oleh Iskhak Fatonie
“Bahkan dalam birokrasi internal, beberapa birokrat tidak senang dengan penerapan UU ASN, terutama dengan sistem merit dan promosi terbuka bagi Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT). Mereka memilih berada di zona nyaman, dibandingkan dengan berada dalam persaingan.” Robert Endi Jaweng, KPPOD.
Sebagai bagian dari rangkaian acara advokasi untuk membahas kemungkinan revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara 2014 (atau revisi UU ASN) dengan perhatian khusus dan promosi terbuka pada rekrutmen berbasis merit, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) dengan dukungan dari KSI, mengadakan seminar nasional setengah hari pada tanggal 8 Februari 2017 di Hotel Akmani. Para pembicara seminar tersebut terdiri dari Arief Wibowo dari Dewan Perwakilan Rakyat, Yenny Sucipto dari FITRA, Robert Endi Jaweng dari KPPOD, dan Luky Djani dari Institute for Strategic Initiative (ISI). Profesor Siti Zuhro dari Tim Independen Reformasi Birokrasi Nasional (TI-RBN) dan Waluyo dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) merupakan peserta diskusi. Lebih dari 70 peserta dari jajaran kementerian, CSO (organisasi masyarakat sipil), LSM, media, universitas, asosiasi analis kebijakan, dan tenaga honorer pemerintah menghadiri seminar ini.
Yenny Sucipto, Sekretaris Jenderal FITRA, mempresentasikan kajian FITRA mengenai pengeluaran anggaran pegawai negeri sipil di tingkat nasional dan daerah, di mana banyak provinsi dan kabupaten mengalokasikan sebagian besar pengeluaran untuk gaji pegawai negeri. Hal tersebut menyebabkan kinerja pemerintah dalam penyelenggaraan layanan publik dan sarana serta prasarana menjadi buruk. Apabila revisi UU ASN yang diajukan akan mengamanatkan konversi lebih dari 500.000 tenaga honorer menjadi pegawai negeri sipil tanpa adanya tes kompetensi, hal ini akan menjadi beban tambahan yang sangat berat bagi anggaran pengeluaran nasional dan daerah. Sementara Endi Jaweng menguraikan strategi alternatif bagi konversi tenaga honorer yang memiliki dua solusi: penyelesaian kontrak kerja honorer melalui pemberian pesangon yang besar; dan konversi beberapa tenaga honorer saja, yang terpilih melalui tes kompetensi. Beliau mengacu pada kajian KPPOD terbaru mengenai ‘Tata Kelola Ekonomi Daerah 2016’ yang diluncurkan bulan lalu. Kajian ini menemukan bahwa jika pengawai negeri sipil memiliki kompetensi yang terbatas, hal tersebut cenderung mengakibatkan penyelenggaraan layanan dan pembangunan ekonomi yang buruk.
Yenny Sucipto, Sekretaris Jenderal FITRA, mempresentasikan kajian FITRA mengenai pengeluaran anggaran pegawai negeri sipil di tingkat nasional dan daerah, di mana banyak provinsi dan kabupaten mengalokasikan sebagian besar pengeluaran untuk gaji pegawai negeri. Hal tersebut menyebabkan kinerja pemerintah dalam penyelenggaraan layanan publik dan sarana serta prasarana menjadi buruk. Apabila revisi UU ASN yang diajukan akan mengamanatkan konversi lebih dari 500.000 tenaga honorer menjadi pegawai negeri sipil tanpa adanya tes kompetensi, hal ini akan menjadi beban tambahan yang sangat berat bagi anggaran pengeluaran nasional dan daerah. Sementara Endi Jaweng menguraikan strategi alternatif bagi konversi tenaga honorer yang memiliki dua solusi: penyelesaian kontrak kerja honorer melalui pemberian pesangon yang besar; dan konversi beberapa tenaga honorer saja, yang terpilih melalui tes kompetensi. Beliau mengacu pada kajian KPPOD terbaru mengenai ‘Tata Kelola Ekonomi Daerah 2016’ yang diluncurkan bulan lalu. Kajian ini menemukan bahwa jika pengawai negeri sipil memiliki kompetensi yang terbatas, hal tersebut cenderung mengakibatkan penyelenggaraan layanan dan pembangunan ekonomi yang buruk.
Luky Djani menjelaskan bahwa status pegawai negeri sipil di kebanyakan wilayah di Indonesia sangat bergengsi dan merupakan bagian dari yang disebut ‘elit daerah’. Selain menambah kompleksitas yang ada, hal ini juga menyebabkan tenaga honorer menjadi sangat bersemangat untuk dikonversi menjadi pegawai negeri sipil. Beliau juga mengatakan bahwa pegawai negeri sipil tingkat tinggi yang strategis di kementerian dan pemerintah daerah dapat ditunjuk dalam siklus politik lima tahunan atau melalui mekanisme penunjukkan politis, sama seperti penunjukkan menteri. Dengan begitu, para birokrat akan menjalankan visi dan misi Presiden dengan sesuai dan tepat waktu.
Sebagai pemrakarsa revisi UU ASN, Arief Wibowo – anggota DPR dari Partai PDI-P, berkata bahwa KASN mungkin perlu ditiadakan karena beberapa institusi sejenis sudah ada dalam Pemerintah, dengan peran pengawasan dan pemantauan, seperti Ombudsman, BPK, BPKP, dan inspektorat jenderal tingkat kementerian. Walaupun demikian, beliau dan beberapa anggota DPR RI lainnya masih bersikap fleksibel untuk mendiskusikan peniadaan KASN. Beliau juga menekankan kembali tujuan utama dari revisi UU ASN yaitu: 1) untuk mengakomodasi status tenaga honorer dalam UU ASN yang direvisi: konversi langsung menjadi PNS dan pengakuan tenaga honorer oleh negara, serta 2) untuk memperkuat dan melakukan revitalisasi sistem monitoring melalui institusi-institusi yang sudah ada dan diperuntukkan bagi Aparatur Sipil Negara.
Narasumber dari masyarakat sipil berpendapat bahwa UU ASN tidak perlu direvisi. Sebaiknya, KASN sebagai badan pemerintah yang baru terbentuk, yang berperan untuk mengawasi dan memantau penerapan sistem merit dan promosi terbuka perlu diperkuat. Sistem ini mampu meminimalkan terjadinya isu jual beli jabatan yang dilakukan oleh pejabat tinggi di tingkat nasional dan daerah. Mereka tidak menyetujui usulan adanya konversi langsung tenaga honorer menjadi PNS, dengan berargumentasi bahwa semua tenaga honorer harus direkrut melalui tes kompetensi, bukan diterima begitu saja.
Seminar nasional ini adalah bagian dari komitmen KSI untuk memfasilitasi peningkatan interaksi antara pembuat kebijakan (termasuk anggota DPR) dengan penghasil pengetahuan, seperti universitas, lembaga penelitian, dan organisasi masyarakat sipil, bagi kemajuan pembuatan kebijakan di Indonesia. Fasilitasi seperti ini diharapakan akan menghasilkan pemahaman yang sama serta terbentuknya koalisi untuk mewujudkan sektor pengetahuan yang sehat, terutama dalam hal rekrutmen berbasis merit, dan promosi serta remunerasi peneliti dan birokrat yang bertanggung jawab dalam proses pembuatan kebijakan.