Ketimpangan Perempuan dalam Birokrasi

Cakra Wikara Indonesia (CWI), sebuah lembaga riset politik dan kebijakan publik dengan perspektif gender, mengeluarkan hasil survei mengenai ketimpangan distribusi jabatan tinggi antara Pegawai Negeri Sipil (PNS) perempuan dan laki-laki pada birokrasi di 34 Kementerian. Hasilnya mengungkapkan bahwa rekrutmen PNS laki-laki dan perempuan memiliki proporsi yang berimbang, namun terdapat ketimpangan yang signifikan dalam perjalanan karier mereka.

Ketimpangan Perempuan dalam Birokrasi

Cakra Wikara Indonesia (CWI), sebuah lembaga riset politik dan kebijakan publik  dengan perspektif gender, mengeluarkan hasil survei mengenai ketimpangan distribusi jabatan tinggi antara Pegawai Negeri Sipil (PNS) perempuan dan laki-laki pada birokrasi di 34 Kementerian. Hasilnya mengungkapkan bahwa rekrutmen PNS laki-laki dan perempuan memiliki proporsi yang berimbang, namun terdapat ketimpangan yang signifikan dalam perjalanan karier mereka.

“Jumlah PNS perempuan yang menduduki jabatan eselon jauh lebih sedikit dibandingkan PNS laki-laki,” kata peneliti dari CWI, Dirga Ardiansa, saat di talk show KSIxChange#8 yang digelar oleh Knowledge Sector Initiative (KSI) dengan tajuk ‘Women in the Bureaucracy: Affirmative Action vs a Merit System, Jumat, 22 Februari 2019.

Acara ini dibuka oleh Knowledge Exchange and Learning Lead KSI Elisabeth Jackson dan dimoderatori oleh dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Sri Budi Eko Wardani. Perhelatan ini juga menghadirkan pembicara lain seperti Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan Lembaga Administrasi Negara (LAN) Reni Suzana, Inspektur Bidang Administrasi Umum Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Trisacti Wahyuni, dan Kepala Sub Bagian Perencanaan Karier Pegawai Badan Kepegawaian Negara (BKN) Eunike Prapti Lestari Krissetyanti.

Survei yang dilakukan oleh CWI dilakukan dengan cara mengumpulkan dan menganalisis data dari dua periode yang berbeda, yaitu sebelum berlakunya Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (2011-2012) dan setelah UU diterapkan (2014-2016). Hasilnya menunjukkan proporsi jumlah PNS perempuan di 34 kementerian stabil di kisaran 39 persen. Namun perempuan yang memangku jabatan tinggi/eselon (I-V) pada periode 2011-2012 hanya 22,38 persen dan hanya meningkat sedikit menjadi 23,48 persen setelah UU ASN berlaku.

Hasil survei kuantitatif ini kemudian ditindaklanjuti secara kualitatif oleh CWI dengan melakukan wawancara mendalam dengan PNS perempuan di eselon tinggi. Hasilnya, salah satu hambatan muncul ketika pola karier PNS yang mengharuskan mereka menjalani mutasi ke daerah sebagai jalur promosi.

“Perempuan sulit dimutasi ke daerah yang jauh karena harus mempertimbangkan anak dan izin suami,” kata Dirga.

Selain itu, jabatan eselon tinggi memiliki tuntutan jam kerja yang lebih panjang dan tidak fleksible sehingga terjadinya hambatan dalam pembagian waktu antara waktu kerja dan keluarga. Alhasil, perempuan lebih memilih keluarga ketimbang karier. Hal seperti ini jarang terjadi pada PNS laki-laki.

Dirga menyebut pola kenaikan jabatan ini sebagai hambatan tak kasat mata bagi PNS perempuan dan tidak terdeteksi oleh regulasi yang berlandaskan sistem merit seperti UU ASN.  Kebijakan rekrutmen dan promosi jabatan yang ada pada saat ini mengedepankan meritokasi dan abai terhadap realita kesenjangan PNS perempuan dan laki-laki.

Inspektur Bidang Administrasi Umum Bappenas Trisacti Wahyuni menyetujui pernyataan Dirga dan menambahkan bahwa ada enam hambatan atau tantangan yang dihadapi perempuan yang menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Enam hambatan tersebut adalah kultur patriarki di lingkungan kerja, peran domestik rumah tangga, stereotip gender, minimnya dukungan lingkungan kerja, motivasi memimpin, dan kebijakan yang masih netral.

Mengatasi ini, Trisacti memberi beberapa usulan agar hambatan PNS perempuan di tempat kerja bisa dikurangi. Masukan tersebut adalah penambahan fasilitas bagi perempuan seperti day care dan ruang laktasi, kebijakan struktural prokeadilan gender terutama terkait kenaikan jabatan, perubahan kultur yang menjadikan perempuan sebagai mitra setara dengan laki-laki, dan perpanjangan dan fleksibilitas batasan usia PNS penerima beasiswa.

“Batas penerima beasiswa biasanya 35 tahun. Di usia tersebut, perempuan sibuk dengan anak-anak yang masih kecil,” kata Trisacti.

Nasib Serupa PNS Perempuan Daerah

Ketimpangan jabatan perempuan dan laki-laki di birokrasi ternyata juga terjadi di daerah. Kepala Sub Bagian Perencanaan Karier Pegawai BKN Eunike Prapti Lestari Krissetyanti mengatakan jumlah perempuan yang menjadi PNS meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2018, jumlah perempuan mendominasi sebanyak 51 persen dari jumlah PNS di seluruh  Indonesia.

“Tapi peningkatan ini tidak diikuti dengan peningkatan signifikan pada jabatan struktural. Secara nasional, hanya ada 13 persen jabatan utama dan madya yang diduduki oleh perempuan,” kata Eunike.

Menurut Eunike, kurangnya jumlah pemimpin perempuan disebabkan oleh birokrasi daerah.  Peningkatan karier PNS perempuan di daerah lebih lambat dibandingkan pusat. Di daerah, PNS perempuan menempuh waktu rata-rata 15-20 tahun untuk mencapai posisi eselon 4, sedangkan di kementerian atau institusi pusat hanya membutuhkan waktu 4-6 tahun.

Mengatasi masalah ketimpangan PNS perempuan di pusat dan daerah, Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan LAN Reni Suzanna mengatakan perlunya memberikan hak-hak pengembangan kompetensi pada perempuan. Dengan demikian, perempuan yang menduduki posisi struktural mempunyai kapasitas menghasilkan kebijakan yang baik dan berspektif gender.

“Afirmasi bukan hanya sekadar menambah jumlah perempuan tetapi juga meningkatkan kapasitasnya agar menghasilkan kebijakan yang ramah gender,” ujar Reni.**

  • Bagikan: