Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Komisi Ilmu Sosial (KIS) AIPI bekerjasama dengan Universitas Negeri Malang (UM) menyelenggarakan seminar mengenai pendidikan tinggi pada 21 November 2015, di Malang. Ini adalah seminar ketiga dari serangkaian seminar yang didukung oleh Pemerintah Australia melalui Knowledge Sector Initiative (KSI). Fokus seminar yang dilaksanakan oleh KIS AIPI adalah untuk menyelidiki dan melaporkan keadaan pendidikan tinggi di Indonesia. Rektor UM, Prof. Dr. A.H. Rofi'uddin, membuka seminar yang dihadiri lebih dari 70 peserta.
Peserta seminar berasal dari akademisi 28 perguruan tinggi di Jawa Timur, termasuk Universitas Negeri Malang, Universitas Brawijaya, Universitas Surabaya, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dan lain-lain untuk membahas keadaan pendidikan tinggi saat ini dan cara-cara untuk meningkatkan kualitas serta pelaksanaan pendidikan, khususnya bidang ilmu pengetahuan dan penelitian.
Dalam pidato pembukanya, Prof. Mayling Oey-Gardiner dari AIPI menegaskan bahwa, "hambatan utama bagi kemajuan di bidang ini adalah kurangnya sumber daya manusia yang berkualitas dan perlunya perbaikan kualitas lembaga pendidikan tinggi sehingga bisa lebih kompetitif secara internasional. Prof. Mayling mengidentifikasi beberapa tantangan yang dihadapi oleh pendidikan tinggi di Indonesia: 1) Indonesia belum memberikan kontribusi yang berarti bagi dunia sains internasional; 2) pendidikan tinggi Indonesia didominasi oleh lembaga pengajaran daripada lembaga penelitian; dan 3) jalur karir akademik di pendidikan tinggi cenderung linear atau mono-disiplin - ini tidak sesuai dengan tren global dalam pengajaran dan penelitian yang cenderung menggunakan pendekatan multi-, inter dan trans-disiplin.
Pandangan serupa diungkapkan oleh Dr. Muhammad Dimyati, Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, yang menyatakan bahwa situasi penelitian saat ini mengkhawatirkan terutama karena penelitian belum memberikan kontribusi yang berarti bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dia mengatakan bahwa kebanyakan penelitian di Indonesia tidak dilakukan dengan semangat penemuan, tetapi hanya untuk memenuhi kewajiban. Penelitian seringkali menghasilkan temuan dan sebuah laporan tapi kemudian tidak dilanjutkan atau dibuang karena berbagai alasan. "Penelitian sosial dan humaniora perlu didorong sehingga dapat memberikan kontribusi dan mendorong pembangunan bangsa. Birokrat harus mengurangi hambatan dan rintangan sehingga peneliti dapat melakukan penelitian yang lebih produktif yang memberikan kontribusi untuk inovasi, " kata Dimyati.
Masalah ini juga diangkat oleh Prof. Dr. Lieke Riadi dari Universitas Surabaya yang menegaskan bahwa proses penelitian seringkali berhenti begitu publikasi, laporan penelitian atau paten dihasilkan dan temuan penelitian juga jarang digunakan pada tingkat industri atau pelayanan masyarakat.
Prof. Dr. Heru Setyawan dari ITS menekankan bahwa sebagian besar inovasi berasal dari proses penelitian dasar daripada sebelum penelitian tersebut dikomersilkan. Dia menyarankan bahwa, " tumbuh pesatnya budaya penelitian terlihat jelas bila para dosen lebih banyak menggunakan waktu mereka untuk penelitian daripada untuk mengajar, dan banyaknya mahasiswa yang terlibat dalam penelitian fakultas."
Seri ini akan dilanjutkan dengan seminar lain yang akan diadakan di luar Jawa untuk mengidentifikasi tantangan dan peluang dalam sistem pendidikan tinggi Indonesia. Hasil akhir dari seri ini berguna bagi pemerintah untuk mengetahui peran penting pendidikan tinggi dalam mewujudkan kemakmuran dengan cara meningkatkan inovasi dan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Hal ini penting jika Indonesia ingin kompetitif di kancah internasional.