Berdasar Resolusi 47/3 yang disepakati dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1992 ditetapkan setiap tanggal 3 Desember sebagai Peringatan International Day of Persons with Disabilities. Peringatan ini bertujuan untuk memperbesarkan dukungan bagi penghormatan dan pemenuhan hak, martabat, kenyamanan dan kesejahteraan para penyandang disabilitas.
Pada peringatan 3 Desember 2021 ini mengangkat tema “Leadership and Participation of Persons with disabilities toward an inclusive, accesible and sustainable post COVID-19 world”. Tema ini tentu sangat relevan dengan situasi saat ini dimana kecamuk pandemik COVID-19 belum usai. Gelombang baru penularan masih terus terjadi di berbagai belahan bumi.
Pandemi COVID-19 yang telah menjadi krisis global juga telah menempatkan para penyandang disabilitas menjadi semakin rentan untuk dapat menjangkau skema perlindungan sosial dan layanan kesehatan untuk menghadapi COVID-19 akibat pembatasan mobilitas dan perspektif kebijakan yang belum mengakomodasi kemudahan akses bagi penyandang disabilitas.
Ada tiga kata kunci yang muncul dalam tema tahun ini yang harus menjadi perhatian utama untuk memastikan pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam situasi apapun yaitu: inclusive, accesible and sustainable. Hal lain yang juga harus menjadi pedoman untuk merumuskan kebijakan terkait pemenuhan hak disabilitas adalah pendekatan atau perspektif interseksionalitas.
Pendekatan atau perspektif interseksionalitas ini menjadi kebutuhan nyata ketika sektor-sektor marginal seperti perempuan, pekerja migran dan masyarakat adat juga mengalami kondisi disabilitas. Kondisi yang dialami mereka mengalami dikriminasi beragam dan berlapis.
Dengan menggunakan pendekatan interseksionalitas ini, Migrant CARE bersama OHANA (organisasi yang memperjuangkan hak penyandang disabilitas) pada semester pertama 2021 ini melakukan kajian kebijakan mengenai pekerja migran yang berada dalam situasi disabilitas dan belum adanya respons kebijakan yang inklusif.
Dalam kerangka kebijakan, Indonesia sudah memiliki seperangkat instrumen baik di tingkat internasional maupun nasional yang menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak pekerja migran dan hak penyandang disabilitas. Indonesia telah menjadi negara pihak (state party) dalam Konvensi Penyandang Disabilitas dan Konvensi Pelindungan Pekerja Migran. Di tingkat nasional juga sudah memiliki UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan UU No. 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran.
Namun demikian, hingga saat ini implementasi dari komitmen pelindungan hak pekerja migran dan penyandang disabilitas masih jauh panggang dari api, apalagi implementasi kebijakan yang interseksional misalnya mengkaitkan pemenuhan hak pekerja migran dalam perspektif hak penyandang disabilitas ataupun pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam perspektif hak-hak pekerja migran.
Beberapa temuan kunci yang masih problematik terkait disabilitas dan pekerjaan adalah syarat dan ketentuan “sehat jasmani dan rohani” yang ada dalam berbagai regulasi selalu menjadi penghambat masuknya para penyandang disabilitas dalam dunia kerja, pendidikan maupun aktivitas publik lainnya. Kaum penyandang disabilitas masih tetap distigma sebagai kelompok non-produktif.
Dalam konteks migrasi tenaga kerja juga ditemukan belum adanya kesempatan yang sama bagi calon pekerja penyandang disabilitas untuk dapat mengakses kesempatan pekerja di luar negeri. Padahal di berbagai negara, terutama yang telah mengimplementasikan secara maksimal Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas, terbuka kesempatan yang sama bahkan ada yang menyediakan afirmasi khusus bagi pekerja penyandang disabilitas untuk dapat bekerja.
Sebaliknya, dalam konteks perlindungan pekerja migran Indonesia hampir sama sekali belum teridentifikasi kebijakan pemenuhan hak pekerja migran dalam konteks pemenuhan hak disabilitas. Ini bisa dilihat dari model pendataan mobilitas pekerja migran yang belum memasukkan variabel data pekerja migran yang mengalami disabilitas atau menjadi penyandang disabilitas baru.
Kealpaan ini tentu mempengaruhi lahirnya kebijakan yang kurang memenuhi hak disabilitas dalam perlindungan hak-hak pekerja migran. Salah satu contohnya adalah Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 18 Tahun 2018 tentang Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Bagi Pekerja Migran Indonesia masih menggunakan terminologi “kecacatan” (terjemahannya invalid) ketimbang disabilitas. Dalam aturan ini skema penjaminan asuransi bagi pekerja migran yang mengalami kecelakaan kerja sehingga menjadi penyandang disabilitas juga belum berperspektif pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.
Temuan-temuan ini memperlihatkan bahwa banyak kebijakan yang kurang mendukung pemenuhan hak pekerja migran dan hak penyandang disabilitas padahal seharusnya menjadi instrumen pemenuhan hak mereka. Hal ini tidak akan terjadi jika kebijakan tersebut diambil berbasis pada riset dan perspektif keberpihakan pada kelompok marginal.
Oleh karena itu, untuk memastikan pemenuhan hak pekerja migran dan hak penyandang disabilitas dibutuhkan regulasi dan kebijakan yang inklusif, yang berbasis pada kerja riset dalam ekosistem pengetahuan dan kolaborasi semua pemangku kepentingan, dan tentu saja mendengarkan suara dan aspirasi para pekerja migran dan penyandang disabilitas.
Penulis: Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant CARE
Tulisan ini diterjemahkan dari artikel yang telah dipublikasikan di Jakarta Post pada tanggal 3 Desember 2021.