Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM) melakukan kajian akademis terhadap sasaran peta jalan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Kajian yang didukung oleh Knowledge Sector Initiative (KSI) ini menunjukkan capaian delapan target kebijakan yang tertuang dalam Peta Jalan Menuju JKN 2014-2019.
“Peta jalan JKN perlu dievaluasi setelah lima tahun berjalan untuk melihat target tercapai atau tidak,” Ketua Tim Kajian Laksono Trisnantoro saat di diskusi KSIxChange#9 bertajuk “Evaluasi Peta Jalan Jaminan Kesehatan Nasional” yang digelar akhir Maret lalu di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas).
Delapan sasaran pokok yang diharapkan tercapai pada tahun 2019 adalah: 1) BPJS Kesehatan beroperasi dengan baik; 2) Seluruh penduduk Indonesia mendapat jaminan kesehatan melalui BPJS Kesehatan; 3) Paket manfaat medis dan non medis sudah sama untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat; 4) Jumlah dan sebaran fasilitas pelayanan kesehatan sudah memadai; 5) Semua peraturan pelaksanaan telah disesuaikan secara berkala untuk menjamin kualitas layanan; 6) Minimal 85% peserta menyatakan puas, dalam layanan di BPJS maupun di fasilitas kesehatan yang dikontrak BPJS; 7) Minimal 80% tenaga dan fasilitas kesehatan menyatakan puas atau mendapat pembayaran yang layak dari BPJS, serta; 8) BPJS dikelola secara terbuka, efisien, dan akuntabel.
Delapan target ini dikelompokan menjadi tiga topik yakni tata kelola (target 1,5, dan 8), pemerataan yang berkeadilan (target 2,3, dan 4), dan mutu pelayanan (target 6 dan 7). Capaian ketiga topik dikaji dengan menggunakan pendekatan realist evaluation atau evaluasi berbasis teori. Pendekatan ini menggunakan data kuantitatif yang dikumpulkan dari sumber sekunder di level nasional hingga kabupaten/kota dan data kualitatif berupa studi kasus layanan kesehatan jantung di 7 provinsi.
“Target-target yang terkait mutu pelayanan kesehatan belum tercapai secara merata di seluruh lokasi penelitian,” kata Laksono.
Masyarakat tidak mendapatkan layanan kesehatan yang terstandar. Sistem pencegahan kecurangan JKN pun tidak berjalan optimal karena pendampingan tak dimiliki oleh semua daerah.
Perihal topik tata kelola, Laksono menuturkan proses penyusunan kebijakan di level nasional yang tidak melibatkan koordinasi lintas sektor menyebabkan pemahaman pemerintah daerah dan implementasi kualitas pelayanan kesehatan masih rendah. Alhasil, pemda belum menggunakan data BPJS Kesehatan dalam perencanaan dan penganggaran program kesehatan.
Terakhir mengenai topik pemerataan layanan kesehatan, Laksono menjelaskan ketersediaan layanan yang berkualitas di level primer sulit dicapai di provinsi-provinsi dengan keterbatasan sumber daya dan infstruktur kesehatan. Pelayanan kesehatan menjadi tak pasti dan teknologi medis yang canggih hanya dinikmati di kota-kota besar.
“Berbagai problem tersebut berasal dari ketidaksempurnaan UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) dan UU BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) yang sentralistik” kata Laksono.
Menyikapi temuan ini, PKMK UGM memberikan tiga opsi kebijakan yang dapat dipilih oleh pemerintah. Opsi pertama, UU SJSN dan UU BPJS tidak diubah. Opsi kedua, regulasi diubah dengan menetapkan BPJS sebagai pengelola jaminan sosial satu-satunya tetapi dengan kompartemenisasi alias pemisahan dana untuk masing-masing jenis penerima manfaat.
“Dari kajian kami, anggaran untuk peserta Penerima Bantuan Iuran masih sisa. Duit sisa ini digunakan untuk kelompok peserta lain yang defisit. Artinya, anggaran negara justru tidak ditujukan kepada kelompok miskin,” kata Laksono.
Laksono menambahkan, anggaran sisa bisa digunakan untuk penyediaan infrastruktur kesehatan dan tenaga medis ke daerah-daerah terpencil agar pelayanan kesehatan semakin merata.
Opsi ketiga adalah merevisi aturan dengan fokus pada penyediaan lembaga di luar BPJS Kesehatan. Masyarakat yang mampu tidak wajib menjadi anggota BPJS Kesehatan namun harus memiliki asuransi kesehatan komersial. Masyarakat mampu masih boleh mengikuti BPJS Kesehatan tetapi pelayanan yang diberikan adalah kelas standar, tanpa ada kelas 1, 2, 3 atau VIP.
Rekomendasi dari UGM ini disambut oleh Bappenas sebagai masukan peta jalan JKN untuk tahun 2020-2024. Direktur Perencanaan Kependudukan dan Perlindungan Sosial Bappenas Maliki mengatakan opsi yang diberikan tak harus berujung pada perubahan UU SJSN dan UU BPJS karena akan menghabiskan waktu untuk menyusun dan harmonisasi aturan di bawahnya.
“Sebagian peraturan turunan UU SJSN dan UU BPJS saja yang diubah karena ini lebih efektif dan menghemat waktu,” kata Maliki.
Anggota Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia Odang Muchtar sepakat bila seluruh kelas untuk pasien penerima manfaat di standarisasikan dalam satu kelas. Menurut dia, ini adalah bentuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, dia menolak bila melibatkan asuransi kesehatan komersial dalam program JKN.
Di sisi lain, Dewi Aryani dari BPJS kesehatan menuturkan bahwa seluruh rakyat Indonesia harus terlayani JKN. Pilihan pemerintah adalah memberikan subsidi penuh kepada masyarakat miskin dan yang mampu berkonstribusi membayar iuran. Ketika anggaran JKN defisit, pemerintah hadir mengatasinya karena prinsip JKN adalah gotong royong.
“Gotong royong di sini bukan yang kaya mensubsidi yang miskin tetapi yang sehat mensubsidi yang sakit. Peran negara dalam mengatasi anggaran yang defisit tidak dilihat segmentasinya,” kata Dewi.
Masukan-masukan dari peserta diskusi KSIxChange#9 memperkaya kajian yang dilakukan oleh PKMK UGM. Laksono mengatakan temuan riset ini masih bersifat analis kebijakan sementara dan akan disempurnakan dengan hasil data lainnya dari TNP2K, Ombudsman, Kementerian Kesehatan, DJSN, dan pemangku kepentingan lainnya hingga akhir Desember 2019.
Laksono memperkirakan hasil akhir penelitian bisa diakses awal tahun 2020 sehingga bisa mendorong penyempurnaan program JKN berbasiskan data dan pengetahuan.**
Materi KSixChange #9 dapat diunduh melalui link ini.