Covid-19 dan Solusi Ekonomi Sosial bagi Kelompok Marjinal

Langkah apakah yang dapat diambil oleh pemerintah untuk menangani dampak pandemi Covid-19 terhadap masyarakat dengan ekonomi rentan? Adakah skema atau stimulus yang potensial untuk dapat dilakukan untuk memberikan tunjangan pendapatan bagi mereka? Artikel ini adalah ulasan dari KSIxChange #18 bersama dengan Vivi Alatas, Sonny Mumbunan dan Andhyta Firselly Utami.

Covid-19 dan Solusi Ekonomi Sosial bagi Kelompok Marjinal

(Only available in Bahasa Indonesia)

Pandemi covid-19 atau virus corona berdampak pada pola perilaku dan perekonomian di Indonesia. Metode social distancing atau jaga jarak yang diterapkan melalui metode bekerja di rumah hanya efektif untuk pekerja formal yang tidak memerlukan interaksi langsung. Sementara menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2019, 57persen usia produktif atau sekitar 74 juta jiwa merupakan pekerja informal yang akan kehilangan pendapatan bila tak bekerja setiap hari.

“Kelompok miskin dan rentan bisa terdampak dua hal. Pertama, kemungkinan tak mampu melakukan preventif dan social distancing sehingga lebih rentan terkena covid-19. Kedua, mereka terkena dampak ekonomi saat tak bisa bekerja karena sakit,” kata pakar ekonomi mikro sekaligus Chief Executive Officer Asakreativa Vivi Alatas saat berdiskusi daring di KSIxChange dengan topik ‘Covid-19 dan Dampak Ekonomi Sosial Bagi Kelompok Marjinal di Indonesia’, Senin, 23 Maret 2020.

(Baca juga ulasan Vivi Alatas melalui Twitter mengenai solusi ekonomi untuk kelompok marjinal) 

Dalam diskusi yang dimoderatori oleh Andhyta Firselly Utami dari Think Policy Society itu, Vivi mengatakan corona adalah ‘badai’ yang perlu diatasi bersama-sama termasuk  metode social distancing. Kelompok miskin mungkin tahu dan mau melakukan upaya jaga jarak fisik namun belum tentu mampu dengan adanya pertimbangan ekonomi yang mengharuskan mereka tetap bekerja untuk keluarga.

Menyikapi ini, Vivi memberikan solusi seperti negara lain yaitu cash transfer atau bantuan langsung tunai (BLT) kepada kelompok miskin dan rentan sebagai kompensasi berhenti bekerja untuk sementara. Kabar baiknya, kata Vivi, pemerintah Indonesia sejatinya sudah terbiasa melakukan bantuan langsung tunai.

Tantangannya adalah kelengkapan data dan target kelompok sasaran yang lebih besar daripada BLT yang ada selama ini. Vivi menyarankan bantuan sebaiknya tidak diberikan kepada masyarakat miskin saja tetapi juga hampir miskin atau kelompok rentan lain yang kemungkinan tak bisa memenuhi kebutuhannya karena tak bekerja.

“Kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah diperlukan untuk memastikan sampai akhir agar bantuan tepat sasaran,” ujar Vivi.

Sedikit berbeda dengan Vivi, dosen sekaligus ekonom dari Research Center for Climate Change (RCCC) Universitas Indonesia serta anggota Akademi Ilmuan Muda Indonesia (ALMI) Sonny Mumbunan mengusulkan mengenai universal basic income atau BLT Universal kepada seluruh pekerja sebagai kompensasi penghasilan yang hilang. Bantuan ini tak terbatas pada kelompok miskin dan rentan tetapi kepada semua pekerja berbayar maupun tak berbayar.

(Baca juga ulasan Sonny Mumbunan melalui Twitter mengenai solusi ekonomi untuk kelompok marjinal) 

Sonny mengatakan ciri khas bantuan ini adalah memberikan (uang) tunai agar bisa langsung digunakan, untuk individu bukan hanya kepala keluarga, tak bersyarat, dan sifatnya menyeluruh atau universal kepada semua orang. Tantangannya, katanya, keterbatasan pendanaan namun bantuan ini merupakan bentuk antisipasi bila kemungkinan ada pandemik lagi yang serupa di masa depan.

“Kita tidak dalam posisi mengetahui siapa yang terkena dampak covid-19 saat ini, dan 80 persen pun tidak menunjukkan gejala. Karena itulah, perlu bantuan yang lebih universal,” ujar Sonny.

Cara BLT universal ini juga dianggap efektif karena bisa menghilangkan biaya-biaya verifikasi penerima bantuan dan mencegah stigmatisasi terhadap kelompok miskin. Namun Sonny mengakui konsep ini memang masih menimbulkan perdebatan panjang dan perlu melihat kesiapan finansial.

Selain terkait bentuk bantuan, hal yang perlu diperhatikan ialah ihwal distribusi bantuan dan logistik. Vivi Alatas mengatakan pemerintah perlu memastikan ketersediaan logistik dan menentukan rantai pasok yang tepat. Cara ini untuk menghindari kerumunan orang untuk mendapatkan bantuan atau membeli logistik yang justru rentan memudahkan penularan corona.

“Salah satunya ialah kurangi jumlah orang ke pasar, waktu yang tepat untuk ke pasar, berapa lama berada di pasar namun bagaimana caranya barang pedagang tetap laku,” ujar Vivi.

Vivi menuturkan perkembangan teknologi memang memberi kemudahan bagi masyarakat untuk mengurangi kontak. Namun yang perlu dipertimbangkan adalah daerah-daerah yang masih kesulitan akses. Salah satu cara yang bisa digunakan adalah penggunaan dana desa untuk memberikan perlindungan sosial masyarakat rural seperti penyediaan transportasi dan alur pasok logistik.

Pencegahan dampak bagi masyarakat miskin lainnya ialah melibatkan pihak non-pemerintah atau sektor swasta untuk membantu menyelamatkan lebih banyak manusia. Vivi menyarankan agar pemerintah mau berbagi data sehingga bantuan yang diberikan oleh sektor swasta bisa tepat sasaran dan sesuai kebutuhan.   

“Intinya ada tiga urun yang bisa dilakukan, yaitu urun disiplin agar tindakan kita tak menjadi problema, urun dana, dan urun peduli dengan berbagi informasi dan mengajak orang lain untuk social distancing,” tutur Vivi.

Sonny mengatakan mobilisasi dana lebih diarahkan ke penanganan pandemi. Kebutuhan lain yang tidak mendesak bisa dialokasikan ke proteksi. Untuk wilayah belum terkena dampak, Sonny mengatakan artinya masih punya waktu untuk mempersiapkan proteksi mulai dari perbaikan fasilitas kesehatan hingga penyiapan fiskal.

Diskusi daring yang melibatkan lebih dari 200 orang ini dihadirkan oleh Knowledge Sector Initiative (KSI) yang merupakan sebuah lanjutan dari seri KSIxChange oleh KSI untuk memberikan solusi kebijakan publik berdasarkan bukti riset dan praktik baik, yang biasanya dilakukan secara fisik atau pertemuan. Diskusi KSIxChange 18 kali ini diakses peserta dari berbagai wilayah secara online. Hal tersebut menjadi bukti bahwa menjaga jarak fisik untuk mencegah penyebaran virus melalui kegiatan daring, tak membuat orang kehilangan produktivitas.

*Saksikan video live streamingnya di sini.

  • Bagikan: