Advokasi KPPOD Mengawal Peraturan Pelaksanaan Omnibus Law Cipta Kerja

Menyusul kontribusi KPPOD pada proses pengetahuan-ke-kebijakan dalam Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law Cipta Kerja), KPPOD melanjutkan upayanya untuk meningkatkan kemudahan berusaha melalui produksi pengetahuan dan advokasi kepada pemangku kepentingan untuk mengawal peraturan pelaksanaan Omnibus Law Cipta Kerja.

Advokasi KPPOD Mengawal Peraturan Pelaksanaan Omnibus Law Cipta Kerja

Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) adalah lembaga pemantauan independen yang memiliki visi untuk mewujudkan pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat dengan mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif di seluruh Indonesia. Untuk mewujudkan visi tersebut, lembaga yang dibentuk pada tahun 2000 ini,  memiliki misi untuk menganalisa, menilai, dan memberikan masukan bagi kebijakan dan praktik pemerintah pusat dan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah bagi pembagunan ekonomi nasional. Kelahiran KPPOD merupakan hasil eksperimentasi kerja sama dunia bisnis, akademik, dan media massa sebagai tiga pilar penting dalam formasi sosial di Indonesia pasca reformasi. 

KPPOD menaruh fokus pemantauannya pada hal-hal terkait kebijakan dan pelayanan publik di bidang ekonomi, fiskal, dan kebijakan desentralisasi/otonomi daerah. Dengan menggunakan pendekatan multi-perspektif (ekonomi, politik, hukum, dan administrasi publik), KPPOD melakukan studi, advokasi, dan asistensi teknis bagi peningkatan mutu tata kelola ekonomi, fiskal, dan praktik penyelenggaraan pemerintahan yang akuntabel, efektif, dan demokratis. Menyusul kontribusi KPPOD pada proses pengetahuan-ke-kebijakan dalam Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law Cipta Kerja), KPPOD melanjutkan upayanya untuk meningkatkan kemudahan berusaha melalui produksi pengetahuan dan advokasi kepada pemangku kepentingan untuk mengawal peraturan pelaksanaan Omnibus Law Cipta Kerja. 

Kajian Peraturan Turunan

Sejak diterbitkannya Omnibus Law Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020, KPPOD berupaya mengawal berbagai Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan turunan dari UU tersebut. Tiga rancangan PP yang menjadi fokus KPPOD adalah PP No. 5 Tahun 2021 tentang Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (selanjutnya PP 5/2021), PP No. 6 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah (PP 6/2021), dan PP No. 10 Tahun 2021 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Rangka Mendukung Kemudahan Berusaha dan Layanan Daerah (PP 10/2021). Kajian mengenai ketiga rancangan PP tersebut mulai dilakukan KPPOD sejak November 2020 setelah ketiga draft rancangan tersebut diperoleh. KPPOD melakukan desk study terhadap tiga rancangan PP tersebut dengan berfokus pada PP No. 6/2021 sembari mengawasi proses rancangan kedua PP yang lain.

Dari hasil kajian, KPPOD menemukan bahwa draft Rancangan PP (RPP) No. 6 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah sama sekali tidak memuat isu kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi sosial (GEDSI). KPPOD merekomendasikan agar RPP mengatur ketentuan afirmatif bagi kelompok rentan, terutama kaum difabel dan lanjut usia, dalam proses perizinan berusaha menggunakan sistem terpadu berbasis elektronik. Meski Unit Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang melayani proses perizinan sudah menyediakan ruangan dan bantuan bagi kelompok tersebut, KPPOD mendorong agar RPP juga memberikan kepastian bagi kelompok rentan ketika mengakses sistem pelayanan berbasis elektronik. 

Untuk menjaga mutu dalam proses perizinan usaha, KPPOD merekomendasikan agar kualifikasi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang ditugaskan dalam pengurusan perizinan berusaha disertifikasi di bidang ini dan memiliki standar kualifikasi dan kompetensi mengacu pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) di bidang perizinan usaha dan/atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut, kajian KPPOD menginformasikan bahwa pemerintah daerah membutuhkan metode (tools review) standar dalam proses penyusunan, fasilitasi, dan evaluasi rancangan peraturan daerah (ranperda)/rancangan peraturan kepala daerah (ranperkada) oleh menteri atau gubernur. Dalam rangka percepatan penyusunan ranperda dan ranperkada, KPPOD merekomendasikan agar RPP menetapkan penggunaan metode (tools review) dalam proses fasilitasi dan evaluasi atas ranperda dan ranperkada oleh menteri atau gubernur. 

Sementara itu, terkait draft RPP 5/2021, KPPOD memastikan bahwa RPP tersebut menggunakan pendekatan bottom-up dan kolaborasi multipihak di level lokal menimbang keragaman topografi dan sosial-budaya Indonesia. KPPOD merekomendasikan agar pemerintah melibatkan pemangku kepentingan regional yang mencakup pemerintah daerah, ahli bersertifikat, dan masyarakat terdampak dalam menganalisis dan memutuskan tingkat risiko. KPPOD juga merekomendasikan adanya kejelasan peran para pemangku kepentingan yang terlibat dalam menentukan risiko, termasuk keterlibatan masyarakat sebagai pihak terdampak yang dapat memberikan informasi potensi risiko atas rencana dan/atau kegiatan usaha. Untuk efisiensi bisnis, KPPOD mendorong agar peraturan mencantumkan jangka waktu dalam pemberitahuan persetujuan atau penolakan permohonan perizinan berusaha dalam sistem Online Single Submission (OSS).

Terkait pajak daerah dan retribusi daerah, KPPOD menemukan bahwa diperlukan adanya penegasan kembali terkait objek pajak daerah dan retribusi daerah yang diatur dalam draft RPP No. 10 Tahun 2021. Selain itu, RPP perlu mengatur pelibatan pemerintah daerah dalam proses review atas usulan penyesuaian tarif pajak dan/atau retribusi di daerah. Pemda perlu dilibatkan secara langsung mengingat pemda merupakan pihak yang akan terdampak secara fiskal. Dalam melakukan proses review ini, KPPOD memberikan rekomendasi agar Menteri Keuangan dapat melakukan koordinasi dengan pemda dan kementerian/lembaga teknis terkait sebagai bagian dari upaya mendukung percepatan pelaksanaan program strategis nasional di daerah. 

Perubahan Kebijakan

KPPOD melakukan berbagai dialog untuk mendapatkan masukan dari pemerintah daerah (pemda) dan pelaku usaha dalam menyusun rekomendasi dan melakukan advokasi. Dalam mengawal RPP 6/2012, pada 22 November 2020 KPPOD membawa dokumen rekomendasi secara informal kepada staf senior Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Seminggu kemudian, KPPOD mengadakan diskusi formal dengan Direktur Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan, dan Kerjasama Kemendagri Dr. Prabawa Eka Soesanta. Dalam kesempatan tersebut terlihat bahwa RPP No. 6 telah diperbarui (versi ke-25) dengan mengakomodasi rekomendasi KPPOD terkait isu GEDSI dan kualifikasi ASN yang ditugaskan dalam pengurusan perizinan. 

RPP versi ke-25 tersebut mencantumkan “Dalam memberikan pelayanan perizinan usaha di daerah dilengkapi dengan pelayanan khusus bagi kelompok rentan, lanjut usia, dan penyandang disabilitas” dalam Pasal 10 butir 3. Sementara itu, kualifikasi ASN yang ditugaskan pada unit Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) juga diakomodir dalam Pasal 24 yang berbunyi “Aparatur sipil negara yang ditugaskan pada DPMPTSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) harus memenuhi standar kualifikasi dan kompetensi yang ditetapkan oleh kementerian/lembaga pemerintah non-kementerian.” KPPOD berhasil mengawal muatan dalam pasal-pasal tersebut sampai peraturan tersebut diterbitkan oleh pemerintah pada 2 Februari 2021. 

Sementara itu, advokasi terhadap RPP No. 5/2021, berawal dari diskusi informal dengan pejabat senior di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Ekonomi). KPPOD mulai melakukan advokasi formal pada Januari 2021 dengan mengundang Staf Ahli Bidang Pengembangan Produktivitas dan Daya Saing Kemenko Perekonomian untuk berdialog mengenai rekomendasi yang disiapkan KPPOD. Komunikasi dan interaksi yang dilakukan KPPOD dengan Kemenko Perekonomian dijalin dari relasi yang telah lama dibangun melalui studi-studi yang pernah dilakukan sebelumnya.

Dalam PP No. 5/2021 yang ditetapkan pada 2 Februari 2021, rekomendasi KPPOD terkait kolaborasi multipihak di level lokal diadopsi dalam Pasal 19 butir 1e yang mencantumkan “Analisis risiko dilakukan dengan melibatkan pelaku usaha dan/atau masyarakat.”. Sementara itu, rekomendasi terkait kejelasan peran para pemangku kepentingan dalam menentukan risiko juga diadopsi dalam Pasal 19 ayat 3 yang menjelaskan peran pelaku usaha dan/atau masyarakat dalam menentukan risiko. Berdasarkan pasal tersebut, peran pelaku usaha dan/atau masyarakat dapat berupa memberikan masukan, data, dan informasi terkait kegiatan usaha, dan meningkatkan pemahaman kegiatan usaha untuk melakukan manajemen risiko. Rekomendasi KPPOD mengenai waktu penyampaian notifikasi dalam sistem OSS juga diadopsi dalam Pasal 192 yang menyebutkan bahwa penyampaian notifikasi persetujuan atau penolakan ke dalam sistem OSS paling lama 20 (dua puluh) hari sejak permohonan Nomor Induk Berusaha (NIB) diajukan. 

Diskusi informal juga mengawali advokasi PP No. 10 Tahun 2021 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Rangka Mendukung Kemudahan Berusaha dan Layanan Daerah. Sejak November 2020, KPPOD melakukan diskusi informal dengan pejabat senior Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersamaan dengan dilakukannya desk study terkait RPP ini. Pada Desember 2020, draft daftar inventarisasi masalah (DIM) selesai dan didiskusikan lebih lanjut dengan para pemangku kepentingan terkait. DIM hasil diskusi kemudian dikirimkan kepada Kemenkeu dan salah satu konseptor dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD). Di bulan yang sama, KPPOD menyelenggarakan diskusi formal bersama dengan Direktur Kapasitas dan Pelaksanaan Transfer Kemenkeu, Bhimantara Widyajala. KPPOD kemudian memberikan masukan secara formal melalui website UU Cipta Kerja yang memungkinkan masyarakat untuk memberikan rekomendasi berdasarkan draft rancangan PP yang tersedia untuk umum.

Rekomendasi KPPOD mengenai ditegaskannya kembali tujuan PP ini diadopsi dalam klausul baru yang menjelaskan terkait objek pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana yang telah diatur dalam UU CIpta Kerja. Sementara itu, pelibatan pemerintah daerah dalam proses review perda pajak, retribusi, dan perda ekonomi juga diadopsi dalam Pasal 5 ayat 2 yang mencantumkan bahwa “Kementerian Keuangan melakukan koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri, kementerian/lembaga teknis terkait, dan/atau Pemerintah Daerah terkait.”. Dengan diadopsinya klausul tersebut, diharapkan percepatan pelaksanaan proram strategis di daerah dapat tercapai. 

Dukungan Knowledge Sector Initiative (KSI)

Dukungan pendanaan dari KSI memungkinkan KPPOD untuk lebih lanjut berkontribusi dalam proses pengetahuan-ke-kebijakan pada peraturan pelaksanaan Omnibus Law Cipta Kerja. Melalui dukungan KSI, KPPOD dapat memberikan dasar bukti untuk advokasi kebijakan. Dukungan evaluasi dan monitoring KSI juga membantu KPPOD untuk menjalankan advokasi kebijakan secara lebih sistematis. Melalui sesi logika program, KPPOD dapat mengukur aktivitas penelitian dan advokasi dengan lebih baik serta mengintegrasikan proses reflektif bulanan dalam pekerjaan sehingga advokasi dengan berbagai pemangku kepentingan dapat berjalan lebih sistematis. 

  • Bagikan: