Kolaborasi Multipihak Dorong Inovasi Kebijakan di Daerah

Diskusi dalam kegiatan KSIxChange#35 bertema “Pentingnya Inovasi Kebijakan dalam Optimalisasi Potensi Daerah” pada Kamis (26/8) membahas pembelajaran dari Sulawesi Selatan dalam pengembangan kebijakan berbasis bukti dan mendorong inovasi kebijakan di daerah. Harapannya, pendekatan penyusunan kebijakan berbasis pengetahuan ini dapat digunakan juga pada program strategis lain, dapat direplikasi oleh daerah lain dan dapat menjawab tantangan penguatan inovasi kebijakan.

Inovasi kebijakan secara teori diartikan sebagai proses membuat kebijakan atau regulasi baru guna mencapai hasil yang signifikan dan sistemik bagi kepentingan publik (Jordan & Huitema, 2014; Sururi, 2016; Wellstead & Nguyen, 2020). Terdapat tiga kategori inovasi kebijakan: inovasi dalam proses pembuatan kebijakan, inovasi dalam arah dan inisatif kebijakan, dan kebijakan untuk mendorong inovasi dan penyebarannya (Mulgan & Albury, 2003). Presiden Joko Widodo sendiri sering menekankan kepada seluruh jajaran kabinetnya untuk selalu membuat terobosan baru dalam menanggulangi permasalahan yang muncul dan tetap berada dalam koridor good corporate governance. Terobosan ini bisa hadir dalam ketiga kategori inovasi kebijakan dari mulai proses pembuatan, bentuk kebijakan, hingga hasil dari kebijakan yang dibangun. 

Dalam konteks pemerintah daerah, inovasi kebijakan juga diperlukan untuk pembangunan yang optimal. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah telah menyebutkan bahwa inovasi daerah diperlukan dalam rangka peningkatan kinerja penyelenggaraan pembangunan daerah.  Pemerintah daerah memainkan peran signifikan dalam memutuskan implementasi kebijakan yang paling tepat bagi daerahnya. Salah satu praktik yang sedang dilaksanakan di Provinsi Sulawesi Selatan dalam pengembangan kebijakan yang inovatif adalah melalui program rintisan Knowledge to Policy (K2P). Program ini menghadirkan inovasi kebijakan dari mulai proses pembuatan kebijakan, bentuk kebijakan, hingga hasil kebijakan yang dibuat berbasiskan bukti.

Diskusi dalam kegiatan KSIxChange#35 bertema “Pentingnya Inovasi Kebijakan dalam Optimalisasi Potensi Daerah” pada Kamis (26/8) membahas pembelajaran dari Sulawesi Selatan dalam pengembangan kebijakan berbasis bukti dan mendorong inovasi kebijakan di daerah. Acara yang diselenggarakan Knowledge Sector Initiative (KSI) ini menghadirkan Peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Sulawesi Selatan Yvonne M Salindeho, Koordinator Program Knowledge to Policy Yayasan BaKTi Rahmad Sabang, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman S Suparman, dan Plt Direktur Regional II Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) Mohammad Roudo. Policy Inovation and Development Lead KSI Budiati Prasetiamartati menjadi moderator dalam acara yang disiarkan secara langsung di kanal Youtube Asumsi ini. 

Mendorong Inovasi Kebijakan

Terdapat berbagai tantangan dalam mendorong inovasi kebijakan. Setidaknya, ada tiga hambatan yang muncul bagi suatu inovasi (Utomo, 2016). Pertama, hambatan yang muncul dari birokrasi itu sendiri. Hambatan ini berupa ketidakcocokan antar birokrat, sikap skeptis, koordinasi yang buruk, masalah logistik, kesulitan menerapkan teknologi baru dan lain sebagainya. Kedua, hambatan yang muncul dari lingkungan politik. Lingkungan politik berpengaruh terhadap implementasi inovasi karena erat kaitannya dengan penyediaan pendanaan maupun sumber daya yang lain. Ketiga, hambatan dari lingkungan eksternal organisasi publik, misalnya keraguan publik akan efektivitas program, kesulitan dalam mencapai kelompok target, dan perlawanan dari sektor swasta yang akan terpengaruh dari adanya inovasi (Borins, 2006). Tantangan lain yang mungkin juga muncul dalam penguatan inovasi kebijakan di Indonesia adalah masih adanya keengganan dari pimpinan instansi atau daerah untuk mereplikasi inovasi yang berhasil diimplementasikan di daerah lain (Utomo, 2016). 

Dalam diskusi KSIxChange#35, Direktur Eksekutif KPPOD Herman S Suparman memberikan analisis kondisi mengenai inovasi kebijakan daerah yang sudah dan masih perlu ditingkatkan penguatannya di tengah berbagai hambatan. Herman mengatakan, upaya pemerintah dalam mendorong inovasi kebijakan bisa dilihat dari tiga aspek, yakni kebijakan terkait inovasi, inovasi dalam pelayanan publik, dan inovasi dalam perancangan kebijakan. Di sisi kebijakan terkait inovasi, dukungan kebijakan dan komitmen pemerintah pusat dinilai sudah baik, terlihat dari berbagai peraturan yang sudah terbit. Demikian juga dengan inovasi dalam pelayanan publik yang sudah dilakukan pusat maupun daerah mulai dari pelayanan ijin usaha, pelayanan perijinan dan sebagainya. Namun, untuk aspek inovasi dalam perancangan kebijakan, masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan. “Dari kajian kami ada banyak perda (peraturan daerah) bermasalah,” jelasnya.

Menurut Herman, adanya perda-perda yang tidak mendukung inovasi kebijakan itu terjadi karena sampai saat ini belum ada standar terkait bagaimana cara merancang kebijakan. Merujuk pada berbagai jenis tantangan di atas, hambatan ini lebih bersifat birokratis dan muncul dari lingkungan politik. Perangkat untuk merancang kebijakan inovatif masih terus dikembangkan di tingkat pusat. Oleh karena itu, perlu upaya-kreatif lain untuk mendorong inovasi kebijakan. Dalam konteks itu, Herman menilai upaya Bappelitbangda Sulawesi Selatan yang menyelenggarakan kolaborasi kajian rantai nilai sutra merupakan contoh yang baik. Kolaborasi yang melibatkan unsur pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil itu menghasilkan policy brief yang mendorong kebijakan berbasis bukti.

Pembelajaran dari Sulawesi Selatan

Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan melalui Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Sulawesi Selatan bekerja sama dengan Yayasan BaKTI, berupaya melaksanakan kajian kolaboratif rantai nilai komoditas unggulan daerah, yaitu sutra, yang menghasilkan berbagai rekomendasi untuk penyusunan kebijakan. Pendekatan ini juga sedang diterapkan pada kajian rantai nilai komoditas talas bekerjasama dengan Yayasan PINUS Sulawesi Selatan. Saat ini, Bappelitbangda Sulawesi Selatan tengah menyiapkan Standard Operating Procedure (SOP) kajian kolaborasi yang akan menjadi referensi pelaksanaan kajian lintas-disiplin ilmu dan melibatkan multipihak untuk pemecahan masalah yang dihadapi pemerintah daerah. Harapannya, pendekatan penyusunan kebijakan berbasis pengetahuan ini dapat digunakan tidak saja pada pengembangan komoditas tetapi juga pada program strategis lain, yang dapat direplikasi oleh daerah lain. Hal ini dapat menjawab tantangan penguatan inovasi kebijakan dalam mereplikasi inovasi yang berhasil diimplementasikan di daerah yang berbeda.

Peneliti Bappelitbangda Sulsel Yvonne M Salindeho menjelaskan, ada banyak pembelajaran yang dirasakan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dari kolaborasi kajian rantai nilai sutra yang dilakukan bersama Yayasan BaKTi dan akademisi. Anggota tim berasal dari berbagai disiplin ilmu sehingga bisa saling melengkapi. Kualitas penelitian pun menjadi lebih bagus serta relevan dengan kebutuhan masyarakat. Penelitian juga bisa dilakukan secara lebih utuh. “Penelitian yang sudah-sudah berjalan sepotong-sepotong. Dari kolaborasi ini bisa melihat secara utuh dari hulu sampai hilir,” ujarnya.

Bagi peneliti yang terlibat di dalamnya, kolaborasi itu membuka ruang pertukaran ide dan wawasan. Itu penting karena akan berdampak pada bertambahnya kapasitas inovasi di daerah yang akan berujung pada peningkatan produktivitas. “Jika bisanya satu penelitian menghasilkan satu policy brief, kajian rantai nilai menghasilkan empat policy brief, sejumlah tulisan dan ide-ide baru yang bisa dikembangkan ke depan,” tambahnya. Empat policy brief ini membahas rekomendasi untuk mengembalikan kejayaan sutra Sulawesi Selatan di sektor hulu, manufaktur, hilir, dan lintas-sektor. 

Rahmad Sabang dari Yayasan BaKTi menuturkan, setiap tahapan dalam kajian rantai nilai sutra dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan banyak pihak. Pilihan untuk mengkaji sutra sebagai produk yang pernah unggul di Sulawesi Selatan tidak ditentukan sejak awal, melainkan  merupakan hasil dari proses diskusi untuk menemukan potensi daerah yang bisa menyejahterakan masyarakat. “Tanpa kajian yang komprehensif, akan susah menemukan apa yang dibutuhkan pemerintah untuk mendorong perbaikan ekonomi masyarakat,” tegasnya.

Menurut Rahmad, peran Yayasan BaKTI dalam kajian tersebut adalah perantara pengetahuan (knowledge intermediary) yang menjembatani dan menghubungkan produsen pengetahuan baik di lembaga penelitian pemerintah, akademisi maupun organisasi masyarakat dengan pemerintah daerah selaku pengguna pengetahuan. Belajar dari pengalaman itu, Rahmad meyakini bahwa kolaborasi multipihak dalam kajian rantai nilai sutra bisa direplikasi untuk sektor lain baik di Sulawesi Selatan maupun daerah lain. Ada empat hal yang menurutnya perlu diperhatikan agar replikasi itu bisa berjalan, yakni adanya lembaga perantara pengetahuan yang bebas kepentingan politik, sosok yang bisa diandalkan di masing-masing lembaga yang terlibat dalam kolaborasi, keterkaitan antara kegiatan yang dilakukan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) serta visi dan misi pemerintah daerah, serta pemahaman terhadap prosedur kolaborasi yang telah ditetapkan Kementerian Dalam Negeri.

Kolaborasi Multipihak

Terkait dengan inovasi daerah, Plt Direktur Regional II Kementerian PPN/Bappenas Mohammad Roudo menyampaikan bahwa regulasi yang mendorong adanya inovasi di daerah sudah tersedia. Selain termuat dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, aturan turunan terkait inovasi daerah juga telah ada. Meskipun demikian, ada hal-hal lain yang perlu dipenuhi untuk menumbuhkan inovasi di daerah. Pertama, iklim inovasi perlu dibenahi antara lain melalui sistem penghargaan dan sanksi yang terlembagakan. Kedua, nilai-nilai inovasi perlu diinternalisasikan secara efektif baik di tingkat pusat maupun daerah. Selain perlu ada dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) maupun RPJMD, nilai-nilai itu perlu terus dikawal pelaksanaannya. Ketiga, tantangan teknis yang memengaruhi inovasi, misalnya berupa rotasi pegawai, alokasi pendanaan, apresiasi terhadap peneliti dan sebagainya perlu ditangani dengan serius.

Selain tiga hal itu, ia menyebut kolaborasi multipihak untuk mendorong inovasi juga sangat diperlukan. Apalagi, target daerah dengan Indeks Inovasi Tinggi pada RPJMN 2020-2024 mencapai 36 persen. ”Kebijakan berbasis pengetahuan ini tidak bisa dikerjakan pemerintah sendiri, perlu melibatkan berbagai pihak,” tambahnya. 

Kajian Rantai Nilai Sutra menerapkan pendekatan kolaborasi multi-aktor dan multi-disiplin sebagai realisasi konsep multi-helix dalam kerangka penyusunan kebijakan berbasis bukti di Sulawesi Selatan. Pemerintah perlu merumuskan kebijakan berbasis bukti agar bisa mengoptimalkan berbagai potensi yang dimiliki daerah bagi kesejahteraan masyarakat. Langkah untuk mendorong inovasi dalam merumuskan kebijakan berbasis bukti itu membutuhkan kolaborasi multipihak. Demikian poin penting dari diskusi KSIxChange#35 yang membahas pentingnya inovasi kebijakan dalam optimalisasi potensi daerah. KSIxChange adalah diskusi interaktif yang diinisiasi Knowledge Sector Initiative (KSI), kemitraan antara pemerintah Indonesia dan Australia dengan pendanaan dari Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) Australia. KSIxChange yang digelar minimal sekali dalam sebulan bertujuan untuk mendukung pelaksanaan program pemerintah melalui peningkatan diskursus publik yang berdasarkan penggunaan bukti dalam proses pembuatan kebijakan.                                

  • Bagikan: