Swakelola Tipe III Ciptakan Kolaborasi Berkelanjutan Antara Pemerintah dan Ormas

Swakelola Tipe III berpotensi menciptakan kolaborasi berkelanjutan antara pemerintah dan organisasi kemasyarakatan atau ormas dalam pengadaan barang dan jasa. Namun, saat ini masih ada sejumlah tantangan dalam penggunaan Swakelola Tipe III. Untuk itu, sosialisasi yang masif mengenai Swakelola Tipe III sangat diperlukan. Demikianlah pesan yang mengemuka dalam diskusi daring bertajuk “Pembelajaran Kerja Sama Pemerintah dan Ormas Menggunakan Swakelola Tipe III Tahun 2018-2021” pada Selasa (26/10/2021).

Swakelola Tipe III berpotensi menciptakan kolaborasi berkelanjutan antara pemerintah dan organisasi kemasyarakatan atau ormas dalam pengadaan barang dan jasa. Namun, saat ini masih ada sejumlah tantangan dalam penggunaan Swakelola Tipe III. Untuk itu, sosialisasi yang masif mengenai Swakelola Tipe III sangat diperlukan.

Demikianlah pesan yang mengemuka dalam diskusi daring bertajuk “Pembelajaran Kerja Sama Pemerintah dan Ormas Menggunakan Swakelola Tipe III Tahun 2018-2021” pada Selasa (26/10/2021). Diskusi ini diselenggarakan Knowledge Sector Initiative (KSI) bersama Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Dalam diskusi ini, hadir empat narasumber, yaitu Pelaksana Tugas Kepala LKPP Sarah Sadiqa, Emma Piper selaku perwakilan SOLIDARITAS, Direktur Operasional dan Keuangan The SMERU Institute Hesti Marsono, serta praktisi pengadaan barang dan jasa Santi Nurhayati. 

 

 

Swakelola Tipe III adalah salah satu cara pengadaan barang/jasa pemerintah yang mulai diberlakukan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang kemudian diperbarui dalam Perpres Nomor 12 Tahun 2021. Cara pengadaan ini memungkinkan pemerintah untuk mengakses keahlian unik yang dimiliki ormas untuk memenuhi kebutuhan barang/jasa pemerintah dengan pembiayaan dari APBN atau APBD. Pada peraturan pengadaan sebelumnya, belum tersedia mekanisme yang memungkinkan pelibatan lembaga penelitian non-pemerintah dan organisasi kemasyarakatan yang bersifat nirlaba. 

Menurut Hesti, sebelum lembaganya menggunakan Swakelola Tipe III, biasanya kerja sama dengan pemerintah menggunakan Swakelola Tipe I yang dianggap kurang ideal. Pasalnya, perwakilan lembaga ormas hanya dapat dikontrak atas nama individu, bukan atas nama lembaga. Sehingga, kerja sama tersebut tidak bisa membangun portofolio lembaga. “Namun, sejak menggunakan Swakelola Tipe III pada 2018, kolaborasi antara ormas dengan pemerintah lebih berkelanjutan karena tidak lagi atas nama individu, tetapi berlangsung secara kelembagaan,” ujarnya.

Selain itu, lanjut Hesti, Swakelola Tipe III ini memberi ruang bagi ormas untuk terlibat dan penyusunan kebijakan atau perencanaan bersama pemerintah. Skema ini memungkinkan terjadinya transfer pengetahuan dan keterampilan antara kedua pihak. Mekanisme ini juga disebut bisa memberikan alternatif pendanaan bagi ormas dan mengembangkan portofolio ormas yang terlibat.

Hal senada disampaikan Emma. Dalam kajian yang dilakukan SOLIDARITAS tentang penggunaan Swakelola Tipe III sejak 2018, ditemukan bahwa mekanisme ini memformalkan hubungan antara ormas dan pemerintah yang saling menguntungkan. Sebelum 2018, kerja sama ormas dan pemerintah biasanya perlu melibatkan pihak ketiga, seperti lembaga donor. Strategi ini diperlukan karena belum ada mekanisme pengadaan yang memungkinkan kerja sama langsung antara pemerintah dan ormas. Jadi lembaga donor mengontrak ormas untuk melaksanakan suatu pekerjaan, misalnya kajian atau penelitian, yang diperlukan pemerintah. 

“Dalam Swakelola Tipe III, pemerintah menjadi lebih menghargai keahlian dan kemampuan ormas. Biasanya, saat membuat kebijakan baru atau program baru, pemerintah perlu memahami apa saja kebutuhan masyarakat. Pemahaman ini sulit diraih pemerintah karena waktu dan sumber daya yang terbatas, termasuk jaringan ke masyarakat juga terbatas, terutama ke kelompok marjinal. Di sinilah ormas bisa berperan dalam mendukung dan meningkatkan kapasitas pemerintah,” ucap Emma.

Sementara itu, menurut Santi, Swakelola Tipe III memiliki kelebihan dalam hal kemudahan proses. Selain proses yang lebih sederhana, pihaknya menjadi paham bahwa dalam hal pengadaan barang dan jasa yang melibatkan ormas yang mempunyai keahlian yang tepat, penyelesaian pekerjaan berjalan cepat. Ormas memiliki keahlian atau ketrampilan yang tidak dimiliki lembaga lain termasuk lembaga pemerintahan.

Peluang dan tantangan

Swakelola Tipe III, menurut Sarah, memberikan kesempatan berusaha yang lebih besar bagi ormas. Selain itu, Swakelola Tipe III mampu mendorong adanya inovasi di bidang penelitian atau riset. Apabila sebelumnya Swakelola hanya dikenal di kalangan internal pemerintah, kini kebutuhan pemerintah dapat merangkul kalangan yang lebih luas, termasuk ormas dan perguruan tinggi swasta. Dinamika inilah yang melatarbelakangi revisi Perpres No 16/2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menjadi Perpres No 12/2021.

“Untuk anggaran tahun 2021, APBN kita sekitar Rp 2.000 triliun. Dari jumlah tersebut, setengahnya atau sekitar Rp 1.000 triliun diproses lewat pengadaan barang dan jasa. Apabila dibedah lagi, sekitar 60 persen dilaksanakan bersama penyedia (swasta) dan 40 persen dilaksanakan melalui Swakelola. Jadi, bisa dilihat betapa pentingnya Swakelola sebagai bagian dari proses pengadaan barang dan jasa,” kata Sarah.

Sarah menambahkan, jenis kegiatan yang paling banyak dilakukan dalam Swakelola Tipe III adalah riset atau penyusunan kajian, pendidikan, kegiatan terkait pemberdayaan masyarakat, kegiatan pendampingan, dan pengembangan teknologi informasi. Hingga Oktober 2021, nilai pengadaan barang dan jasa yang direncanakan melalui Swakelola Tipe III mencapai sekitar Rp 2 triliun dengan jumlah paket 3.300-an. Dibandingkan data tahun 2020, nilainya sekitar Rp 1,3 triliun dengan jumlah paket 4.900-an.

Kendati menghasilkan sejumlah dampak positif, berdasar kajian Solidaritas, masih terdapat sejumlah tantangan dalam penerapan Swakelola Tipe III. Tantangan tersebut di antaranya masih banyak pihak yang belum paham mekanisme Swakelola Tipe III. Masih ada keraguan tentang apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. 

“Tantangan lainnya adalah seputar anggaran dan pembayaran. Dalam membuat anggaran kadang ada kebingungan terkait standar biaya mana yang harus digunakan untuk Swakelola Tipe III,” ucap Emma.

Agar detail dan rincian tentang Swakelola Tipe III bisa dipahami publik, Hesti mendorong pemerintah untuk menyelenggarakan forum pembelajaran, dimana pihak-pihak yang sudah berpengalaman menggunakan Swakelola Tipe III dapat berbagi pengalamannya. Rekomendasi lainnya adalah memperbanyak koordinasi dan pelatihan di dalam unit kementerian, lembaga dan pemerintah daerah sehingga pemahaman terkait Swakeloka Tipe III menjadi lebih seragam.

“Yang terakhir, kami melihat perlu adanya pedoman berupa petunjuk tenis atau petunjuk pelaksanaan terkait Swakelola Tipe III. Harapannya tambahan penjelasan ini tidak membuat skema ini menjadi kaku, tapi justru memberikan pedoman yang lebih komprehensif,” kata Hesti.

KSIxChange adalah diskusi interaktif yang diinisiasi KSI, kemitraan antara pemerintah Indonesia dan Australia dengan pendanaan dari Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) Australia. KSIxChange yang digelar minimal sekali dalam sebulan bertujuan untuk mendukung pelaksanaan program pemerintah melalui peningkatan diskursus publik yang berdasarkan penggunaan bukti dalam proses pembuatan kebijakan. (*)

  • Bagikan: