam teori sosial, kuasa itu adalah hubungan sosial, bukan sesuatu yang melekat pada orang. Ketika seseorang sudah tidak menjabat, dia tidak lagi akan memiliki kuasa (power). Artinya, kekuasaan itu melekat pada jabatan dan susunan organisasinya. Juknis merupakan salah satu bentuk operasionalisasi kuasa. Biasanya, juknis ini diurus oleh staf padahal dokumen ini strategis sehingga harusnya dikelola oleh pemegang keputusan. Namun saya tidak mau terjadi akumulasi kekuasaan pada satu orang karena itu akan menciptakan relasi kekuasaan yang timpang. Kuasa harus didistribusikan sehingga relasi kekuasaan menjadi lebih demokratik. Caranya adalah dengan membentuk panel yang membaca dan memberikan penilaian atas proposal-proposal bantuan yang masuk, kemudian saya yang tandatangan. Kita tidak perlu mimpi korupsi akan hilang tapi ruang bagi orang untuk melakukan kecurangan akan berkurang. Kalau prosesnya dibuka, orang akan melihat kalau verifikator tidak memiliki peran dalam meloloskan proposal seseorang.

Birokrasi semestinya melayani, kalau dia tidak memberikan jasa masa seseorang harus membayar?

Operasionalisasi kuasa juga terlihat dalam proses penganggaran. Orang berkerumun di sekitar proyek-proyek. Kerumunan ini mengabaikan aliran politik atau kelompok kepentingan. Proyek-proyek ini bermuara pada anggaran sehingga Badan Anggaran menjadi epicentrum dari keseluruhan kuasa. Buat sebagian birokrat, Badan Anggaran kadang tidak dipandang sebagai sesuatu yang strategis. Mereka hanya memantau mata anggaran mereka sendiri. Padahal jantungnya adalah di proporsi pembagian anggaran yang mengacu pada RPJMN. Jadi kalau saya bicara tentang perubahan, tidak perlu terlalu ambisius. Karena kepentingan yang silang singkarut itu intinya ada di anggaran dan itu tidak mudah diurai tanpa posisi yang cukup.

Kalau Anda diberi wewenang yang lebih besar, apa yang akan Anda lakukan?

Pertama, mengurus susunan organisasi yang merupakan mesin birokrasi. Karena apa yang kita sebut korupsi, rente dan sebagainya itu dimungkinkan oleh mesin yang dibuat sedemikian rupa. Yang bisa mengubah ini hanya peraturan menteri. Kedua, menyederhanakan program. Sekarang terlalu banyak kegiatan yang tidak ada payungnya sehingga antara eselon satu sulit untuk berkoordinasi satu sama lain dan pada akhirnya kerja sendiri-sendiri. Jadi posisi sebagai Menteri ini seharusnya diperkuat dengan memikirkan orkestrasi organisasi ini.

 

Topik :
Knowledge Sector Interview Lainnya

Program Officer dari KSI, Mirisa Hasfaria, memiliki…

Knowledge Sector Initiative (KSI) merupakan komitmen…

President of Indonesian Academy of Sciences speaks…

Convenor Marine and Climate Change Sciences

Indonesian Young Academy of Sciences Part 1

Indonesian of Young Academy Sciences Part 2