Angka memiliki makna bagi ilmuwan muda Indonesia dalam menggagas penyusunan Indonesian Science Agenda (ISA). 17, 8, 45 adalah satu kesatuan makna yang dihayati oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dalam proses penyusunan ISA. Pilihan tanggal ini sekaligus sebagai konteks dokumen dalam menggerakan peran ilmuwan menjawab tantangan bangsa dalam seabad kemerdekaan pada 2045.
Dalam menyusun ISA, Tim 17 Komite Studi ISA (yang juga tergabung dalam AIPI) mengelompokkan 8 kluster pertanyaan yang dijabarkan dalam 45 pertanyaan terperinci.
“Ini merupakan angka magis, 8 kluster pertanyaan dibingkai dalam sebuah lingkaran yang menunjukkan bahwa ilmuwan harus saling terhubung dan mencari kebenaran bersama, dengan tujuan akhir seperti termaktub dalam UUD 45 yaitu Indonesia bersatu, berdaulat, adil, makmur, sejahtera, unggul, kompetitif dan disegani dunia,” ujar Teguh Dartanto, Ph.D.
Paparan ini disampaikan dalam sesi Knowledge Sector Sharing yang diselenggarakan pada 17 Februari 2015 oleh Knowledge Sector Initiative. Lebih lanjut lagi, penggalian pertanyaan utama dalam dokumen ISA diharapkan dapat mengantisipasi tantangan bangsa yang semakin kompleks ke depan, khususnya dalam rangka proyeksi bangsa 100 tahun kemerdekaan, tepatnya 17 Agustus 2045.
“Berbeda dengan agenda riset pemerintah yang telah diagendakan, ISA merupakan living document yang bersifat preventif, berperan menjadi gerakan moril ke depan. Indonesia nantinya harus mampu sejajar dengan negara lain, maka langkah selanjutnya dan tantangan krusial perlu diantisipasi serta dipetakan,” papar Prof. Jamaluddin Jompa.
Menjawab pertanyaan salah seorang peserta tentang faktor-faktor yang mendorong agar pertanyaan ilmiah diubah, Prof Jompa menjelaskan bahwa tim tidak dapat memprediksi apa yang akan terjadi dalam beberapa tahun ke depan. “Namun, pertanyaan ini dalam perkembangannya menjadi dinamis, sehingga dalam jangka waktu 3-4 tahun sudah bisa terjawab. Ada juga pertanyaan yang belum bisa terjawab sehingga terus dipertanyakan sampai 2045. Tema pertanyaan dibuat berimbang, antara konteks universal dan konteks Indonesia, sesuai isu saat ini dan masa mendatang,” jelas Prof Jompa.
Sebagian peserta mengungkapkan apresiasi atas penyusunan ISA. “Kami mendukung 45 pertanyaan ilmiah ini dan semoga penerapannya nanti tidak hanya sebatas di Jakarta saja tapi tersebar dari Sabang sampai Merauke. Ilmuwan Papua sangat mendukung inisiatif ISA,” ujar Ismail Suardi Wekke, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Sorong.
Dalam penutupan sesi, Program Manager KSI Budiati Prasetiamartati menyatakan bahwa ISA adalaah sebuah dokumen yang menggugah dan penting, yang juga berfungsi untuk menjangkau komunitas ilmuwan masa depan.