Refleksi: Perubahan Masyarakat Sipil dan Produksi Pengetahuan pada Orde Baru dan Reformasi

KSIxChange #12 bersama dengan Fajri Siregar mengulas bagaimana organisasi masyarakat sipil memainkan peran penting dalam produksi pengetahuan

Refleksi: Perubahan Masyarakat Sipil dan Produksi Pengetahuan pada Orde Baru dan Reformasi

Refleksi: Perubahan Masyarakat Sipil dan Produksi Pengetahuan pada Orde Baru dan Reformasi

Pemahaman kritis tentang bagaimana organisasi masyarakat sipil memainkan peran penting dalam produksi pengetahuan, terutama ilmu sosial diulas melalui KSIxChange #12 bersama dengan Fajri Siregar, kandidat PhD dari University of Amsterdam yang juga faculty member dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia.

Dalam serial diskusi informal yang bertajuk The Frailties of Indonesia Knowledge Production, A Critical Reflection of Civil Society and Knowledge Production during Orde Baru and Reformasi pada 20 Juni, Fajri mengkaji secara seksama proses produksi pengetahuan oleh dua institusi yakni LP3ES dan INSIST. Ia mengungkap betapa jarangnya produk pengetahuan seperti penelitian, publikasi ataupun pelatihan dihasilkan dalam lingkup yang berkelanjutan baik secara finansial maupun secara mandiri ataupun swadaya.

LP3ES

Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial yang disingkat LP3ES adalah lembaga yang pertama kali mengenalkan metode quick count atau hitung cepat di Indonesia, tepatnya pada pemilu 1997. Para pungggawa LP3ES belajar ke sejumlah negara untuk menjalankan metode ini. “Hanya saja karena tidak mampu mengikuti perkembang pasar, akhirnya diambil dan dikembangkan oleh Lembaga lain seperti LSI,” kata Fajri.

Meski tertinggal dalam mengembangkan quick count, peran LP3ES dalam sejarah produksi ilmu pengetahuan di Indonesia sangat besar. Lembaga yang berdiri 1971, dikenal sebagai salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) terbesar di Indonesia, memiliki pengalaman dalam penerbitan, penelitian, serta pendidikan politik dan sosial. Maka dari itu, LP3ES menjadi satu obyek penelitian Fajri untuk mengetahui peran organisasi masyarakat sipil dalam memproduksi ilmu sosial saat ini, serta perbedaan yang terjadi saat orde baru dan pasca reformasi

LP3ES bisa disebut sebagai pelopor organisasi masyarakat sipil di periode pertama Indonesia. Sistem yang dibangun menjadi acuan LSM lain pada saat itu. Lembaga ini mewakili lembaga produsen ilmu pengetahuan sejak masa orde baru, walaupun sempat menghadapi banyak kendala dari segi pendanaan oleh donor hingga persoalan manajemen dan kelembagaan.

“Sepuluh tahun pertama boleh dikatakan mereka terjamin, sampai kemudian Ismid Hadad yang memimpin saat itu ingin menghentikan ketergantungan pada pendanaan institusional dari donor,” lanjut Fajri. Friedrich Naumann Stiftung FNS, lembaga donor dari Jerman tetap membantu pembiayaan, namun berdasarkan program atau proyek.

LP3ES mengakomodasi berbagai aliran pemikiran dan jaringan, termasuk sosialis dan religius. LP3ES menerbitkan buku-buku, misalnya tulisan-tulisan Prof. Mubyarto, tulisan Prof. Johanes tentang matematika ekonomi, Catatan Soe Hok Gie, Aku Seorang Demonstran dan tentu saja buku-buku akademik. Lembaga ini mengangkat banyak isu, dari soal pertanian hingga politik.

Produksi pengetahuan melalui Majalah Prisma

Produksi ilmu pengetahuan lainnya adalah melalui Prisma. Majalah yang mulai terbit 1972 ini berupaya menyuguhkan pembahasan soal-soal pembangunan ekonomi, perkembangan sosial, dan perubahan kultural di Indonesia. Berisi tulisan ilmiah populer, ringkasan hasil penelitian, survei, hipotesis atau gagasan orisinal. Prisma menjadi bacaan akademisi, mahasiswa, hingga pejabat. Fajri mengatakan Prisma sebagai pendorong wacana akademik selama Orde Baru. Prisma juga menjadi panggung bagi pejabat untuk menulis.

Pada masa kejayaannya (era 1980-1990) Prisma sempat dicetak hingga 7.000 eksemplar. Produksi Prisma terhenti pada 1998, tahun ketika reformasi bergema. Majalah ini lahir kembali lewat besutan Daniel Dhakidae. “Sejak lahir kembali hingga saat ini Prisma menjadi cost centre bagi lembaga, hasil penjualan tak pernah memberi keuntungan, terlebih harus bersaing dengan media online dan ketika kampus-kampus menerbitkan jurnal, Prisma makin sulit masuk pasar,” kata Fajri.

Sampai saat ini LP3ES masih menjalani usaha penerbitan dengan target minimal 10 judul per tahun.

INSIST

Sebagai pembanding dari LP3ES, Fajri menyoroti keberadaan INSIST atau Indonesian Society for Social Transformation, yang lahir jelang reformasi. Prisma berhenti terbit pada 1998, secara kebetulan muncul Jurnal Wacana dari INSIST Press.

Organisasi ini lahir di Yogyakarta tahun 1997 dari tangan Mansour Fakih dan Roem Topatimassang. Penerbitan INSIST Press mengembangkan wacana kritis, pemikiran alternatif, dan gagasan-gagasan baru tentang transformasi sosial.

“INSIST ini fokusnya lebih jelas yaitu keadilan sosial dan pemberdayaan komunitas. Ada dua kata yang sangat menggambarkan INSIST, yaitu organik intelektual,” jelas Fajri.  Salah satu karya Roem dalam penerbitan INSIST berjudul Sekolah itu Candu, sedangkan Mansoer Fakih menulis Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi.

Pada awalnya INSIST menerbitkan buku, majalah, jurnal, dan newsletter secara konsisten. Meski demikian kegiatan utama INSIST justru pelatihan komunitas. Kegiatan INSIST mendapat bantuan Lembaga donor dari Finlandia, KEPA. INSIST berkibar cukup kencang dalam tiga tahun. Lalu akibat masalah internal, pada 2006 muncul Resist Books, penerbitan baru yang dibuat oleh sejumlah pengurus internal INSIST.

INSIST, semula berbentuk yayasan lalu berubah jadi konfederasi. “INSIST memindahkan aktivitas ke wilayah regional, terdiri organisasi 13 daerah, produksi pengetahuan makin bermanfaat kalau dekat dengan komunitas,” lanjut Fajri.

Sebagai contoh INSIST di Jambi bersama komunitas petani setempat mempraktikkan pengetahuan tentang bertanam di lahan gambut. “Sayangnya ada persoalan knowledge management dimana pengetahuan yang mereka dapat di lapangan banyak menarik, tetapi mereka jarang menulisakannya dan mendokumentasikannya, tidak masuk jurnal, sehingga banyak publik yang tidak tahu,” papar Fajri.  

Kelembagaan produksi pengetahuan

Berkaca dari dua lembaga yang diteliti Fajri ada beberapa perbedaan tentang LP3ES yang lahir dan berkembang pesat di masa orde baru dan lembaga yang mulai memproduksi pengetahuan saat reformasi, INSIST Pers.  Fajri mengatakan LP3ES bersifat kritis tetapi juga modernis. “Saya melihatnya abu-abu, pemikiran kritis ada tapi juga mendukung program pemerintah, seperti dalam pembahasan UMKM dan ekonomi mikro,” katanya. Sedangkan INSIST dengan spirit awal ingin menginisiasi gerakan sosial, bersikap lebih kritis terhadap program pemerintah. “Tapi menariknya secara individual ada potensi menjadi fasilitator program pemerintah, misalnya fasilitator untuk BUMDES,” lanjut Fajri. Produksi pengetahuan LP3ES banyak mengangkat isu-isu nasional, sedangkan INSIST dengan transformasi yang kini berada di 13 daerah lebih dekat dengan isu lokal. 

Dalam perspektif makro, tantangan kelembagaan yang telah diulas diatas mencerminkan perubahan lebih luas yang terjadi dalam masyarakat sipil di Indonesia sejak masa awal Orde Baru hingga saat ini. Sebagai sebuah gelanggang, masyarakat sipil sendiri telah mengalami perubahan signifikan.

Mekanisme berbasis pasar yang didorong oleh komunitas donor serta persaingan kepentingan diantara para produsen pengetahuan hanyalah dua dari sekian faktor yang membentuk sektor pengetahuan saat ini. Kemampuan organisasi masyarakat sipil untuk beradaptasi dengan berbagai perubahan tersebut pada akhirnya menentukan luaran dari berbagai pekerjaan mereka, yaitu produksi pengetahuan baru.

Dalam upaya produksi ilmu pengetahuan Knowledge Sector Initiative (KSI) bermitra dengan 16 Lembaga Riset Kebijakan (Policy Research Institute/ PRI) untuk menghasilkan pengetahuan dalam sektor riset kebijakan guna mendukung kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy).

  • Bagikan: