Peraturan Presiden No 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa membawa angin segar bagi organisasi kemasyarakatan yang fokus pada peningkatan kualitas layanan untuk masyarakat. Peraturan ini tak hanya memberikan akses pendanaan untuk ormas tetapi juga mendorong perbaikan organisasi agar lebih terstruktur dan akuntable.
"Ormas merupakan perwakilan dari masyarakat, secara tak langsung memberi nilai tambah dari pengadaan barang dan jasa karena dilibatkan," kata Direktur Pengembangan Strategi dan Kebijakan Pengadaan Umum Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Fadli Arif saat KSIxChange bertajuk ‘Working Together to Deliver Services: Opportunities and Challenges for CSOs and Government’, Rabu, 19 September 2018.
Sebelum Perpres No 16 Tahun 2018 ini ada, pengadaan barang dan jasa pemerintah mengacu pada Perpres No 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Aturan lama ini memastikan tender kontrak hanya bisa diikuti usaha komersial. Organisasi masyarakat tak bisa ikut kecuali mendirikan perusahaan terbatas. Kondisi ini menunjukan bahwa pengadaan barang dan jasa tidak berpengaruh pada penelitian dan pemberdayaan masyarakat secara langsung.
Memperbaiki aturan, organisasi penelitian dan advokasi AKATIGA, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dan Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) bekerja sama dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) untuk menjelaskan tantangan yang dihadapi LSM dan memberikan masukan ke dalam revisi peraturan. Kerja sama antara lembaga penelitian independen dan LKPP ini difasilitasi oleh Knowledge Sector Initiative yang mendukung perbaikan kebijakan publik berbasis riset dan praktik baik.
Upaya perubahan aturan secara maraton dimulai sejak pertengahan 2014 ketika KSI mempertemukan LKPP dengan lembaga mitra. Rangkaian kajian dan diskusi dilakukan. Tak hanya melibatkan LKPP dan organisasi mitra KSI tetapi juga dengan kementerian lembaga seperti Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, serta pihak akademisi.
Hasil akhirnya, peraturan baru direncanakan menjadi pengganti Peraturan Presiden No 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Desember 2016, calon aturan pengganti ini dibawa ke Rapat Kabinet Terbatas hingga berujung disahkannya pada Maret 2018 menjadi Perpres No 16 Tahun 2018.
Usai Perpres 16 Tahun 2018 diluncurkan, tugas berikutnya ialah menyusun peraturan-peraturan turunan. AKATIGA, dengan dukungan KSI, memberikan masukan kepada LKPP terkait implementasi swakelola dan penelitian yang membutuhkan kolaborasi antara pemerintah dan organisasi masyarakat.
“Kami melakukan diskusi dengan stakeholder lain agar pelaksanaan swakelola lebih sederhana dan menjadi alternatif ormas melakukan kegiatan dan alternatif pemerintah memberdayakan masyarakat,” ujar peneliti senior AKATIGA Isono Sadoko.
Swakelola Lewat Kelompok Masyarakat
Disahkannya Peraturan Presiden No 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah mengamanatkan tentang swakelola. Swakelola sendiri didefinisikan sebagai cara memperoleh barang atau jasa yang dikerjakan sendiri oleh Kementerian, Lembaga, atau Perangkat Daerah lain, organisasi kemasyarakatan atau kelompok masyarakat.
Berbeda dengan aturan yang diganti, menurut Direktur Pengembangan Strategi dan Kebijakan Pengadaan Umum LKPP Fadli Arif, perpres baru ini memuat swakelola yang direncanakan dan diawasi oleh pemerintah dan dilaksanakan oleh organisasi kemasyarakatan. Ormas yang dilibatkan harus terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM dengan bentuk yayasan atau perkumpulan.
“Misalnya ada barang jasa yang dibutuhkan pemerintah tetapi tidak disediakan oleh pengusaha sehingga pengadaan diserahkan ke masyarakat,” kata Fadli.
Keterlibatan ormas sejak perencanaan sehingga bisa mendorong kementerian/lembaga mengusulkan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat. Perencanaan swakelola yang melibatkan ormas ini bisa penunjukan atau pula sayembara. Proposal usulan ormas yang menang inilah yang akan diajukan dalam rencana penganggaran.
Untuk mencegah penyalahgunaan, kata Fadli, ormas yang terlibat tak boleh sembarangan. Selain berbadan hukum, ormas ini mesti memiliki NPWP dan telah memenuhi kewajiban perpajakan, mempunyai kemampuan manajerial dan pengalaman teknis, hingga neraca keuangannya telah diaudit selama tiga tahun terakhir.
“Pengawasan swakelola ini tak hanya di akhir setelah pekerjaan selesai, tapi juga dari awal pada saat perencanaan,” tutur Fadli.
Swakelola yang dikerjakan oleh kelompok masyarakat ini akan diujicobakan terlebih dahulu di Jakarta dan Kebupaten Kulonprogo. Harapannya, kebijakan ini mampu meningkatkan kemampuan teknis dan partisipasi ormas demi kemaslahatan masyarakat.
Peneliti senior dari AKATIGA Isono Sadoko menuturkan swakelola yang dikerjakan oleh kelompok masyarakat ini lebih efektif dan efisien bila dibandingkan dengan pelibatan usaha komersil. Bahkan, swakelola juga memberi kesempatan pengadaan penelitian yang jarang diminati oleh perusahaan terbatas.
Di sisi lain, KSI mendukung kebijakan swakelola karena berpotensi meningkatkan jangkauan dan kualitas layanan untuk masyarakat miskin dan terpinggirkan. Pengadaan barang dan jasa yang dikerjakan usaha komersil sering kali luput menyasar kelompok masyarakat yang tingga di daerah terpencil dan terisolasi, kelompok minoritas agama dan etnis, atau kelompok rentan seperti perempuan, anak dan remaja, dan penyandang disabilitas.
Lewat swakelola berbasis pemberdayaan masyarakat, LSM kecil bisa mendapatkan akses pendanaan sehingga berdampak sosial dan ekonomi bagi kelompok terpinggirkan. Alhasil, pembangunan dan pengembangan perekonomian nasional dan daerah bisa berjalan lebih inklusif.
Lihat publikasi dan video sosialisasi terkait.