Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) merupakan lembaga penelitian dan advokasi untuk reformasi hukum, khususnya terfokus pada legislasi dan peradilan. Lembaga yang didirikan pada tahun 1998 ini memiliki visi mewujudkan pembentukan hukum di Indonesia yang bertanggung jawab secara sosial. Pada bidang legislasi, PSHK melakukan tiga kegiatan utama, yakni pemantauan legislasi, penilaian kinerja legislasi, dan perancangan perundang-undangan. Sementara itu, pada bidang peradilan PSHK secara konsisten terlibat dalam agenda reformasi di Mahkamah Agung Republik Indonesia. Di luar itu, tema penelitian PSHK merentang mulai dari isu lingkungan hidup, pendidikan, ketenagakerjaan, hingga perdagangan elektronik, dengan tetap memfokuskan kajian pada aspek kebijakan dan tata kelola kelembagaan. Secara keseluruhan, PSHK secara terus menerus mengembangkan pendekatan inovatif dalam upaya reformasi regulasi di Indonesia.
Reformasi regulasi telah dicanangkan sebagai salah satu isu fokus dalam periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo. Selain telah dinyatakan oleh Presiden Jokowi pada saat debat calon presiden bulan Januari 2019, strategi reformasi regulasi kembali ditegaskan dalam momen pelantikan presiden. PSHK melihat peluang untuk mengedepankan isu reformasi regulasi yang sangat penting dalam mendorong keberlanjutan pembangunan Indonesia. Untuk itu, PSHK mengembangkan studi untuk mengadvokasi reformasi regulasi dengan pendekatan yang lebih sistematis, mengawal reformasi regulasi dalam RPJMN 2020-2024, dan mengupayakan pembenahan manajemen regulasi dengan peningkatan kompetensi para aktor pembentuk peraturan.
Kompleksitas Reformasi Regulasi
Temuan PSHK bersama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) dalam background study Reformasi Regulasi untuk Penyusunan RPJMN 2020-2024 menginformasikan bahwa ‘hiper-regulasi’ bukan masalah tunggal dalam persoalan pengelolaan regulasi di Indonesia. Di luar masalah jumlah peraturan yang terlalu banyak, masih ada sejumlah permasalahan lain. Diantaranya adalah tidak sinkronnya perencanaan pembangunan dengan perencaan regulasi, tidak patuhnya pembuat peraturan terhadap ketentuan tentang materi muatan dan hierarki perundang-undangan, tidak adanya mekanisme pemantauan dan evaluasi peraturan yang terintegrasi dengan proses legislasi, dan tidak adanya otoritas khusus di tingkat pusat yang menangani keseluruhan proses dan pengelolaan regulasi.
Melalui serangkaian aktivitas riset kebijakan dan advokasi, PSHK mengawal reformasi regulasi dalam RPJMN 2020-2024. Untuk pertama kalinya sepanjang diterapkannya RPJMN sebagai kerangka pembangunan nasional, isu reformasi regulasi ditempatkan sebagai bagian tersendiri dalam dokumen RPJMN 2020-2024. Selain itu, dokumen RPJMN juga memuat daftar sejumlah peraturan perundang-undangan yang perlu dibentuk dalam jangka waktu lima tahun. Daftar regulasi tersebut dapat menjadi instrumen awal untuk melakukan pemantauan atas implementasi program reformasi regulasi di ranah eksekutif. Terutama pada unit-unit kerja kementerian, seperti Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan (DJPP) di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KemenkumHAM).
Meski begitu, terdapat potensi komplikasi dari keberhasilan advokasi PSHK dalam mengawal reformasi regulasi dalam RPJMN 2020-2024. Penataan peraturan melalui pembentukan lembaga untuk mengelola peraturan yang termuat dalam RPJMN menandakan potensi pergeseran pendekatan terhadap reformasi peraturan. Potensi komplikasi tersebut menjadi nyata dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2021 tentang Pemberian Persetujuan Presiden terhadap Rancangan Peraturan Menteri/Kepala Lembaga (selanjutnya disebut Perpres 68/2021). Dalam aturan yang berlaku mulai 6 Agustus 2021 ini, setiap rancangan regulasi yang diprakarsai oleh kementerian/lembaga harus mendapat persetujuan lebih dulu dari presiden sebelum diberlakukan.
Sekilas, terbitnya Perpres 68/2021 dapat menjadi solusi dari ‘hiper-regulasi’ di level kementerian/lembaga. Pada 2019 saja, PSHK mengidentifikasi adanya 8.311 peraturan setingkat kementerian/lembaga. Angka tersebut belum menghitung ratusan regulasi baru yang terbit hingga 2021 ini. Namun, dalam konteks Indonesia, PSHK menilai bahwa Perpres tersebut dapat menambah belantara baru menuju regulasi. Banyaknya pintu yang harus dilalui membuat regulasi semakin rawan mengalami macet di tengah jalan. PSHK menemukan bahwa tugas harmonisasi, evaluasi, dan analisis rancangan produk regulasi eksekutif yang dimiliki oleh BPHN KemenkumHAM sendiri sampai saat ini belum berhasil membenahi tunggakan utang peraturan lantaran kerap terkendala tarik-menarik kewenangan perencanaan regulasi.
Selain itu, problem yang diprediksi muncul adalah kian menguatnya kekuasaan presiden. Di satu sisi, ketegasan mengenai komando politik regulasi ini merupakan langkah positif. Namun di sisi lain, kewenangan tersebut dapat memberikan diskresi luas kepada presiden sehingga menimbulkan potensi pertimbangan yang lebih bernuansa politis ketimbang kepentingan publik. Merespons situasi tersebut, PSHK menjadi lembaga pertama yang membahas keberadaan Perpres 68/2021 dan relevansinya dalam diskursus reformasi regulasi. Dalam diskusi publik yang diselenggarakan pada 18 Agustus 2021 itu, para ahli peraturan perundang-undangan mengidentifikasi masalah dan manfaat, serta memberi pemahaman kepada publik menyangkut terbitnya Perpres 68/2021 terhadap kualitas regulasi dan keberlanjutan reformasi regulasi. PSHK akan memberikan rekomendasi dari temuan-temuan yang didapatkan untuk dapat ditindaklanjuti oleh pemangku kebijakan. PSHK juga terus melakukan pemantauan implementasi RPJMN 2020-2024 terkait reformasi regulasi pada institusi pemerintah, terutama BPHN dan DJPP KemenkumHAM.
Peningkatan Kompetensi
Pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang (UU) No. 15 Tahun 2019 yang mengubah UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada akhir 2019 lalu. Dengan perubahan itu, mekanisme pemantauan dan evaluasi regulasi kini diakui secara formal dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Perubahan secara lebih komprehensif atas UU No. 12 Tahun 2011 perlu terus didorong agar pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki dasar hukum yang kuat dalam melakukan pembenahan manajemen regulasi. Upaya pembenahan manajemen regulasi ini perlu didukung dengan peningkatan kompetensi para aktor pembentuk peraturan.
Untuk mendukung langkah tersebut, PSHK mengoptimalisasi penggunaan manual penilaian peraturan perundang-undangan dalam rangkaian pelatihan tentang perancangan dan penilaian regulasi. Target utama peserta pelatihan tersebut adalah para tenaga perancang dan peneliti pada KemenkumHAM, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Bappenas, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) serta kementerian/lembaga lain yang relevan dengan fungsi pembentukan peraturan. Mengingat tujuan dari penyelenggaraan program ini adalah untuk memperbaiki kualitas regulasi yang dilakukan oleh eksekutif, maka para pemangku kepentingan akan isu regulasi seperti organisasi masyarakat sipil dan kalangan swasta juga menjadi penerima manfaat tidak langsung dari perbaikan kualitas proses regulasi ini.
Dukungan Knowledge Sector Initative (KSI)
Advokasi PSHK dalam isu strategis dan kompleks seperti reformasi regulasi penting dalam meningkatkan kualitas keberlanjutan pembangunan Indonesia. Dukungan KSI membantu PSHK untuk melakukan proses panjang advokasi reformasi regulasi yang melibatkan serangkaian aktivitas mulai dari penelitian, pengawalan isu, serta kerja sama dengan pihak-pihak kunci. Dukungan yang diberikan KSI terutama berupa skema pendanaan fleksibel, sehingga PSHK dapat mendesain dan mengimplementasikan riset dan advokasi yang direncanakannya. Melalui sesi logika program dan dukungan evaluasi dan monitoring, KSI juga membantu PSHK untuk mengadvokasi kebijakan secara lebih sistematis dan mendorong PSHK untuk mengintegrasikan proses reflektif dalam pekerjaan.