Riset Bidang Iptek dan Inovasi adalah Kunci Menjadi Negara Maju

Penelitian dan pengembangan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi menjadi kunci bagi sebuah negara untuk tumbuh menjadi negara maju. Oleh karena itu, ekosistem kebijakan berbasis ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi harus terus ditumbuhkan. Selain itu, pengembangannya pun patut dijadikan prioritas pembangunan oleh pengambil kebijakan. Demikian yang mengemuka dalam webinar “The Indonesian Science Technology Innovation (STI) Policy Lecture Series I-2021: Konsep Kebijakan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Inovasi” pada Selasa (26/10/2021). Acara ini diselenggarakan Knowledge Sector Initiative, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), serta Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG).

Riset Bidang Iptek dan Inovasi adalah Kunci Menjadi Negara Maju

Penelitian dan pengembangan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi menjadi kunci bagi sebuah negara untuk tumbuh menjadi negara maju. Oleh karena itu, ekosistem kebijakan berbasis ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi harus terus ditumbuhkan. Selain itu, pengembangannya pun patut dijadikan prioritas pembangunan oleh pengambil kebijakan.

Demikian yang mengemuka dalam webinar “The Indonesian Science Technology Innovation (STI) Policy Lecture Series I-2021: Konsep Kebijakan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Inovasi” pada Selasa (26/10/2021). Acara ini diselenggarakan Knowledge Sector Initiative, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), serta Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG). Adapun narasumber dalam webinar ini adalah Prof Dr Ki-Seok Kwon dari Department of Public Policy Hanbat National University, Korea Selatan, dan Fadillah Putra PhD dari Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, Malang.

Dalam paparannya, Ki-Seok Kwon menyampaikan bahwa inovasi menjadi sangat penting bagi kemajuan sebuah bangsa. Ia mencontohkan Korea Selatan yang berawal dari negara miskin menjadi negara maju berkat inovasi. Menurut dia, elemen dasar dari inovasi adalah teknologi yang murah dan berhasil diterapkan di pasar. Tanpa kesuksesan di pasar, imbuh dia, teknologi tersebut belum bisa dikategorikan sebagai sebuah inovasi. 

Kwon juga menguraikan beberapa teori dan sejarah tentang inovasi. Di era 1950-an, dikenal teori The Technology Push Theory. Teori ini mengedepankan penelitian, riset, dan penggunaan teknologi dalam membuat sebuah produk yang kelak dibutuhkan pasar. Kemudian, di era 1960-an dikenal istilah The Market Pull Theory di mana kebutuhan pasar mendorong diciptakannya sebuah inovasi. Berikutnya pada 1970-an,  populer dengan The Coupling Innovation Process Theory yang mengombinasikan kedua teori sebelumnya. 

“Contohnya adalah kebutuhan masyarakat akan kemudahan komunikasi mendorong kemunculan teknologi ponsel yang kemudian diikuti dengan beragam seri ponsel lain dengan menyesuaikan kebutuhan pasar,” ucap Kwon.

Di Korea Selatan, imbuh Kwon, inovasi berproses dan berevolusi. Di negara tersebut berkembang konsep yang ia sebut sebagai sistem inovasi nasional. Sistem ini mengintegrasikan sejumlah elemen, seperti infrastruktur komunikasi, kondisi pasar, sistem pendidikan dan pelatihan, serta regulasi pemerintah. 

Menurut dia, di era 1950-an, Korea dikenal sebagai negara berpendapatan rendah di kawasan Asia, bahkan lebih rendah dari negara-negara Afrikan. Pada saat itu, Pemerintah Korea menghadapi tantangan bagaimana mengentaskan kemiskinan penduduknya. Situasi dipersulit oleh ketiadaan sumber daya alam yang memadai untuk mendorong industrialisasi. 

“Strategi yang dilakukan negara kami adalah mencari sumber daya, teknologi, dan pasar; mengembangkan strategi berbasis sumber daya manusia; serta industrialisasi dengan mengedepankan inovasi yang tidak semata meniru. Hasilnya, ekonomi Korea Selatan berkembang dramatis. Sebagai gambaran, pada tahun 1960 produk domestik bruto (PDB) per kapita sebesar 79 dollar AS, namun pada 2010 menjadi meroket menjadi 20,753 dollar AS,” kata Kwon.

Kwon menambahkan, sejumlah syarat untuk mencapai kesuksesan inovasi adalah kepemimpinan sebuah pemerintahan, kepemimpinan CEO perusahaan dalam pengembangan teknologi, serta dukungan negara lewat kebijakan maupun anggaran. Selain itu, pengembangan teknologi berbasis pasar, mengutamakan kemampuan produksi ketimbang kebaruan teknologi, dan memanfaatkan jaringan infrastruktur global. Semua itu bisa berjalan baik apabila didukung dengan sumber daya manusia terampil, pembelajaran teknologi, dan perbaikan sistem pendidikan yang mengarusutamakan inovasi.

“Sebagai sebuah kesimpulan, baik di negara maju atau berkembang, investasi penelitian dan pengembangan dibatasi oleh kurangnya sumber daya manusia, alih-alih keterbatasan anggaran. Di Korea, pemerintah banyak berinvestasi pada sektor pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia,” ucap Kwon.

Sementara itu, Fadillah Putra menambahkan, Indonesia sudah memiliki Rencana Induk Riset Nasional 2017-2045 yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2018. Dalam regulasi tersebut, Indonesia memiliki visi berdaya saing dan dan berdaulat yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi. Misinya adalah menciptakan masyarakat Indonesia yang inovatif berbasis ilmu pengetahuan dan teknoligi; serta menciptakan keunggulan kompetitif bangsa secara global berbasis riset.

“Namun, Indonesia masih membutuhkan dengan apa yang disebut epistemic governance. Ini semata bukan tuntutan internal di Indonesia, tetapi juga tuntutan global. Dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s) tujuan kesembilan, poin kelima, berbunyi upaya meningkatkan penelitian dan pengembangan, menaikkan kemampuan teknologi di seluruh sektor industri, khususnya di negara-negara berkembang, sampai 2030. Perlu didorong inovasi dan meningkatkan jumlah peneliti per 1 juta penduduk dan menaikkan anggaran penelitian di sektor publik (pemerintah) maupun swasta,” kata Fadillah.

Lebih jauh, Fadillah menjelaskan bahwa epistemic governance membutuhkan sejumlah syarat, seperti pendidikan tinggi yang berkualitas. Membahas pendidikan tinggi yang berkualitas perlu perubahan paradigma dari teori eksplorasi ke riset berbasis inovasi, serta pengelolaan perguruan tinggi menjadi lebih baik. Menurut dia, Korea Selatan sangat mendukung dan memfasilitasi gagasan dan inovasi yang dimiliki dosen atau peneliti di perguruan tinggi. Di Indonesia, belum semua perguruan tinggi memberikan dukungan dan fasilitas semacam itu.

“Selain pendidikan berkualitas, diperlukan pula syarat produksi pengetahuan dan pembelajaran kebijakan. Untuk produksi pengetahuan, Pemerintah Indonesia baru saja membentuk Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) agar proses produksi pengetahuan lebih maksimal dan menjembatani iptek dengan kebijakan publik,” ujar Fadillah.

Sementara itu, terkait pembelajaran kebijakan, perlu diciptakan tata kelola pemerintahan yang demokratis yang mengedapankan bukti ilmiah ketimbang political interest. Ketika ilmu pengetahuan dan politik makin melekat, maka keduanya akan saling belajar. Dengan demikian, politik akan sadar bahwa keputusan yang diambil harus berbasis ilmu pengetahuan atau ilmiah. Sebaliknya, ilmu pengetahuan juga harus sadar bahwa itu iptek adalah hasil dari kontestasi politik. “Pembiayaan riset harus mulai difokuskan secara luas dari pusat sampai daerah agar pemerintah Indonesia bisa segera berbenah diri membentuk eksosistem yang nyaman terhadap tumbuhnya iptek dan inovasi,” ujarnya. 

The Indonesian STI Policy Lecture Series bertujuan untuk melakukan upaya komunikasi dan diseminasi isu-isu dan kebijakan iptekin ke masyarakat secara luas di Indonesia. Adapun model komunikasi dan diseminasi kegiatan ini diadakan secara berkala dan saling berkesinambungan. Serial diskusi ini melibatkan pemerintah, akademisi, lembaga peneliti kebijakan, sektor swasta dan komunitas/organisasi masyarakat sipil lainnya untuk berperan sebagai narasumber maupun peserta aktif. (*)

  • Bagikan: