Kolaborasi Lintas Disiplin Dorong Relevansi Ilmu Kesehatan

Pandemi merupakan momentum bagi bidang ilmu kesehatan untuk mengubah pendekatan yang selama ini digunakan dalam merespons krisis kesehatan. Melalui pendekatan lintas disiplin, ilmu kesehatan akan lebih bisa relevan dengan kebutuhan masyarakat. Itulah pesan utama dari presentasi Sudirman Nasir, peneliti kesehatan Universitas Hasanuddin, dalam forum berjudul “Bagaimana Ilmu Sosial Humaniora Dapat Melindungi Kelompok Rentan Akibat Pandemi Covid-19”, diselenggarakan oleh Knowledge Sector Initiative (KSI) bekerja sama dengan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI).

Kolaborasi Lintas Disiplin Dorong Relevansi Ilmu Kesehatan

Pandemi merupakan momentum bagi bidang ilmu kesehatan untuk mengubah pendekatan yang selama ini digunakan dalam merespons krisis kesehatan. Melalui pendekatan lintas disiplin, ilmu kesehatan akan lebih bisa relevan dengan kebutuhan masyarakat.

Itulah pesan utama dari presentasi Sudirman Nasir, peneliti kesehatan Universitas Hasanuddin, dalam acara  KSIxChange#36: ALMI Special Scientist Series pada Selasa (21/9) lalu. Forum yang berjudul “Bagaimana Ilmu Sosial Humaniora Dapat Melindungi Kelompok Rentan Akibat Pandemi Covid-19” itu diselenggarakan oleh Knowledge Sector Initiative (KSI) bekerja sama dengan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI).

Forum tersebut menghadirkan pembicara yang memaparkan situasi kelompok-kelompok rentan di Indonesia. Selain Sudirman, pembicara lainnya adalah peneliti seni dan budaya Universitas Negeri Jakarta Aprina Murwanti, peneliti pendidikan Universitas Negeri Semarang Zulfa Sakhiyya, Direktur Eksekutif Sajogyo Institute Maksum Syam, peneliti ilmu sosial budaya dan agama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Najib Burhani, dan peneliti ekonomi Universitas Indonesia Teguh Dartanto. Inaya Rakhmani dan Evi Eliyanah dari ALMI menjadi moderator diskusi. Acara yang disiarkan di kanal Youtube The Conversation Indonesia ini dilengkapi dengan kehadiran penerjemah dan juru bahasa isyarat.

Sudirman mengatakan, pendekatan satu dimensi ala ilmu kesehatan perlu terus dipertanyakan. “Mengutip Rudolf Virchow, bapak patologi dunia, penyakit tidak bisa diisolasi dari manusia sebagai mahluk biologis saja. Kenyataannya lebih besar dari itu,” katanya.

Menurut dia, masalah kesehatan terlalu rumit untuk ditangani dari perspektif kesehatan saja. Tradisi kolaborasi ilmu kedokteran dengan disiplin lain pun sebenarnya sudah dilakukan sejak lama. Dengan kolaborasi lintas disiplin, masalah kesehatan akan lebih bisa ditangani karena mempertimbangkan berbagai faktor termasuk fakta bahwa risiko penyakit dan kerentanan tidaklah merata. Ada kelompok yang lebih rentan dan ada pula yang lebih kuat karena memiliki previlese, sehingga memerlukan pendekatan penanganan yang berbeda. 

Kelompok rentan

Sudirman menyebut bahwa dalam masyarakat selalu ada kelompok yang lebih rentan. Demikian pula sebaliknya, selalu ada yang lebih memiliki daya tahan ketimbang yang lain. Ia menyebut istilah cluster of disadvantage yang digunakan untuk menunjukkan bahwa kerentanan bisa terakumulasi pada diri seseorang.

Salah satu kelompok dengan akumulasi kerentanan di masa pandemi adalah kelompok pengidap penyakit kronis yang aksesnya ke layanan pengobatan menjadi terhambat baik karena keterbatasan fasilitas kesehatan maupun tekanan ekonomi. Demikian pula dengan penyandang disabilitas yang miskin dengan latar belakang kepercayaan minoritas. Posisinya saat pandemi akan menjadi sangat rentan. Apalagi situasi kerentanannya itu bisa terwariskan, baik secara kesehatan atau sosial. Situasi-situasi khusus semacam itu perlu diperhatikan dalam kebijakan penanganan pandemi.

Kolaborasi ilmu sosial dan ilmu kesehatan juga sangat berguna ketika upaya untuk mengentaskan kerentanan kelompok tertentu terbentur berbagai stigma. Misalnya stigma yang mendera penderita HIV/AIDS, pengguna narkoba, kelompok penyandang disabilitas, dan bahkan penderita Covid-19.

Contoh lain dari pentingnya kolaborasi itu adalah ketika upaya pendidikan publik terkait isu-isu kesehatan harus berhadapan dengan kelompok masyarakat yang telah terpapar hoaks ataupun opini-opini menyesatkan. “Biomedical science tidak punya pisau yang tajam jika hanya mengandalkan perspektif liniernya,” tandas Sudirman.

Dengan menimbang faktor-faktor di luar non-medis, ilmu kesehatan akan lebih bisa menemukan relevansi di tengah masyarakat yang kompleks. Perspektif ilmu sosial dapat melengkapi ilmu kesehatan yang kadang terlalu terobsesi kepada faktor-faktor yang kasat mata. “Obsesi terhadap sebab-akibat membuat ilmu kesehatan kehilangan nuansa bahwa orang-orang rentan adalah manusia dan anggota masyarakat, sehingga sebenarnya butuh penelaahan terhadap faktor-faktor yang lebih jauh tentang pengalaman mereka seperti apa,” kata Sudirman.

Menurut dia, mengisolasi manusia sebagai sebuah entitas yang lepas dari aspek sosial dan kulturalnya hanya akan membuat ilmu medis stagnan. “Seperti bagaimana misalnya seorang dengan disabilitas memiliki cara-caranya sendiri untuk merespons hidup sehari-hari yang penuh hambatan. Perspektif medis cenderung melihat mereka secara pasif,” katanya.

Untuk itu, peneliti tidak bisa menempatkan kelompok rentan sebagai obyek. Peneliti justru harus melibatkan kelompok rentan dalam penelitian sehingga perspektif mereka masuk dalam penelitian.

Ia menambahkan, stagnasi ilmu kesehatan itu juga bisa terjadi ketika kasus-kasus tertentu yang melibatkan manusia dan masyarakat dianggap sebagai sekumpulan data saja. “Kasus kesehatan memang perlu diakumulasi dan dikalkulasi sebagai data. Namun, jangan mengabaikan sesuatu yang khas dari ilmu sosial yaitu gambaran rinci,” tandasnya.

  • Bagikan: