Kinerja Riset Ilmu Sosial Indonesia Masih Rendah

Mengulas produktivitas maupun kualitas riset ilmu sosial di Indonesia bersama ALMI.

Kinerja Riset Ilmu Sosial Indonesia Masih Rendah

Kinerja riset ilmu sosial di Indonesia masih rendah, baik dari segi produktivitas maupun kualitas, termasuk dibanding sejumlah negara dengan produk domestik bruto (PDB) lebih rendah sekalipun. Hal tersebut perlu menjadi perhatian pemerintah dan semua pihak yang terkait dengan upaya memperkuat kinerja riset di negeri ini. Sebab, kinerja riset yang baik akan menghasilkan kebijakan publik berkualitas yang nantinya sangat penting mendorong kemajuan bangsa.

Demikian terungkap dari hasil penelitian yang dilakukan The Center for Innovation Policy and Governance (CIPG) dan Global Development Network (GDN) tentang “Melaksanakan Riset di Indonesia”, yang selesai disusun Agustus 2019 lalu. Hasil penelitian tersebut dikupas dalam acara KSIxChange#13, sebuah diskusi bulanan yang diinisiasi Knowlegde Sector Initiative (KSI) bekerja sama dengan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), yang kali ini digelar di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta, Selasa (24/9).

Dalam diskusi yang mengambil tema “Menilai Sistem Riset Ilmu Sosial di Indonesia” tersebut, hadir sebagai pembicara antara lain: Ketua Peneliti Dr Inaya Rakhmani, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, dan anggota peneliti Dr Zulfa Sakhiyya, dosen Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, dengan moderator Gita Putri Damayana, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK).

Inaya mengungkapkan, rendahnya kualitas kinerja riset ilmu sosial di Indonesia konsisten dengan minimnya produktivitas para ilmuwan sosial di negeri ini. Hal tersebut terlihat dari minimnya tingkat publikasi akademis ilmu sosial Indonesia dibanding sebagian besar negara-negara ASEAN yang berpenghasilan menengah. Dari sejumlah publikasi di jurnal peer-review internasional yang dinilai oleh Indeks Kutipan Ilmu Sosial (SSCI), hanya 12 persen artikel bidang ilmu sosial dan humaniora yang ditulis oleh peneliti Indonesia.

“Ini hanya setengah dari capaian Malaysia dan Thailand,” ungkap Inaya, yang juga anggota Badan Pekerja ALMI bidang Sains dan Masyarakat tersebut.

Alokasi anggaran riset Pemerintah Indonesia pun tergolong rendah. Indonesia hanya mengalokasikan sekitar 0,2% dari PDB untuk riset. Pada tahun 2017, angka tersebut 6-10 kali lebih rendah dibanding beberapa di kawasan Asia yang tingkat PDB-nya di bawah Indonesia. Sebagai perbandingan, Singapura mengalokasikan 2,2%, Malaysia 1,25%, dan Korea Selatan 4%.

“Secara signifikan, dengan alokasi anggaran riset yang rendah tersebut, produk riset yang dihasilkan pun menjadi tak berkualitas tinggi dan kurang berdampak,” lanjutnya.

Riset CIPG dan GDN menemukan bahwa kualitas dan produktivitas rendah riset ilmu sosial terjadi sejak masa Rezim Otoritarian (1965-1998), di mana pada masa itu organisasi dan lembaga penelitian dirancang untuk mendukung proyek-proyek pembangunan—tapi tidak ada ruang untuk mengkritisi pemerintah. Sejak 2010, Pemerintah Indonesia berupaya mereformasi kebijakan riset melalui privatisasi, marketisasi, dan internasionalisasi lembaga pendidikan tinggi.

Namun, kata Inaya, karena sistem birokrasi riset ilmu sosial pada awalnya dibentuk untuk kebutuhan Rezim Otoritarian, upaya internasionalisasi tersebut terhambat permasalahan struktural. Sementara,

budaya lama masih berlanjut dan menghambat tumbuhnya ekosistem riset menjadi lebih baik, di antaranya sistem riset yang masih dirancang sekadar untuk kebutuhan birokrasi dan mekanisme promosi kepangkatan yang ditentukan negara alih-alih untuk profesionalisasi akademik. Kondisi tersebut diperparah dengan ketersediaan alokasi anggaran riset yang masih rendah, audit anggaran hibah riset berlebihan, dan pendampingan riset yang masih sangat kurang.

“Ditambah ketiadaan tinjauan sejawat atau peer review membuat standard kualitas penelitian menjadi kurang teruji” lanjut Inaya yang juga menjadi salah satu peneliti dalam riset bersama GDN tersebut.

Rendahnya kebijakan berbasis riset akademik

Kebijakan publik yang baik harus berbasis riset ilmu sosial yang berkualitas. Di Indonesia, sayangnya, relasi keduanya kurang berjalan baik. Selain karena masih rendahnya kinerja riset ilmu sosial, kebijakan umumnya diproduksi secara politis dan tidak berdasarkan informasi akademik yang baik.

Zulfa mengatakan, banyak hasil riset ilmuwan sosial, betapapun buruk kualitasnya, sebenarnya dikomunikasikan dengan baik kepada publik dan pembuatan kebijakan. Dalam hal ini, dia mengapresiasi keberadaan sejumlah media massa yang berperan membantu peneliti mendiseminasi hasil-hasil penelitiannya, seperti The Conversation dan Indoprogress. Namun, karena kinerja riset umumnya masih rendah, pembuat kebijakan dan publik pun akhirnya lebih banyak terpapar hasil riset ilmu sosial dengan kualitas teoretis yang buruk.

Kondisi tersebut terjadi salah satunya karena besarnya proporsi jenis riset penugasan oleh pemerintah. Riset semacam ini, selain menghasilkan analisis yang lemah bagi pembuatan kebijakan, juga memperburuk ketimpangan persebaran penelitian.

“Sebab, umumnya didominasi oleh lembaga-lembaga riset yang berbasis di Jakarta dan Jawa. Sementara, prinsip kesetaraan gender pun kurang diperhatikan,” imbuh Zulfa.

Ke depan, kata dia, pemerintah harus dapat memanfaatkan dengan baik kehadiran Undang-Undang No. 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek), yang mengatur sistem dan kinerja penelitian nasional, sebagai pijakan perbaikan ekosistem riset. Prinsip kebebasan akademik perlu lebih didorong agar peneliti dapat menghasilkan dan menyebarluaskan riset mereka, serta berkontribusi lebih besar kepada pembuatan kebijakan.

Hal-hal kontraproduktif dari UU tersebut, sepert adanya ancaman pidana terkait perizinan riset harus dihindari “Sanksi pidana tersebut juga menghambat upaya Indonesia untuk mempromosikan kolaborasi penelitian internasional yang amat penting untuk meningkatkan kualitas riset,” tandas Zulfa.

Dukungan Knowledge Sector Initiative (KSI)
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, ada beberapa hambatan dalam membangun sektor pengetahuan yang sehat di Indonesia, seperti pendanaan, kualitas, dan ketersediaan riset. Knowledge Sector Initiative (KSI) yang merupakan program kerja sama anatara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia untuk mendorong peningkatan kualitas kebijakan melalui peningkatan permintaan dan penggunaan praktik baik dan bukti. Melalui KSIxChange#13 yang bekerjasama dengan ALMI, KSI memberikan wadah untuk berbagi pengetahuan mengenai lingkungan riset di Indonesia dan bagaimana meningkatkan kualitas penelitian dan memperkuat relevansinya sehingga dapat digunakan untuk mendukung penyusunan kebijakan.

  • Bagikan: