Agama bisa menjaga kohesi sosial di tengah situasi yang tak pasti akibat pandemi. Namun, konservatisme agama kerap bertumbukkan dengan pendekatan sains yang diperlukan untuk menangani pandemi. Kajian multiperspektif diperlukan untuk mengurai hal tersebut.
Demikian benang merah presentasi A Najib Burhani, Peneliti Ilmu Sosial, Budaya dan Agama, Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam acara KSIxChange#36: ALMI Special Scientist Series pada Selasa (21/9) lalu. Forum yang berjudul “Bagaimana Ilmu Sosial Humaniora Dapat Melindungi Kelompok Rentan Akibat Pandemi Covid-19” itu diselenggarakan oleh Knowledge Sector Initiative (KSI) bekerja sama dengan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI).
Forum tersebut menghadirkan pembicara yang memaparkan situasi kelompok-kelompok rentan di Indonesia. Selain Najib, pembicara lainnya adalah peneliti pendidikan Universitas Negeri Semarang Zulfa Sakhiyya, peneliti seni dan budaya Universitas Negeri Jakarta Apriani Murwanti, direktur Sajogyo Institute Maksum Syam, peneliti ekonomi Universitas Indonesia Teguh Dartanto, dan peneliti kesehatan Universitas Hasanuddin Sudirman Nasir. Inaya Rakhmani dan Evi Eliyanah dari ALMI menjadi moderator diskusi. Acara yang disiarkan di kanal Youtube The Conversation Indonesia ini dilengkapi dengan kehadiran penerjemah dan juru bahasa isyarat.
Paparan Najib berangkat dari posisi agama dan sains dalam situasi pandemi. Ada situasi ketika praktik keagamaan dianggap berkontribusi dalam penyebaran virus. Acara keagamaan di Gowa, Sulawesi Selatan, misalnya, disebut menyumbang sebanyak 1.068 kasus positif Covid di Indonesia. Di India, sebanyak 29,8 persen dari 14.378 kasus positif Covid-19 pada April 2021 merupakan orang-orang yang pergi ke suatu upacara keagaaman. Helatan itu pun ditengarai menjadi penyebab gelombang kedua pandemi Covid-19 di India.
Menurut dia, perspektif teologis juga kerap menjadi latar belakang dari sikap-sikap yang terlihat sebagai anti-sains. Ini bisa dilihat misalnya ketika ada kelompok-kelompok agama yang berargumen bahwa mereka lebih takut kepada Tuhan ketimbang virus.
Minoritas terus terdiskriminasi
Di masa pandemi, tekanan dan diskriminasi kepada kelompok-kelompok minoritas masih terjadi. Ia mencatat terdapat tiga peristiwa kekerasan terhadap kelompok minoritas selama Maret-Juni 2020 lalu. Seperti tekanan dari Aliansi Benteng Aqidah kepada Bupati Bogor untuk melarang Ahmadiyah, penyegelan masjid Ahmadiyah di Singaparna, Jawa Barat hingga penyegelan terhadap bakal pemakaman keluarga dari penganut Adat Kruhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan di Kuningan, Jawa Barat. “Aksi tersebut menunjukkan bahwa setidaknya bagi sekelompok masyarakat tertentu pandemi bukan masalah utama. Namun isu sektarianisme (paham yang mengunggulkan kelompok sendiri sehingga membenci kelompok lain, misal karena perbedaan keyakinan) masih dianggap lebih berbahaya oleh mereka,” tandas Najib.
Tak hanya kepada kelompok agama dan kepercayaan tertentu, diskriminasi dalam situasi pandemi juga menyasar kelompok etnis tertentu. Seiring kemunculan pandemi di Wuhan, China, misalnya, kelompok etnis Tionghoa dipandang sebagai penyebar virus.
Diskriminasi yang dialami kelompok minoritas sejak sebelum pandemi terus berlanjut di masa pandemi sehingga membuat mereka semakin rentan karena mendapat tekanan sosial dan ekonomi. Diskriminasi semacam itu juga berimbas pada bagaimana mereka mendapatkan pelayanan dan hak yang sama dalam kondisi pandemi.
Meskipun demikian, respons yang diberikan kelompok-kelompok minoritas ini justru sebaliknya. “Mereka justru menjadi kelompok yang cukup bisa diajak kerja sama dan berkontribusi pada pencegahan Covid-19 secara meluas, meskipun situasinya mereka didiskriminasi sedemikian rupa,” tandasnya.
Pendekatan multiperspektif
Di tengah situasi yang kompleks itu, Najib menilai ilmu sosial humaniora memiliki peran yang cukup strategis dalam mengkaji gesekan-gesekan tersebut. “Sebenarnya kita memiliki modal seperti bagaimana Indonesia memiliki semangat filantropi, voluntarisme, dan gotong-royong yang baik ketimbang negara lain. Ini adalah bagian kekuatan yang bisa dikembangkan,” ujarnya.
Oleh karena itu, Najib menekankan perlunya tinjauan karakter sosial budaya dalam merumuskan program-program pengentasan pandemi. Ini menjadi perlu lantaran sikap masyarakat dalam menanggapi situasi dipengaruhi oleh karakter sosial budaya termasuk nilai-nilai agama. “Misalnya kasus ketika tata cara pemakaman sesuai protokol ditolak, atau bagaimana program vaksinasi dapat terhambat ketika banyak masyarakat yang menganggap vaksin adalah produk buatan yang direka sedemikian rupa untuk mengontrol manusia,” terang Najib.
Dengan pendekatan sosial humaniora, akan bisa dilihat bahwa pandemi bisa meredefinisi pandangan masyarakat terhadap hubungan keluarga, termasuk dengan anggota yang sudah meninggal. Hal ini misalnya terjadi ketika momen ziarah makam yang biasanya dilakukan setiap menjelang hari raya harus ditunda karena pembatasan sosial. “Ada inovasi-invoasi untuk menyesuaikan tradisi tersebut,” ungkapnya.
Najib berkesimpulan, dalam penanganan dampak pandemi, para pihak terkait perlu melihat aspek-aspek sensitif yang dilatari oleh perbedaan kultur dan agama dalam mengkomunikasikan hal-hal yang bersifat sakral bagi masyarakat. “Agama jangan dilihat sebagai hambatan. Tapi justru dilihat sebagai modal yang dapat membantu. Anjuran-anjuran dan upaya modifikasi ritual jadi piranti untuk tetap menjaga hubungan sosial dan kestabilan hubungan keluarga. Termasuk kepada kelompok minoritas, pandemi menjadi kesempatan untuk mempertebal relasi dengan mereka dan menjaga kemanusiaan kita,” tandas Najib.