Pengetahuan Lokal untuk Mengembalikan Tiga Penanda Musim

Penanda musim telah hilang dari kehidupan warga Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Dulu, tiga tempat menjadi penanda pergantian musim bagi masyarakat di pesisir utara Manggarai yakni Torong Besi (dengan puncaknya Golo Pertujuk), Torong Luwuk (dengan puncaknya Golo Serente) dan Golo Kantul. Dalam Bahasa Manggarai, Torong berarti bukit, sedangkan Golo bermakna gunung. Torong Besi berada di Desa Robek, Kecamatan Reok, Manggarai. Torong Luwuk berada di Desa Satar Punda, Kecamatan Lambaleda, Manggarai Timur. Sedangkan Golo Kantul berada di Desa Toe, Kecamatan Reok, Manggarai.

Pengetahuan Lokal untuk Mengembalikan Tiga Penanda Musim

Penanda musim telah hilang dari kehidupan warga Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Dulu, tiga tempat menjadi penanda pergantian musim bagi masyarakat di pesisir utara Manggarai yakni Torong Besi (dengan puncaknya Golo Pertujuk), Torong Luwuk (dengan puncaknya Golo Serente) dan Golo Kantul. Dalam Bahasa Manggarai, Torong berarti bukit, sedangkan Golobermakna gunung. Torong Besi berada di Desa Robek, Kecamatan Reok, Manggarai. Torong Luwuk berada di Desa Satar Punda, Kecamatan Lambaleda, Manggarai Timur. Sedangkan Golo Kantul berada di Desa Toe, Kecamatan Reok, Manggarai. 

Memasuki musim penghujan, kabut tebal dan awan pekat akan menyelimuti puncak Torong Besi, disertai dengan gelegar halilintar. Jika kedua puncak lainnya menyambut dengan pertanda serupa, musim penghujan sudah pasti tiba. Musim penghujan dimulai pada Oktober dan berlangsung hingga April, musim baik untuk bertani. Namun di pertengahan Februari musim barat sudah mulai berangsur-angsur pergi, sehingga nelayan akan mulai melaut. 

Bapak Gaspar Sales, Tu’a Teno Anak Kampung Gincu, Desa Robek, bercerita bahwa saat leluhur masyarakat Manggarai mulai meninggalkan pola hidup berpindah-pindah ke bentuk kehidupan menetap, mereka menjadikan hutan Torong Besi sebagai daerah tangkapan hujan. Tu’a Teno adalah kepala tanah ulayat, orang yang secara khusus dipilih oleh Tu’a Golo (pemimpin adat di tingkat kampung) untuk berbagai urusan yang berhubungan dengan tanah. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia 1945, status hutan Torong Besi dikukuhkan sebagai hutan negara dan kemudian ditetapkan menjadi kawasan hutan lindung pada 1983. Hubungan erat ini mulai terganggu sejak Torong Besi dirambah untuk kebutuhan penambangan Mangan.

Sejak 2007, penduduk sudah tidak bisa lagi membaca ketiga penanda itu. Penghancuran hutan lindung di Manggarai telah berlangsung sejak 2005. Hingga akhir 2014, Pemerintah Kabupaten Manggarai telah mengeluarkan 19 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan luas konsesi 18.800 hektar. Sementara itu, hasil Sensus Pertanian 2013 menunjukan tidak kurang dari 75 persen rumah tangga di Manggarai bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Mereka tinggal di kawasan berbukit-bukit tanpa irigasi. Kawasan hutan lindung dan curah hujan menjadi andalan untuk sumber pengairan sawah, kebun dan ladang. 

Kehadiran pertambangan bersinggungan langsung dengan aktivitas pertanian. Longsor dari guguran tanah yang diledakkan dan digali di atas bukit menimbun lahan-lahan pertanian di bawahnya. Air sulit dicari, lahan pertanian menyempit, kesehatan warga terganggu akibat debu mangan. 
Gangguan-gangguan ini mendorong masyarakat bersepakat untuk menghentikan kegiatan operasional sebuah perusahaan tambang pada 2010. Namun perusahaan tambang datang dan pergi. Banyak ketidakjelasan menggantung di kampung-kampung di lingkar tambang tersebut yaitu Wangkung, Jengkalang, Kerkuak, dan Robek di Kecamatan Reok. 

Bapak Yacobus Daud merupakan salah satu tua adat  Kampung Kerkuak, berada di barisan terdepan menolak tambang di wilayahnya. “Saya bawa hingga ke kubur (sikap) tolak tambang ini,” ujar beliau dalam kesempatan wawancara pada 6 Oktober 2015 lalu. 

Manakala pemerintah daerah dianggap tidak mengambil sikap yang dibutuhkan, yakni melindungi lahan-lahan pertanian masyarakat dari dampak buruk penambangan Mangan, masyarakat melakukan class action. Selain itu, warga secara aktif melibatkan diri dalam dialog dengan pemangku kepentingan. Pada April 2011 lalu misalnya, lima warga utusan dari kampung di lingkar tambang menemui Sekretaris Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Manggarai untuk menanyakan kejelasan status hutan lindung Torong Besi: apakah benar telah diubah menjadi hutan produksi terbatas. Sekretaris Dinas Kehutanan dan Perkebunan menyampaikan bahwa hingga saat itu, tidak ada dokumen lain yang menyatakan bahwa hutan lindung telah berubah fungsi. Pemerintah Kabupaten Manggarai tetap mempertahankan statusnya sebagai hutan lindung dengan merujuk pada SK Menteri Kehutanan No. 423/Kpts-II/1999. Beberapa organisasi masyarakat sipil juga melakukan konsolidasi dengan menyoroti isu penambangan melalui pembacaan terhadap APBD. 

Pater Simon Suban Tukan, SVD, Koordinator JPIC Serikat Sabda Allah Ruteng, yang telah mendampingi masyarakat sejak 2006 menceritakan pengalamannya mempengaruhi pengambilan keputusan terkait hak hidup rakyat dan penambangan. 

“Sewaktu penyusunan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (sesuai dengan amanat UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang), kami memasukkan usulan bagaimana merumuskan posisi terhadap kehadiran tambang –karena ada yang menerima dan menolaknya di kalangan pemerintah. Dengan bantuan teman-teman di dalam, kami dibantu untuk merumuskan kalimat yang tepat agar orang tidak melakukan penambangan namun juga tidak menyerang langsung pihak yang pro terhadap tambang.” 

Di Manggarai Timur kondisi yang ia alami lebih sulit. “Sampai saya harus menulis surat pribadi kepada bupati, menceritakan apa yang terjadi di lapangan (akibat kehadiran tambang). Akhirnya pada 23 September 2014, bupati mengirimkan Sekretaris Daerah dan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Manggarai Timur  untuk menghentikan kegiatan penambangan di Kampung Tumbak, Desa Satar Punda, Kecamatan Lambaleda, sampai ada pemberitahuan lanjutan.”

Perjuangan ruang hidup warga Manggarai ini tak lepas dari dukungan program Jurusan Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (JPP UGM). 

Lewat Skema Hibah Pengetahuan Lokal bersama Knowledge Sector Initiative, JPP UGM akan mengoptimalkan penyerapan pengetahuan lokal melalui cara-cara yang hidup di masyarakat, mengelola dan mentransformasikan pengetahuan terapan serta mendiseminasikan dan menggunakannya untuk mempengaruhi kebijakan

  • Bagikan: