Penguatan Kelembagaan Perlu untuk Kawal Implementasi Kebijakan GEDSI

Kebijakan terkait pengarusutamaan perspektif kesetaraan gender, disabilitas dan inklusi sosial atau GEDSI dalam penelitian dan pengabdian kepada masyarakat di Indonesia belum terlaksana dengan optimal. Untuk itu, perlu penguatan kelembagaan guna mengawal kebijakan tersebut hingga ke level implementasi.

Penguatan Kelembagaan Perlu untuk Kawal Implementasi Kebijakan GEDSI

Kebijakan terkait pengarusutamaan perspektif kesetaraan gender, disabilitas dan inklusi sosial atau GEDSI dalam penelitian dan pengabdian kepada masyarakat di Indonesia belum terlaksana dengan optimal. Untuk itu, perlu penguatan kelembagaan guna mengawal kebijakan tersebut hingga ke level implementasi.

Demikian salah satu poin diskusi dalam acara Knowledge Sector Initiative for Research, Development and Innovation atau KSI4RDI#15 yang bertema “Diskusi Keberlanjutan Advokasi Pengarusutamaan Perspektif GEDSI dalam Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (Seri #3)”. Diskusi daring pada Jumat (28/5) ini menghadirkan perwakilan dari sejumlah organisasi, antara lain Asosiasi Pusat Studi Wanita/Gender dan Anak Indonesia (ASWGI), Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), Australia-Indonesia Disability Research and Advocacy Network (AIDRAN), Cakra Wikara Indonesia (CWI), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), serta Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia dan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera. Acara ini diadakan dan difasilitasi secara langsung oleh Knowledge Sector Initiative (KSI).

Menurut Budiati Prasetiamartati selaku salah satu Program Lead KSI, rangkaian diskusi yang sudah memasuki seri ketiga ini bertujuan mengidentifikasi dan menyusun strategi advokasi yang ingin dijalankan oleh para pemangku kepentingan guna mendorong penerapan perspektif GEDSI dalam penelitian dan pengabdian masyarakat. “Jadi apa yang bisa dilakukan bersama dalam jangka waktu pendek hingga Desember 2021,” katanya.

Menyambung hal tersebut, Wakil Ketua ASWGI Keppi Sukesi mengatakan, waktu yang tersisa hingga akhir Desember 2021 terbilang singkat untuk mendorong perubahan kebijakan terkait perspektif GEDSI secara berkelanjutan. Untuk itu, perlu pemetaan terkait kebijakan jangka panjang dan kebijakan jangka pendek yang ingin diubah. Dalam upaya itu, pemetaan terhadap para aktor pengambil kebijakan juga sangat penting sehingga mereka bisa diberi informasi mengenai upaya yang tengah dilakukan forum ini sejak awal.

Dalam kaitannya dengan hibah penelitian di Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM), panduan mengenai GEDSI sebenarnya sudah ada. Hanya saja, penguji proposal penelitian tidak peka pada perspektif GEDSI sehingga banyak penelitian bertema GEDSI yang tidak lolos. Ina Hunga dari ASWGI menyampaikan bahwa hal ini menjadi salah satu persoalan yang perlu dicari pemecahannya. Untuk itu, ia mengusulkan perlunya penguatan kelembagaan yang fokus pada isu GEDSI di universitas maupun di level lainnya untuk mengawal implementasi panduan hibah penelitian yang berperspektif GEDSI khususnya oleh DRPM. “Kelembagaan GEDSI ini bertingkat-tingkat, ada di perguruan tinggi, lalu di level yang lebih tinggi, juga di DRPM, jadi pengawasannya bisa berjalan,” ujarnya.

Ketua ASWGI Emy Susanti sepakat dengan hal itu. Penguatan kelembagaan mulai dari pusat studi gender dan disabilitas di perguruan tinggi hingga ke level DPRM perlu dilakukan. Di level perguruan tinggi, sebagai contoh, upaya penghapusan kekerasan seksual memerlukan adanya satuan tugas yang fokus bekerja untuk mengawal prosesnya. Hal semacam itu juga bisa diterapkan guna mendorong penerapan GEDSI dalam penelitian dan pengabdian masyarakat. 

 

Petunjuk teknis

Mengingat bahwa aturan maupun kebijakan yang terkait GEDSI sudah ada, Presiden AIDRAN Dina Afrianty mengatakan bahwa hal lain yang harus dilakukan adalah berkomunikasi dengan pihak-pihak terkait. Untuk itu, perlu ada kegiatan yang melibatkan kelembagaan universitas guna memastikan bahwa lembaga tersebut memahami keragaman disabilitas dan pemenuhannya. Keluaran dari kegiatan semacam bisa berupa mekanisme pelaksanaan aturan maupun kebijakan. Berdasarkan pengalaman AIDRAN, selama ini mekanisme semacam itu kerap tidak ada. “Yakni mekanisme bagaimana memberikan akses, bagaimana seorang peneliti bisa melakukan penelitian soal disabilitas,” ungkapnya.

Senada dengan itu, Peneliti CWI Dewi Mulyani Setiawan menyampaikan bahwa di kampus, perspektif GEDSI sudah terintegrasi dalam mata kuliah penelitian. Namun, praktiknya belum maksimal karena masih tergantung pada dosen yang mengampu mata kuliah tersebut. Oleh karena itu, panduan mekasnisme untuk melakukan penelitian GEDSI yang bisa diakses mahasiswa sangat diperlukan. “Walaupun sudah diajarkan, karena tidak ada panduan yang jelas bagaimana menerapkannya dalam peneltian, jadinya tidak terimplementasi. Jadi mahasiswa tidak bisa menerapkan secara optimal, padahal ketika sudah lulus mahasiswa itu nanti juga bisa menerapkannya,” terangnya.

Menanggapi hal itu, Peneliti LIPI Wati Hermawati mengusulkan agar perubahan petunjuk teknis kebijakan menjadi salah satu rekomendasi forum ini. Terlebih, petunjuk teknis berkaitan erat dengan kebijakan. Ketika hendak mengusulkan rekomendasi kebijakan, poin-poin rekomendasinya harus jelas. Terkait dengan pengelolaan dana hibah, misalnya, selain perlu rekomendasi tentang panduan dana hibah, juga perlu ada panduan terkait pelaksanaan penelitian dan pelaporannya. Itu semua masuk dalam petunjuk teknis yang harus dipahami oleh yang berkepentingan, baik itu peneliti, koordinator penelitian, maupun pengelola dana hibah. “Yang harus paham GEDSI bukan penerima hibah saja tetapi juga pengelola dana hibahnya. Jadi harus runut, tidak bisa di satu sisi atau satu pihak saja jika kita ingin perubahan menyeluruh,” ucapnya. 

Pertemuan seri ketiga ini berhasil merumuskan capaian, keluaran, kegiatan serta nama perwakilan lembaga yang akan menjadi kontak dalam mengawal penyusunan dokumen rekomendasi. Outcome bersama yang sudah disepakati adalah adanya penguatan kelembagaan terkait panduan hibah Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM) yang berspektif GEDSI. Ada tiga output turunan dari outcome tersebut, yaitu: (i) menghasilkan rekomendasi kebijakan/policy brief untuk disampaikan kepada DRPM; (ii) melaksanakan serangkaian pertemuan untuk mengadvokasikan rekomendasi kebijakan tersebut kepada DRPM, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Kementerian Agama, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan pemangku kepentingan lainnya yang dirasa relevan; (iii) terbangunnya koalisi untuk aksi bersama dalam mendorong peningkatan jumlah proposal berperspektif GEDSI yang masuk dan didanai oleh DRPM. Proses selanjutnya adalah Tim KSI akan menghubungi masing-masing organisasi untuk mulai meingimplementasikan strategi dan rencana tindak lanjut dalam proses penyusunan kebijakan. 

KSI4RDI (KSI for Research, Development and Innovation) adalah diskusi interaktif yang di inisiasi oleh KSI, kemitraan antara pemerintah Indonesia dan Australia dengan pendanaan dari Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT). Kegiatan diskusi KSI4RDI digelar secara berkala yang bertujuan untuk mendukung peningkatan penggunaan bukti dalam proses pembuatan kebijakan yang secara langsung akan mendorong para pembuat kebijakan menghasilkan kebijakan yang lebih inklusif dan tepat sasaran.

  • Bagikan: