Membangun Ekosistem Pengetahuan Melalui Forum Riset dan Bisnis

Membangun Ekosistem Pengetahuan Melalui Forum Riset dan Bisnis

JAKARTA – Forum Riset & Bisnis, pertemuan yang bertujuan mendorong perkembangan ekosistem sektor pengetahuan di Indonesia melalui kemitraan antara sektor swasta (perusaan dan filantropi) dengan lembaga penelitian, kembali digelar di Jakarta, 29 Agustus 2018 lalu. Forum Riset & Bisnis Edisi ke-4 yang digelar Corporate-Community Partnership for Health Indonesia (CCPHI) bekerjasama dengan Knowledge Sector Initiative (KSI) ini mengambil tema “Peran Lembaga Penelitian dan Dunia Industri dalam Mendorong Kebijakan Berbasis Bukti”.

Sesuai tema tersebut, forum yang dilaksanakan di Kantor KSI di Jakarta itu berupaya membangun rasa saling percaya, kemitraan strategis, dan kerjasama saling menguntungkan di antara pemangku kepentingan dalam ekosistem sektor pengetahuan berbasis bukti, yaitu lembaga riset, dunia industri, dan pengambil kebijakan publik.

Arief Budiman, praktisi hubungan pemerintahan, dalam paparannya mengungkapkan bahwa selama ini masih terjadi kesenjangan hubungan antara lembaga riset kebijakan (think-thank) dengan dunia industri dan pemerintah di Indonesia. Untuk itu, pakar industri ini menekankan pentingnya fungsi relasi pemerintahan dengan dunia industri.

“Hubungan industri dan pemerintah selama ini masih pasif-reaktif dan terbatas lewat asosiasi. Untuk itu, fungsi relasi pemerintahan cukup strategis untuk membuat hubungan itu lebih positif sekaligus dapat mengintervensi dalam pengambilan kebijakan (publik),” ungkap Arief dalam diskusi itu.

Di sisi lain, Arief menilai lembaga-lembaga riset yang tergabung dalam Aliansi Riset Kebijakan (ARK) Indonesia memiliki peranan yang tidak kalah strategis dalam menjembatani hubungan pihak swasta dan pemerintah. “Lembaga penelitian punya peluang menjembatani komunikasi di antara kedua pihak itu. Mereka dapat membantu pemerintah dalam pemetaan kebijakan dan aktor-aktor pembuat kebijakan itu,” tuturnya kemudian.

Selain Arief, diskusi dalam forum itu menampilkan dua pembicara lainnya, yaitu Gautama Adi Kusuma, asisten staf khusus Presiden RI; dan Budiati Prasetiamartati, Program Lead Policy Innovation and Development KSI. Kurang lebih ada 48 peserta diskusi yang datang dan berasal dari berbagai perwakilan seperti instansi pemerintahan, lembaga-lembaga riset kebijakan, perusahaan swasta, filantropi, asosiasi swasta, utusan Kamar Dagang Indonesia (Kadin), dan perwakilan program pembangunan internasional di Indonesia.

Dalam pemaparannya, Gautama menekankan pentingnya faktor kepemimpinan dalam menjembatani berbagai kepentingan dan lapisan. “Hal yang sangat krusial dari kebijakan berbasis bukti adalah kepemimpinan. Faktor itu penting untuk pengambilan kebijakan yang berimbang dan komprehensif. Namun, di level strategis dan implementasinya pada kementerian dan lembaga diperlukan adanya semacam penerjemah dari tujuan kebijakan itu sendiri. Inilah kesempatan bagi para mitra strategis, baik swasta dan lembaga riset, untuk menjadi rekanan pemerintah yang bisa menerjemahkan itu,” tutur Gautama.

Arief sependapat, seyogyanya tersedia banyak ruang bagi lembaga riset kebijakan untuk bekerjasama dengan dunia industri dalam melakukan intermediasi kepada pemerintah. Untuk itu, ia juga menyarankan pentingnya keberadaan seorang pakar atau tim ahli di dalam hubungan pemerintahan di internal perusahaan yang dapat memetakan para pembuat kebijakan, arah, serta peta kebijakan pemerintah. “Dengan demikian, (industri) bisa ikut menentukan arah kebijakan (publik),” ujarnya.

Budiati Prasetiamartati membenarkan, lembaga penelitian kebijakan mempunyai kapasitas yang dibutuhkan untuk bekerjasama dengan para pengambil kebijakan. Namun, ada syarat penting agar itu hal itu bisa dipenuhi. “Lembaga penelitian harus menghasilkan informasi (dan riset) yang berkualitas, kredibel serta relevan (untuk dimanfaatkan para pengambil kebijakan),” ungkapnya kemudian. “Lembaga penelitian kebijakan tidak berhenti pada menganalisis informasi kebijakan berdasarkan metodologi yang baku, namun juga perlu dapat menyampaikannya dengan bahasa yang mudah diterima oleh para pengambil kebijakan. Lembaga ini juga perlu berjejaring dalam proses penyusunan kebijakan, sehingga mengetahui kapan dan di mana masukan kebijakan perlu disampaikan,” tambahnya.

  • Bagikan: