Pemerintah Indonesia telah memiliki perangkat undang-undang dan aturan turunan yang mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas. Namun, implementasi dari perangkat aturan tersebut belum sepenuhnya nyata di lapangan. Salah satu sebabnya adalah minimnya ketersediaan data yang terpadu tentang kelompok penyandang disabilitas di Indonesia.
Demikian benang merah diskusi bertajuk “KSIxChange#39 Memperkuat Aspek Inklusi Disabilitas pada Proses Integrasi Pengetahuan ke Kebijakan (K2P)” yang berlangsung pada Kamis (2/12/2021). Acara yang diselenggarakan Knowledge Sector Initiative (KSI) menghadirkan sejumlah narasumber, yaitu Ketua Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Gufroni Sakaril, peneliti PRAKARSA Eka Afrina Djamhari, Presiden Asutralia Indonesia Disability Research and Advocacy Network (AIDRAN) Dina Afrianty, Sekretaris Jenderal ASEAN Disability Forum dan Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Maulani A Rotinsulu, Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo, peneliti pada PUI-PT PPH PUK2IS Unika Atma Jaya Gaby Gabriela Langi, serta Peneliti Utama Pusat Riset Politik pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Tri Nuke Pudjiastuti.
Dalam pidato sambutannya, Acting Counsellor Development Effectiveness and Sustainability Section Australian Embassy Jakarta, Jennifer Donohoe, mengatakan, keterlibatan penyandang disabilitas dalam kebijakan luar negeri Australia telah membawa perubahan dalam beberapa dekade terakhir, termasuk strategi pembangunan inklusif dalam program bantuan luar negeri Australia. Dalam merespon pandemi Covid-19, semua program bantuan diprioritaskan pada pengurangan dampak pandemi terhadap kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas.
“Sayangnya, terbatasnya ketersediaan data mengenai penyandang disabilitas di Indonesia menyulitkan kami untuk menemukan solusi bagi penyandang disabilitas. Oleh karena itu, kami berharap lewat KSI untuk memperkuat jejaring kerja sama dengan penyusun kebijakan maupun kelompok penyandang disabilitas, serta mendorong penguatan penelitian dan kebijakan yang lebih inklusif,” kata Jennifer.
Dampak pandemi Covid-19 bagi penyandang disabilitas, menurut Gufroni Sakaril, perlu solusi terpadu dari seluruh pemangku kepentingan. Dampak yang dialami penyandang disabilitas selama pandemi Covid-19, antara lain menjadi korban pemutusan hubungan kerja, pendapatan yang menurun drastis (bagi yang masih bekerja), serta kesulitan bersosialisasi akibat pembatasan kegiatan masyarakat oleh pemerintah. “Perlu duduk bersama antarpemangku kepentingan dan mengadvokasi pemerintah agar bisa menyusun kebijakan yang tepat bagi penyandang disabilitas selama pandemi Covid-19 berlangsung,” ucapnya.
Berdasar penelitian PRAKARSA, Eka Afrina Djamhari mengatakan, penyandang disabilitas adalah kelompok yang paling rentan untuk masuk dalam kategori kelompok miskin tertinggi. Bantuan-bantuan pemerintah berupa perlindungan sosial untuk mengurangi dampak pandemi belum sepenuhnya menyentuh kelompok penyandang disabilitas. Kelompok penyandang disabilitas juga kian kesulitan mengakses layanan publik di masa pandemi, seperti layanan kesehatan, pendidikan, maupun pekerjaan.
“Dari sisi infrastruktur, misalnya. Belum semua Puskesmas atau rumah sakit memiliki infrastruktur yang layak bagi penyandang disabilitas. Begitu pula informasi tentang layanan kesehatan tidak ramah terhadap ragam penyandang disabilitas yang ada,” ujar Eka.
Hal senada disampaikan Dina Afrianty. Isu mobilitas masih menjadi isu utama bagi penyandang disabilitas, terutama di masa pandemi Covid-19. Dalam kegiatan belajar-mengajar, mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, belum ada sarana transportasi yang bisa diakses oleh penyandang disabilitas. Lembaga pendidikan juga belum peka untuk menerapkan pendidikan inklusif yang mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas.
“Memang sudah ada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, termasuk aturan turunannya. Tetapi, implementasi di lapangan belum optimal. Dari sekian banyak perguruan tinggi di Indonesia, baru ada 11 perguran tinggi yang memiliki unit layanan disabilitas,” ucap Dina.
Begitu pula dalam hal layanan kesehatan jiwa. Menurut Gaby Gabriela Langi, pandemi Covid-19 kian mempersulit pasien dengan masalah kejiwaan atau dengan gangguan jiwa untuk mendapat layanan kesehatan jiwa di Puskesmas atau rumah sakit. Dibutuhkan advokasi yang lebih masif untuk memikirkan dan membuat adaptasi baru layanan kesehatan jiwa di masa pandemi.
Kekuatan data
Dalam hal ketenagakerjaan, pengamatan Migrant Care menunjukkan, tidak ada data yang dikumpulkan pemerintah mengenai kasus kekerasan yang dialami pekerja migran. Padahal, dari kasus kekerasan tersebut berpotensi menyebabkan mereka menjadi penyandang disabilitas baru. Lantaran tidak ada data tersebut, saat pemulangan pekerja migran ke Tanah Air, tidak disiapkan alat bantu atau akomodasi yang layak bagi pekerja migran yang menjadi penyandang disabilitas baru.
“Begitu pula dalam konteks purnamigran. Pelatihan yang diberikan pemerintah tidak bisa diakses oleh purnamigran yang menjadi penyandang disabilitas baru. Kami melihatnya ini ada aspek yang hilang dari sisi pemenuhan hak disabilitas,” kata Wahyu Susilo.
Pentingnya data penyandang disabilitas di Indonesia juga disampaikan Maulani A Rotinsulu. Meski sudah diakomodasi dalam UU No 8/2016, data penyandang disabilitas yang ada di Indonesia masih bersifat makro. Belum ada data mikro yang detail by name by address. Dampaknya, tidak semua penyandang disabilitas terjangkau program pembangunan yang dilakukan pemerintah lewat masing-masing kementerian.
“Perlu kolaborasi antara pemerintah, seperti Badan Pusat Statistik, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Sosial, bersama asosiasi atau paguyuban penyandang disabilitas, untuk memberi penilaian atau mengukur partisipasi penyandang disabilitas dalam proses pembangunan. Mereka (penyandang disabilitas) harus terjangkau oleh pembangunan dan perlu dibuat instrumen kebijakan yang benar-benar mengakomodasi hal tersebut,” ujar Maulani.
Tri Nuke Pudjiastuti mengakui, riset-riset mengenai disabilitas di Indonesia masih sangat minim. Perlu didorong bahwa kampanye penelitian yang urusannya dengan kepentingan publik harus memasukkan indikator disabilitas. Riset tersebut harus didorong agar bisa memengaruhi kebijakan di Indonesia yang mengarusutamakan kebijakan inklusif yang ramah dan mengakomodasi kepentingan penyandang disabilitas.
Diskusi ini juga menjadi wadah untuk menjaring masukan dan perencanaan dalam mendukung BRIN mendesain program dan masukan sebagai bagian dari Management of Social Transformation (MOST) UNESCO. Diskusi ini juga diharapkan dapat menjadi titik awal untuk sebuah rencana aksi bersama dengan menggunakan MOST UNESCO sebagai salah satu kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan yang lebih inklusif.
KSIxChange adalah diskusi interaktif yang diinisiasi Knowledge Sector Initiative (KSI), kemitraan antara pemerintah Indonesia dan Australia dengan pendanaan dari Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) Australia. KSIxChange yang digelar minimal sekali dalam sebulan bertujuan untuk mendukung pelaksanaan program pemerintah melalui peningkatan diskursus publik yang berdasarkan penggunaan bukti dalam proses pembuatan kebijakan. (*)