Guna mendorong penyusunan kebijakan berbasis pengetahuan, hasil-hasil riset perlu dikomunikasikan dengan para pemangku kepentingan. Mengomunikasikan riset tidak hanya perlu dilakukan ketika hasil riset sudah siap, melainkan sejak proses perencanaan agar temuan dan rekomendasi yang dihasilkan lebih mudah dipahami.
Demikian salah satu kesimpulan diskusi dalam acara KSIxChange#33 yang bertema “Tantangan dan Rekomendasi dalam Mengomunikasikan Penelitian Sosial Humaniora untuk Penyusunan Kebijakan” yang diadakan secara daring pada Selasa (25/5). Acara yang diadakan Knowledge Sector Initiative (KSI) ini menghadirkan Direktur Tata Ruang dan Penanganan Bencana Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Sumedi Andono Mulyo, Direktur Riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Nasional Jakarta Didin Syafruddin, Direktur Eksekutif SurveyMETER Ni Wayan Suriastini dan Kepala Editor The Conversation Indonesia Ika Krismantari sebagai pembicara. Adapun moderator diskusi yang disiarkan di kanal Youtube Asumsi ini adalah Kepala Knowledge Exchange and Learning (KEL) KSI Primatia R Wulandari.
Direktur Tata Ruang dan Penanganan Bencana Bappenas, Sumedi Andono Mulyo menjelaskan, kinerja kebijakan ditentukan oleh tiga hal yakni kemampuan mengindentifikasi masalah, perumusan kebijakan dan implementasi kebijakan. Suatu kebijakan bisa dikatakan berhasil atau sebaliknya gagal dengan melihat tiga hal tersebut. Di tahap pertama, identifikasi masalah dilakukan dengan berbasis pada pengelolaan pengetahuan. Data dan informasi menjadi sangat penting. Ketika identifikasi masalahnya kurang tepat, kebijakan yang diambil pun berpotensi gagal. Di tahap perumusan kebijakan, kejelian dalam menentukan prioritas dan penganggaran menjadi sangat penting. Dua hal itu tidak akan bisa terlepas dari identifikasi masalah yang sudah dilakukan di tahap awal. Lalu di tahap implementasi kebijakan, adanya riset untuk melihat dampak kebijakan dan implementasinya sangat diperlukan. “Selama ini riset dan kajian lebih banyak dilakukan di tahap identifikasi masalah. Riset terhadap pemahaman regulasi dan implementasi juga sangat penting,” katanya.
Untuk mendorong kebijakan berbasis pengetahuan, lanjut Sumedi, rantai manajemen pengetahuan perlu dibangun. Kolaborasi lintas sektor menjadi sangat penting supaya produsen riset dan pengambil kebijakan serta aktor lainnya bisa terhubung. Lembaga riset, misalnya, perlu membangun jejaring dan berkomunikasi dengan pengambil kebijakan di tingkat pusat dan daerah agar bisa memengaruhi pengambilan kebijakan.
Sementara itu dari sisi produsen pengetahuan, Direktur Riset PPIM UIN Didin Syafruddin mengatakan, komunikasi memang sangat penting. PPIM selama ini fokus melakukan kajian terhadap kehidupan keagamaan dan pendidikan agama dalam konteks penguatan kebangsaan. PPIM sadar bahwa isu yang dikaji merupakan isu sensitif. Untuk itu, konsep dan metodologi penelitian harus dirancang sekokoh mungkin. Selain itu, komunikasi menjadi bagian penting dalam siklus produksi pengetahuan PPIM.
Selama ini, PPIM terbiasa melibatkan aktor-aktor dari kementerian maupun lembaga yang berwenang di bidang yang akan dikaji, serta organisasi sipil maupun mitra lain yang punya peran strategis di bidang tersebut. Identifikasi aktor di setiap lembaga menjadi penting. Aktor-aktor itu dilibatkan mulai dari tahap awal pengkajian hingga laporan akhir. “Jadi proses engagement sejak awal kita lakukan, sehingga kalau ada temuan dan rekomendasi mereka akan lebih mudah memahami,” terangnya.
Terkait dengan komunikasi itu, PPIM juga berupaya menyajikan konten temuan riset yang mudah dipahami dalam waktu singkat. “Kami usahakan produk penelitian itu singkat dan jelas, tidak hanya tertulis tapi juga selalu melalui videografi dalam rentang waktu 3 – 5 menit. Dengan cara ini kami berharap wakil dari kementerian dan lembaga bisa segera menangkap esensi dan rekomendasi yang ingin kami sampaikan,” tambahnya.
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif SurveyMETER Ni Wayan Suriastini juga berupaya mengomunikasikan kegiatan riset dengan para pihak terkait. Dalam riset tentang kesehatan lanjut usia yang didukung oleh KSI, misalnya, SurveyMETER mengomunikasikan kegiatan itu sejak di tahap perencanaan riset dengan Kementerian Kesehatan. Komunikasi semacam itu dengan mendatangi dinas kesehatan di kabupaten/kota di DI Yogyakarta yang menjadi wilayah riset. Dari situ, pihaknya mendapat daftar Puskesmas yang menjadi sasaran riset. Temuan awal riset juga dipresentasikan ke para pihak tersebut, disesuaikan dengan tugas dan fungsi masing-masing. Lembaga apa menerima laporan seperti apa. “Identifikasi sangat penting, jadi saat menyampaikan informasi (riset) ke stakeholder kita pecah-pecah sesuai tupoksi mereka. Baru di tingkat nasional kita sampaikan laporannya secara menyeluruh,” jelasnya.
Lebih lanjut, dari sisi media sebagai penghubung pengetahuan Kepala Editor TCID Ika Krismantari melihat ada jarak yang demikian besar antara produsen pengetahuan dengan pembuat kebijakan. Ini terjadi di semua sektor pengetahuan. Meningkatkan kemampuan produsen pengetahuan untuk berkomunikasi dengan publik luas menjadi tantangan teknis. Selama ini, ada begitu banyak pengetahuan yang hanya tersimpan di laboratorium dan perpustakaan sehingga tidak bisa diakses publik. Selain itu, ada tantangan berupa dinamika struktural yang belum tentu dipahami para peneliti, misalnya soal bagaimana mengidentifikasi pembuat kebijakan di lembaga dan kementerian, juga bagaimana mengomunikasikan riset pada mereka. Untuk itu, ia mengapresiasi upaya PPIM UIN Jakarta dan SurveyMETER yang berupaya mengomunikasikan kegiatan risetnya sejak awal, yang didahului dengan mengidentifikasi aktor-aktor terkait.
Menurut Ika, dari sekitar 3.000 artikel dari 2.400 penulis yang masuk ke TCID, tulisan dengan tema sosial humaniora cukup mendominasi. Namun, memastikan agar hasil riset itu bisa berkontribusi dalam pengambilan kebijakan memang membutuhkan proses selanjutnya. Beberapa artikel yang ditulis di TCID cukup viral sehingga mendapat tanggapan dari pengambil kebijakan. Tulisan peneliti sistem zonasi sekolah, misalnya, membuat penulisnya diundang dinas pendidikan di sejumlah daerah. Demikian juga artikel tentang biaya pengobatan kanker yang membuat penulisnya diundang oleh Bank Indonesia.
Sebagai penutup sesi, Primatia yang bertindak sebagai moderator menyimpulkan bahwa sesi diskusi ini menjadi momentum penting dalam mendukung ekosistem pengetahuan dan inovasi di Indonesia dengan mengoptimalkan keterikatan sejak awal antara peneliti dan pembuat kebijakan. Serta pentingya menemukan titik temu dalam mengomunikasikan dan memecah hasil riset menjadi rekomendasi kebijakan sesusai dengan tupoksi Kementerian/Lembaga terkait.
Diskusi ini diadakan karena selaras dengan kinerja KSI yang mendukung peningkatan kolaborasi pengetahuan diantara pengambil kebijakan dan peneliti dalam mempertemukan knowledge demand dan knowledge producers; terutama untuk mendukung dampak multidimensi COVID-19 di Indonesia. KSIxChange adalah diskusi interaktif yang diinisiasi Knowledge Sector Initiative (KSI), kemitraan antara pemerintah Indonesia dan Australia dengan pendanaan dari Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) Australia. KSIxChange yang digelar minimal sekali dalam sebulan bertujuan untuk mendukung pelaksanaan program pemerintah melalui peningkatan diskursus publik yang berdasarkan penggunaan bukti dalam proses pembuatan kebijakan.