Klirens etik yang berperspektif kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi sosial atau GEDSI dalam penelitian di Indonesia perlu diperkuat lewat kelembagaan. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa penelitian yang dilakukan bisa dipertanggungjawabkan integritasnya sesuai standar keilmuan dan etika yang ada. Di Indonesia, masih ditemukan sejumlah kasus pelanggaran etik dan penelitian.
Hal itu mengemuka dalam webinar KSIxChange#38 bertajuk “Menginternalisasi Perspektif GEDSI dan Pelembagaan Klirens Etik Penelitian” yang diselenggarakan pada Selasa (16/11/2021). Webinar ini hasil kerja sama Knowledge Sector Initiative dengan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI). Sebagai narasumber diskusi adalah Dr Evi Eliyanah Dosen Fakultas Sastra Inggris pada Universitas Negeri Malang dan Dr Herlambang P Wiratman Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Sementara, para penanggap pada diskusi ini adalah Ketua Komisi Klirens Etik Bidang Ilmu Sosial dan Kemanusiaan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dr Augustina Situmorang; Analis Kebijakan Ahli Madya pada Subdirektorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Kementerian Agama Dr Suwendi; Direktur Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) Universitas Indonesia Santi Kusumaningrum; dan Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Riset dan Teknologi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Pendidikan Tinggi Nizam. Diskusi ini dimoderatori oleh Dr Gumilang Sadewo Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada.
Dalam paparan yang disampaikan Evi Eliyanah, dikatakan bahwa regulasi mengenai klirens etik sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Namun, pelembagaannya di tingkat perguruan tinggi dan lembaga penelitian masih belum kokoh. Begitu pula dalam aturan turunan UU tersebut yang belum memperkuat kelembagaan klirens etik.
Menurut Evi, Indonesia memerlukan rancangan aturan yang mendukung pelembagaan klirens etik dan pengintegrasian yang berperspektif GEDSI dalam penyusunan dan penegakan klirens etik. Tujuan kenapa pentingnya klirens etik dilakukan adalah untuk memastikan bahwa penelitian dilakukan oleh individu peneliti yang berintegritas, prosesnya juga berintegritas sesuai dengan standar keilmuan dan etika yang ada.
“Isu etika dan integritas dalam penelitian merupakan isu global dengan salah satu indikatornya adalah permintaan jurnal-jurnal bereputasi internasional agar penelitiannya sudah melalui uji laik etik. Harapannya adalah, ketika klirens etik dilembagakan, ada dampak produktivitas yang tinggi terhadap publikasi penelitian Indonesia,” ujar Evi.
Evi menambahkan, berdasar kajiannya, ada tiga isu besar dalam pelembagaan klirens etik dan pengintegrasian perspektif GEDSI dalam penelitian di Indonesia. Pertama, kurangnya pemahaman tentang penerapan pentingnya prinsip etika dalam penelitian dan integrasi perspektif GEDSI dalam klirens etik. Kedua, kebijakan turunan dalam pelembagaan klirens etik dan pengintegrasian perspektif GEDSI di dalamnya masih minim. Ketiga, minimnya infrastruktur penilai laik etik di perguruan tinggi dan lembaga penelitian.
“Untuk itu, perlu pengarusutamaan klirens etik yang berspektif GEDSI dalam perumusan kebijakan pengelolaan penelitian. Mewujudkan hal tersebut membutuhkan dukungan dan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan, seperti kementerian yang mengelola dana penelitian, Majelis Rektor Indonesia, atau asosiasi profesi peneliti,” ucap Evi.
Pendapat senada disampaikan Herlambang P Wiratraman yang turut memberikan paparan. Menurut dia, tantangan melembagakan klirens etik yang berperspektif GEDSI di Indonesia masih tinggi. GEDSI sering kali menjadi riset, tapi sangat terbatas untuk menjadi perspektif. Tradisi riset dengan etik tinggi masih lemah. Etik riset kerap diremehkan. Institusi kampus yang permisif atas nirklirens etik kerap mengatasnamakan kebutuhan akreditasi atau publikasi melalui jurnal-jurnal predatorik.
“Problem mendasar etik terhubung dengan absennya tradisi dan dukungan kuat otonomi institusi akademik, sehingga pelembagaan klirens etik penelitian akan dengan mudah dikesampingkan dalam memperkuat saintifikasi,” ucap Herlambang.
Herlambang mengemukakan, praktik penelitian niretik di Indonesia masih banyak ditemukan. Sayangnya, praktik-praktik semacam itu terkesan ditutup-tutupi oleh dunia kampus, baik karena untuk menyelamatkan nama institusi atau lembaga. Begitu pula penelitian yang bias kepentingan, terutama kepentingan pemberi dana.
“Dunia kampus, kalau sudah diminta pemerintah ataupun korporasi dengan dana yang tidak sedikit, itu akan mengubah cara pandang mereka sehingga saintifikasinya tidak lagi untuk integritas, tapi untuk melayani pemberi dana,” kritik Herlambang.
Masih menantang
Augustina Situmorang membagikan pengalaman komite klirens yang ada di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Ia mengatakan, di LIPI sudah ada Komisi Klirens Etik yang didirikan pada 2013. Komisi tersebut diketuai oleh Deputi beranggotakan sejumlah peneliti. Pada 2016, peran Komisi Klirens Etik di LIPI kian besar setelah Deputi memberi porsi yang lebih bersar kepada peneliti untuk menjalankan peran dan fungsi Komisi Klirens Etik kepada anggota yang ditunjuk sebagai koordinator.
“Sejak 2019, seluruh penelitian yang didanai LIPI wajib mengajukan klirens etik mulai dari penyusunan proposal hingga pelaksanaan penelitian,” ucap Agustina.
Sementara itu, di Kementerian Agama, menurut Suwendi, pelembagaan klirens etik masih menemui tantangan. Namun, ia membenarkan bahwa integritas peneliti dan hasil penelitian sangat penting. Integritas peneliti dan orisinilitas penelitian menjadi pertahuran terhadap nama baik lembaga.
Bagi Santi Kusumaningrum, ekosistem penelitian di Indonesia masih belum utuh, terutama yang menyangkut klirens etik. Menurut dia, idealnya harus ada uji etik dalam seluruh rangkaian penelitian di Indonesia. Apalagi terhadap penelitian yang menjadikan kelompok rentan sebagai subyek penelitian. Untuk kelompok rentan yang jadi sasaran penelitian harus dipastikan bahwa penelitian tersebut berpijak pada etika dan memenuhi validitas ketaatan ilmiah.
Nizam mengakui bahwa penelitian yang berperspektif GEDSI di Indonesia masih belum menjadi isu utama. Begitu pula penelitian yang mengacu pada kode etik yang benar. Menurut dia, pemerintah terbuka terhadap semua masukan dan akan menjadikan pertimbangan dalam penyusunan panduan kode etik penelitian yang berperspektif GEDSI maupun pelembagaan klirens etik di Indonesia.
Walaupun sudah mengalami cukup banyak kemajuan, tetapi kebijakan terkait pelembagaan pengarusutamaan GEDSI terkait klirens etik masih menghadapi tantangan. Rekomendasi kebijakan yang diusulkan oleh ALMI harapannya dapat menjadi langkah strategis awal untuk dapat membawa ke arah perubahan agar pengembangan penelitian menjadi semakin inklusif.
KSIxChange adalah diskusi interaktif yang diinisiasi Knowledge Sector Initiative (KSI), kemitraan antara pemerintah Indonesia dan Australia dengan pendanaan dari Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) Australia. KSIxChange yang digelar minimal sekali dalam sebulan bertujuan untuk mendukung pelaksanaan program pemerintah melalui peningkatan diskursus publik yang berdasarkan penggunaan bukti dalam proses pembuatan kebijakan. (*)