Perempuan memiliki peran penting dalam tradisi tenun sutra di Sulawesi Selatan. Namun, saat ini perempuan yang bekerja dalam rantai nilai tenun sutra baik di sisi hulu hingga hilir belum sejahtera. Tanpa ada intervensi kebijakan, hal itu akan berdampak pada terhentinya regenerasi dalam industri sutra Sulawesi Selatan.
Demikian salah satu temuan hasil kajian rantai nilai komoditas sutra Sulawesi Selatan yang disampaikan dalam acara bertajuk “Industri Sutra Sulawesi Selatan dalam Perspektif Kesetaraan Gender dan Penghidupan yang Berkelanjutan”. Acara daring ini diselenggarakan Yayasan BaKTI dengan dukungan dari program kerjasama pemerintah Indonesia dan Australia Knowledge Sector Initiative (KSI) pada Kamis (23/9). Pembicara dalam acara ini adalah anggota tim pelaksana kajian rantai nilai sutra Sulawesi Selatan dari aspek gender, disabilitas, dan inklusi sosial (GEDSI) Lusia Palulungan, anggota tim pelaksana kajian rantai nilai sutra Sulawesi Selatan dari aspek penghidupan Nurhady Sirimorok, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Sulawesi Selatan Fitriah Zainuddin, dan Kepala Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sulawesi Selatan Darmawan Bintang. Adapun Fadiah Machmud menjadi moderator acara yang dilengkapi dengan kehadiran juru bahasa isyarat ini.
Koordinator Program Koordinator Yayasan BaKTI Rahmad Sabang saat membuka acara menuturkan, forum ini diharapkan bisa memberikan masukan dan kontribusi pemikiran bagi upaya mengembalikan kejayaan sutra di Sulawesi Selatan. Terlebih, sutra pernah menjadi salah satu komoditas unggulan Sulawesi Selatan dan menyumbang sekitar 80 persen kebutuhan sutra alam nasional. “Saat ini kondisinya berubah. Jangankan memenuhi kebutuhan nasional, kebutuhan lokal pun harus kita impor,” katanya.
Anggota tim pelaksana kajian rantai nilai sutra Sulawesi Selatan dari aspek GEDSI Lusia Palulungan mengatakan, sebanyak 70 – 90 persen penenun adalah perempuan. Namun, mereka mengalami ketidakadilan gender, misalnya berupa beban ganda, rendahnya upah karena rendahnya tingkat pendidikan, hingga kurangnya akses ke permodalan, peralatan dan peningkatan kapasitas. Akibatnya, perempuan yang bekerja di sektor sutra tidak punya posisi tawar untuk menentukan jam kerja, kualitas pekerjaan dan dengan siapa mereka harus berjejaring. “Rekomendasi yang muncul adalah pentingnya penguatan perempuan untuk dapat akses permodalan agar punya posisi tawar,” katanya.
Anggota tim pelaksana kajian rantai nilai sutra Sulawesi Selatan dari aspek penghidupan Nurhady Sirimorok menambahkan, industri sutra di Sulawesi Selatan saat ini bukanlah sumber penghidupan yang menjanjikan. Jumlah petani yang aktif memelihara bibit tinggal 75 orang, tersebar di Kabupaten Sopeng, Wajo dan Enrekang. Sebanyak 75 persen dari mereka adalah perempuan yang kebanyakan berusia di atas 50 tahun dan berpendidikan rendah.
Di sektor hulu, ada ketergantungan terhadap bibit impor yang kualitasnya tidak konsisten sehingga sering menyebabkan gagal panen. Di sisi lain, penggunaan pestisida bisa mematikan ulat sutra. Petani pun banyak yang jera dan memilih menanam komoditas lain. Di sektor manufaktur, upah yang diterima penenun rata-rata Rp 10.000 – Rp 25.000 per hari. Nilai itu jauh lebih rendah dari upah pekerja kebun yang mencapai Rp 50.000 – Rp 100.000 per hari. Upah yang rendah itu membuat banyak penenun tidak menyarankan anaknya untuk menjadi penenun. “Benteng penjaga tradisi panjang tenun di Sulawesi Selatan hanya mendapat Rp 10.000 per hari,” tandas Nurhady.
Regenerasi
Nurhady menambahkan, dalam jangka panjang, situasi saat ini akan berdampak pada regenerasi penenun. Untuk itu, perlu ada kebijakan yang tepat agar tradisi panjang sutra Sulawsi Selatan tidak punah. Kebijakan yang disusun itu harus memperhatikan manusianya, bukan pada bendanya, sehingga para pelaku industri sutra bisa tertarik untuk tetap menekuni bidang tersebut. Komunikasi dengan pelaku industri sutra di tingkat hulu hingga hilir menjadi penting. “Teknologi apapun itu tidak akan menarik petani kalau tidak ada keseimbangan antara tenaga yang mereka keluarkan dengan pendapatan yang mereka peroleh,” paparnya.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Sulawesi Selatan Fitriah Zainuddin mengatakan, hasil kajian rantai nilai sutra sangat penting karena telah menunjukkan bagaimana kesenjangan gender itu terjadi. Dengan demikian, kebijakan untuk mengembalikan kejayaan sutra Sulawsi Selatan bisa disusun dengan memperhatikan hasil kajian.
Menurut dia, kebijakan terkait dinamika perempuan dalam industri sutra tidak terlepas dari kebijakan nasional di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Implementasinya nanti adalah dengan membangun sistem data perempuan pelaku industri sutra, dilanjutkan dengan peningkatan kapasitas perempuan pelaku industri sutra, penyusunan kebijakan perlindungan hak perempuan pekerja sutra, memastikan pelibatan perempuan dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan pengembangan sutra, hingga mendorong muatan lokal kerajinan sutra dalam kurikulum pendidikan dasar. “Pemberdayaan kewirausahaan sudah masuk (dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD)), tinggal lokusnya kita lihat lagi. Dengan masukan kajian ini, kita bisa lebih memperhatikan karena luar biasa potensinya,” terangnya.
Terkait dengan rendahnya upah yang diterima pekerja sutra khususnya penenun, Kepala Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sulawesi Selatan Darmawan Bintang mengatakan, mereka bekerja di sektor usaha kecil dan mikro sehingga dibayar sesuai kesepakatan dengan pemberi kerja. Dalam konteks itu, pemerintah tidak bisa memaksa pemberi kerja membayar sesuai upah minimum. Untuk itu, upaya mendorong industri sutra menjadi penting agar bisa mendorong kenaikan upah pekerjanya. Upaya tersebut perlu diimbangi dengan pendampingan pekerja agar memahami kewajiban dan haknya dalam bekerja. “Kami mendorong dari dinas tenaga kerja kabupaten untuk melakukan pendampingan, bagaimana supaya mereka mengetahui hak-hak mereka dalam pekerjaan,” ucapnya.
Kajian “Rantai Nilai Komoditas Sutra Sulawesi Selatan” merupakan hasil kerja sama Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Provinsi Sulawesi Selatan, Yayasan BaKTI, dan Payo-Payo, dengan dukungan KSI. Kajian ini menerapkan pendekatan kolaborasi multi-aktor dan multi-disiplin sebagai realisasi konsep multi-helix, yang merupakan pengalaman baru dalam kerangka penyusunan kebijakan berbasis bukti di Sulawesi Selatan. Mendukung program Pemerintah Sulawesi Selatan untuk mengembalikan kejayaan sutra, kajian ini menangkap realita dari hulu ke hilir industri sutra di Kabupaten Soppeng, Wajo, dan Enrekang. Kajian ini menghasilkan sejumlah temuan dan rekomendasi kebijakan yang menjadi masukan bagi Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan untuk penyusunan kebijakan pengembangan industri sutra.