Pandemi Covid-19 yang mendorong digitalisasi di berbagai lini kehidupan membuat kesenjangan ekonomi semakin lebar. Butuh lebih dari sekadar insentif ekonomi untuk mendukung kelompok terdampak.
Hal tersebut dipaparkan peneliti ekonomi Universitas Indonesia Teguh Dartanto dalam acara KSIxChange#36: ALMI Special Scientist Series pada Selasa (21/9) lalu. Forum yang berjudul “Bagaimana Ilmu Sosial Humaniora Dapat Melindungi Kelompok Rentan Akibat Pandemi Covid-19” itu diselenggarakan oleh Knowledge Sector Initiative (KSI) bekerja sama dengan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI).
Forum tersebut menghadirkan pembicara yang memaparkan situasi kelompok-kelompok rentan di Indonesia. Selain Teguh, pembicara lainnya adalah peneliti seni dan budaya Universitas Negeri Jakarta Aprina Murwanti, peneliti pendidikan Universitas Negeri Semarang Zulfa Sakhiyya, Direktur Eksekutif Sajogyo Institute Maksum Syam, peneliti ilmu sosial budaya dan agama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Najib Burhani, dan peneliti kesehatan Universitas Hasannudin Sudirman Nasir. Inaya Rakhmani dan Evi Eliyanah dari ALMI menjadi moderator diskusi. Acara yang disiarkan di kanal Youtube The Conversation Indonesia ini dilengkapi dengan kehadiran penerjemah dan juru bahasa isyarat.
Teguh mendasarkan analisisnya mengenai kesenjangan yang terjadi selama pandemi dengan perspektif digital divide atau kesenjangan digital. Ia berargumen bahwa infrastruktur dan literasi digital yang belum merata turut berkontribusi pada lebarnya jurang antara si kaya dan si miskin. “Ini terjadi lantaran disrupsi ekonomi yang diakibatkan oleh proses digitalisasi yang tak dapat dihindari,” terang Teguh.
Tak semua pekerjaan dapat dilakukan secara daring. Teguh menyebut, rata-rata kelompok pekerja dengan pendapatan menengah ke bawah harus bekerja di lokasi pekerjaannya. “Ketika pembatasan aktivitas masyarakat oleh pemerintah diberlakukan, praktis mereka tidak bisa mendapatkan uang,” ungkap Teguh.
Hal ini berbanding terbalik dengan situasi kelompok pekerja dengan pendapatan menengah ke atas. Kelompok ini justru tetap mendapatkan dan bahkan bisa mengakumulasi pendapatannya. “Naturepekerjaannya memang memungkinkan untuk mendapatkan duit lewat internet. Tentu dengan ini pengeluaran-pengeluaran yang biasanya digunakan untuk transportasi dan lain-lain berkurang. Belum jika beberapa perusahaan mendukung aktivitas kerja dari rumah karyawannya dengan insentif tertentu,” papar Teguh.
Menurut Teguh, situasi tersebut membuat ketimpangan semakin lebar. Hal itu misalnya bisa dilihat dari pemberitaan media terkait hasil hasil survei yang menyebutkan bahwa harta kekayaan pejabat publik selama pandemi justru meningkat.
Meski sama-sama krisis, konteks ketika pandemi Covid-19 sangat berbeda dengan krisis-krisis sebelumnya. Pada krisis moneter di tahun 1998 silam, misalnya, kelompok menengah ke ataslah yang langsung terhantam krisis. “Saat itu angkat kemiskinan naik tapi angka ketimpangan turun,” papar Teguh.
Bukan sekadar insentif
Teguh menyebut bahwa solusi pengentasan kelompok masyarakat menengah ke bawah dari situasi saat ini tidak mudah. Upaya itu butuh sesuatu yang lebih dari sekadar insentif.
Jika mengambil sudut pandang digital divide, misalnya, solusinyapun bukan hanya sekadar dengan pemerataan infrastruktur internet. Sebab meskipun infrastruktur sudah merata, akses individu terhadap gawai dan jaringan internet bisa menjadi isu lain. “Sekalipun semua sudah terpenuhi, pertanyaan selanjutnya adalah akses yang sudah dimiliki tersebut digunakan untuk apa? Apakah dapat dipastikan bahwa masyarakat memang mengakses knowledge (pengetahuan) dari internet yang memang bisa meningkatkan kesempatan dan taraf mereka?”, lontar Teguh.
Terlepas dari kompleksitas tersebut, Teguh tetap mengapresiasi usaha yang sudah dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi kelompok rentan yang terdampak pandemi, khususnya masyarakat menengah ke bawah. Namun, apresiasi itu bukan tanpa catatan.
Teguh menilai data dasar yang dimiliki oleh pemerintah tidak menggambarkan situasi sebenarnya tentang dampak pandemi bagi masyarakat. “Inilah pentingnya program yang bersifat on-demand (sesuai permintaan). Sebab pandemi membuat kelas-kelas masyarakat begitu cair. Dari yang selama ini sudah cukup lama bekerja, tiba-tiba menjadi kehilangan kerja,” terang Teguh.
Menurut dia, penyusunan suatu kebijakan selama ini sering kali menggunakan kacamata ekonomi saja. Padahal, pendekatan sosial humaniora memiliki peran penting dalam memetakan kelompok rentan yang belum mendapatkan bantuan ekonomi dengan lebih tepat sasaran. Selain itu, penerapan pendekatan sosial humanioran juga bisa membantu pemerintah dalam merancang kebijakan perlindungan sosial yang inklusif dan adaptif untuk merespons perubahan.
Pada kesempatan tersebut, Teguh juga mengingatkan dampak panjang pandemi terhadap kualitas sumber daya manusia. Ia menyinggung potensi hilangnya waktu belajar (future learning losses) yang pada akhirnya nanti akan berdampak pada angka kemiskinan. “Proses pendidikan daring yang tidak bisa diikuti oleh setiap anak di Indonesia berpotensi menjadi masalah di masa depan. Keluaran peserta didik yang mengalami pendidikan daring pasti berbeda (dari pendidikan luring),” ujar Teguh.