Saya membaca surat kabar Kompas di rumah pada hari Sabtu pagi tahun lalu, dan dua artikel terbaru. Tulisan tersebut membuat saya berpikir tentang bagaimana kita dapat menerapkan frasa 'pembuatan kebijakan berdasarkan informasi bukti yang cukup' untuk Indonesia. Satu artikel, pada tanggal 8 November 2014 berjudul 'Riset Jadi Dasar Kebijakan' di https://www.kompas.com/ menyoroti pentingnya melakukan investasi dalam bukti untuk memberikan informasi yang cukup kepada pembuat kebijakan dalam proses perumusan kebijakan di sektor kesehatan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan seharusnya memainkan peran penting dalam menyediakan 'bukti yang kuat' yang diperlukan. Namun Kepala Balitbangkes, Tjandra Yoga Aditama, menyatakan bahwa unit yang dia pimpin telah melakukan investasi dalam bukti dan penelitian bagi para pembuat kebijakan di kementeriannya, "... misalnya, Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, Kemenkes, menggunakan studi kami tentang Riset Fasilitas Kesehatan_RISFASKES sebagai acuan utama ketika diminta untuk mengetahui kebutuhan fasilitas perawatan kesehatan... "
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Ikatan Dokter Indonesia, Daeng Muhammad Faqih, menyanggah pernyataan ini," ... saya tidak pernah mendengar bahwa penelitian dan studi Balitbangkes digunakan oleh para pembuat kebijakan yang terkait untuk membuat kebijakan. Kemenkes benar-benar membutuhkan bukti dan data yang berasal dari studi internal untuk mencari solusi terhadap masalah kesehatan di Indonesia... "
Artikel lain di surat kabar yang sama pada tanggal 5 Desember 2014 https://www.kompas.com/ berjudul 'Riset Kedokteran Diintegrasikan' menunjukkan bahwa manajemen penelitian di sektor kesehatan terfragmentasi antara perawatan kesehatan, industri medis dan pendidikan kedokteran. Tidak jelas bagaimana anggaran dialokasikan untuk penelitian di sektor kesehatan. Juga tidak jelas apa artinya fragmentasi ini untuk kualitas bukti yang diproduksi organisasi penelitian dan bagaimana unit ini dapat membantu Kementerian Kesehatan untuk mengambil keputusan yang baik. Ironisnya, beberapa penelitian di bidang kesehatan dilakukan berdasarkan atas minat para peneliti semata. Oleh karena itu hasil dan rekomendasi penelitian tidak ada artinya karena tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat.
Buat saya ini artinya peneliti Balitbangkes menghadapi dilema tentang status mereka saat ini: mereka bukan birokrat tetapi juga bukan peneliti independen. Mendasarkan keputusan kebijakan atas hasil studi tunggal tidak memungkinkan kita untuk memahami apakah penelitian yang dihasilkan untuk mendukung sudut pandang tertentu, atau apakah untuk memberikan penilaian yang independen. Tetapi jika kita tidak memiliki pendekatan yang sistematis untuk mendorong penelitian oleh organisasi yang berbeda, kita pada akhirnya akan mendapati sebuah sistem yang terfragmentasi yang menghasilkan potongan-potongan bukti yang tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk membuat keputusan. Perdebatan seputar pembuatan kebijakan berdasarkan bukti menyatakan adalah penting untuk memiliki penilaian yang independen untuk memastikan pengambilan keputusan atas kebijakan didasarkan pada bukti terbaik yang ada. Jika status peneliti di Balitbangkes tidak jelas, menurut saya kolaborasi antara Balitbangkes dan organisasi lainnya (termasuk perguruan tinggi dan lembaga penelitian swasta/LSM) menjadi penting sekali jika kita ingin memastikan bahwa keputusan yang mempengaruhi kita didasarkan pada bukti terbaik yang ada. Juga menjadi penting untuk memastikan bahwa setiap kementerian di Indonesia (tidak hanya Kementerian Kesehatan) memiliki strategi yang baik untuk berinvestasi di semua bukti yang dibutuhkannya untuk mengambil keputusan.
The Knowledge Sector Initiative, tempat saya bekerja, menghasilkan serangkaian working paper yang berasal dari pengalaman internasional. Salah satunya menjelaskan bagaimana sebuah kementerian di Inggris mengembangkan sebuah strategi yang ketat dalam berinvestasi bukti dan pengetahuan untuk mendukung proses pembuatan kebijakan. Pada 2004 Departemen Lingkungan Hidup, Pangan dan Urusan Pedesaan Inggris (DEFRA) mengadopsi sebuah pendekatan yang sistematis, yang dikenal sebagai Strategi Investasi Berbasis Bukti (Evidence Investment Strategy, EIS), untuk meningkatkan bagaimana dia memperoleh dan menggunakan bukti untuk keperluan pembuatan kebijakan. Selama satu dekade terakhir EIS telah dilaksanakan dalam tiga tahap: 2006-2010, 2010-2013, dan 2014-2018. Ketiganya telah membantu DEFRA memastikan bahwa anggaran dan stafnya selaras untuk memberikan dasar bukti yang membantunya mencapai prioritas kebijakan. Saya percaya ada beberapa pelajaran penting yang bisa dipelajari oleh Pejabat Pemerintah Indonesia dan Balitbangkes.
Dua hal utama yang saya ambil dari pengalaman DEFRA adalah: pertama, betapa pentingnya bagi kementerian-kementerian berkolaborasi dengan peneliti eksternal atau organisasi penelitian untuk memberikan bukti yang berkualitas tinggi untuk pembuatan keputusan. Kedua, perlu alokasi anggaran yang jelas di kementerian-kementerian untuk penelitian dan bentuk lain dari bukti (seperti bukti dari evaluasi). Sebagai contoh, dari penelitian bersama di bidang kesehatan, Balitbangkes harus berkolaborasi dengan universitas dan lembaga penelitian lain untuk memberikan umpan balik yang konstruktif - dalam bentuk kajian kritis yang independen - dari pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional atau Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang diluncurkan oleh pemerintahan baru Presiden Joko Widodo tahun lalu.
Oleh: Iskhak Fatonie - Senior Program Officer, KSI