Pemenuhan Hak Perempuan dengan Disabilitas Masih Menjadi Tantangan

Pemenuhan hak perempuan dengan disabilitas di Indonesia masih menjadi tantangan. Indeks inklusivitas Indonesia juga masih tertinggal dibanding negara-negara lain di kawasan ASEAN. Strategi pembangunan yang lebih inklusif dan memperkuat kemitraan menjadi cara ampuh untuk mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia. Demikian yang mengemuka dalam webinar “KSIxChange41: Mendobrak Bias dan Mewujudkan Kesetaraan Gender” yang diselenggarakan Knowledge Sector Initiative pada Selasa (8/3/2022).

Kendati Pemerintah Indonesia berkomitmen mewujudkan pembangunan yang inklusif, pemenuhan hak perempuan dengan disabilitas di Indonesia masih menjadi tantangan. Indeks inklusivitas Indonesia juga masih tertinggal dibanding negara-negara lain di kawasan ASEAN. Strategi pembangunan yang lebih inklusif dan memperkuat kemitraan menjadi cara ampuh untuk mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia.

Demikian yang mengemuka dalam webinar “KSIxChange41: Mendobrak Bias dan Mewujudkan Kesetaraan Gender” pada Selasa (8/3/2022). Webinar yang diselenggarakan Knowledge Sector Initiative tersebut menghadirkan pembicara kunci Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kementerian PPN Vivi Yulaswati dan Ketua Komisi Nasional Disabilitas (KND) Dante Rigmalia. Webinar ini dibuka oleh Konselor Menteri untuk Pemerintahan dan Pembangunan Manusia, Kedutaan Australia di Jakarta, Kirsten Bishop. Turut hadir dalam acara ini, Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga Bappenas Woro Srihastuti Sulistyaningrum, S.T., MIDS, Direktur Eksekutif Rumah KitaB Lies Marcoes, Ketua ASWGI Prof. Emy Susanti, Wakil Direktur KIAT Paul Wright, dan Peneliti Sajogyo Institute Ahmad Jaetuloh memberikan masukan dan pembelajaran untuk menciptakan kebijakan publik yang lebih inklusif.

Dalam paparannya, Dante Rigmalia menyatakan, pemenuhan hak-hak perempuan dengan disabilitas di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan. Tantangan itu, antara lain data akurat tentang perempuan dengan penyandang disabilitas di Indonesia masih belum tersedia. Selain itu, perempuan dengan disabilitas secara statistik lebih mungkin mengalami kekerasan, pelecehan, diskriminasi, dan isolasi. Selain masih ada stigma tentang penyandang disabilitas di masyarakat, perempuan dengan disabilitas juga mengalami hambatan dalam pemenuhan pelayanan kesehatan atau pendidikan.

“Secara umum, 15 persen populasi dunia adalah penyandang disabilitas. Bagaimana di Indonesia? Sampai saat ini belum ada data yang bisa menjadi sebuah data penyandang disabilitas di Indonesia secara akurat. Selain itu, definisi penyandang disabilitas diterjemahkan beragam oleh banyak pihak. Ini menjadi tantangan bagi kami untuk melakukan tindakan yang seharusnya ditempuh,” ujar Dante.

Atas situasi tersebut, imbuh Dante, KND merekomendasikan sejumlah hal. Pertama, harus ada kesadaran bahwa perempuan dengan disabilitas memiliki potensi, bakat, minat, dan hasrat seperti perempuan lainnya. Kedua, mengubah kerangka berpikir dan sudut pandang tentang perempuan dengan disabilitas. Ketiga, menggali langsung dari para perempuan disabilitas apa yang menjadi penghambat mereka. Keempat, mengupayakan bersama penghilangan hambatan bagi penyandang disabilitas, termasuk perempuan dengan disabilitas. 

“Dengan pelibatan perempuan disabilitas dalam pembangunan kapasitas sumber daya manusia, itu akan meningkatkan penerimaan dirinya untuk bisa berkontribusi kepadamasyarakat secara luas,” ucap Dante.

Begitu pula dalam penyusunan kebijakan pembangunan di Indonesia. Menurut Dante, dalam penyusunan kebijakan pembangunan sebaiknya melibatkan penyandang disabilitas, termasuk perempuan dengan disabilitas. Pasalnya, perempuan dengan disabilitas tidak terlokalisir di satu wilayah tertentu saja, tetapi tersebar di banyak wilayah di Indonesia. Selain itu, dalam implementasi kebijakan pembangunan, penyandang disabilitas, termasuk perempuan dengan disabilitas, harus dilibatkan dalam pengawasan secara berkesinambungan.

Sementara itu, menurut Vivi Yulaswati, indeks inklusivitas Indonesia terbilang lebih rendah di dunia, bahkan di kawasan ASEAN. Di tingkat global, Indonesia ada di peringkat 125 atau lebih rendah dari Filipina, Vietnam, Singapura, dan Thailand. Indonesia masih lebih baik dibanding Malaysia dan Myanmar. Indeks inklusivitas adalah ukuran holistik dari pembangunan inklusif yang berfokus pada kesetaraan ras/etnis, agama, gender, dan disabilitas di ranah perwakilan politik, kekerasan di luar kelompok, ketimpangan pendapatan, tingkat penahanan, serta kebijakan migrasi atau pengungsi. 

“Dengan posisi Indonesia tersebut, penting bagi Indonesia untuk terus meningkatkan aksesibilitas bagi kelompok rentan termasuk kelompok disabilitas agar bisa tumbuh secara inklusif dan searah dengan agenda SDG’s (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan),” kata Vivi.

Vivi menambahkan, Pemerintah Indonesia berkomitmen bahwa tidak boleh satu orang pun tertinggal dalam mewujudkan target-target yang ada dalam SDG’s sampai 2030 nanti. Kesejahteraan yang diharapkan tidak hanya bagi sebagian orang, tetapi untuk semua kelompok termasuk di dalamnya kelompok penyandang disabilitas, perempuan, anak, dan kelompok rentan lainnya. Dalam 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan tersebut memuat 169 target dan 289 indikator.

“Ditargetkan kemiskinan ekstrem bisa menjadi nol persen pada 2024 dengan fokus di 35 kabupaten sebagai prioritas. Lalu agenda penghormatan terhadap hak-hak perempuan dan kelompok rentan lainnya, seperti mengakhiri segala bentuk diskriminasi, menghapuskan segala bentuk kekerasan, atau menjamin partisipasi penuh dan aktif. Dalam praktiknya, tidak mudah merealisasikan target tersebut,” ucap Vivi.

Beberapa upaya dan strategi yang ditempuh pemerintah, imbuh Vivi, untuk mewujudkan pembangunan yang inklusif adalah dengan desain ulang transformasi ekonomi Indonesia yang lebih inklusif dan berkelanutan. Ada enam strategi yang bisa mengubah keadaan (game changer), yaitu sumber daya manusia yang berdaya saing; meningkatkan produktivitas sektor ekonomi; pembangunan ekonomi hijau; transformasi digital; integrasi ekonomi domestik; dan pemindahan ibu kota negara.

“Kemitraan multipihak juga penting untuk mewujudkan pembangunan yang lebih inklusif. Begitu pula hubungan dengan pemangku kepentingan yang lebih luas, serta menjadikan proyek yang berdampak sosial sebagai proyek strategis,” ujar Vivi.

Terkait bias gender, menurut Direktur Eksekutif Rumah KitaB Lies Marcoes, adalah sebuah sikap di dasarkan dari ketidaktahuan atau dari kesesatan dalam berpikir tentang suatu hal, dalam hal ini yang terkait dengan perempuan. Bias adalah hal wajar karena terkait ketidaktahuan itu sendiri. Menurut dia, semua orang bisa menjadi bias. Namun, bias bisa menjadi masalah manakala seseorang memiliki kekuasaan untuk menerjemahkan sesuatu yang sifatnya bias.

“Ia (pemilik kekuasaan) bisa menjadi bersikap atau melakukan tindakan dari kekeliruan dalam melihat (sesuatu yang sifatnya bias), bahayanya menjadi diskriminatif. Setiap orang pada dasarnya memiliki sifat itu,” kata Lies.

Dalam acara ini juga diluncurkan buku berjudul Kesetaraan Gender, Disabilitas dan Inklusi Sosial dalam Praktik: Pengalaman riset dan advokasi mitra Knowledge Sector Initiative. Buku ini berisi 30 cerita yang menyoroti pentingnya integrasi pengetahuan ke dalam kebijakan dengan melibatkan kelompok rentan sebagai sumber pengetahuan dan advokat aktif. Dokumen yang berisikan pembelajaran-pembelajaran ini menggambarkan bagaimana nilai-nilai, etika, dan prinsip-prinsip GEDSI dapat diterapkan dalam proses penelitian dan advokasi. Dengan demikian bisa memberikan rekomendasi praktis untuk memahami bagaimana laki-laki, perempuan, dan kelompok rentan memiliki kebutuhan dan kondisi kehidupan yang berbeda, termasuk akses dan kontrol atas kekuasaan, uang, hak asasi manusia, keadilan, sumber daya, dan pengambilan keputusan yang tidak setara. 

KSI memainkan peran katalis dalam penyusunan buku ini dengan (1) memprakarsai wacana publik tentang pentingnya pengarusutamaan GEDSI dalam penelitian dan advokasi dan (2) mempromosikan kolaborasi dan berbagi pengetahuan. Buku ini ditulis lebih dari 58 peneliti dan aktivis dari tiga perguruan tinggi, 13 lembaga riset dan delapan lembaga swadaya masyarakat beserta mitra dari program DFAT yang lain seperti, Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (MAMPU), Australia-Indonesia Partnership for Justice Phase II (AIPJ II), Abdul Latif Jameel Poverty Action Lab Southeast Asia  (J-PAL SEA), dan Indonesia Australia Partnership for Infrastructure (KIAT).

Konselor Menteri untuk Pemerintahan dan Pembangunan Manusia untuk Kedutaan Besar Australia di Jakarta Kirsten Bishop menyatakan pada pidato pembukannya bahwa Australia telah menetapkan Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial sebagai prioritas pembangunan lintas sektor. “Buku ini akan menjadi referensi yang berharga untuk advokasi kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi sosial di Indonesia. Kami menyadari bahwa tanpa adanya penelitian yang sensitif GEDSI, serta data dan bukti yang kuat, akan sulit mendapatkan solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi kelompok rentan terutama dalam masa pemulihan sesudah pandemi.”

Mengarusutamakan perspektif GEDSI dalam pembuatan kebijakan adalah inti dari perlindungan hak asasi manusia, berfungsinya demokrasi, penghormatan terhadap supremasi hukum, dan pertumbuhan ekonomi serta pembangunan yang berkelanjutan. Singkatnya, pengarusutamaan perspektif GEDSI itu sendiri merupakan instrumen untuk proses pembuatan kebijakan yang lebih baik. Hal tersebut memberikan kesempatan kepada pembuat kebijakan dan publik untuk proses pembelajaran yang memperhatikan dampak luas dari kebijakan pada kehidupan warga negara yang bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat, baik perempuan maupun laki-laki.

  • Bagikan: