SMERU Mitigasi Ketimpangan Pembelajaran pada Masa Pandemi COVID-19

Lembaga penelitian kebijakan SMERU melakukan penelitian tentang ketimpangan pembelajaran pada masa COVID-19 dan menghasilkan beberapa rekomendasi untuk memitigasi hal tersebut. Rekomendasi ini kemudian diadopsi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dalam Pedoman Pelaksanaan Kurikulum pada Satuan Pendidikan dalam Kondisi Khusus (Peraturan Menteri No. 719/P/2020) sebagai salah satu langkah mitigasi ketimpangan pembelajaran pada masa COVID-19

SMERU Mitigasi Ketimpangan Pembelajaran pada Masa Pandemi COVID-19

Pendidikan merupakan salah satu sektor yang paling terdampak COVID-19. UNESCO mencatat sekitar 1,5 miliar pelajar di 190 negara terdampak kebijakan penutupan sekolah selama pandemi COVID-19. Di Indonesia, keputusan pemerintah menghentikan sementara kegiatan belajar mengajar di sekolah untuk menghambat penyebaran COVID-19 dilakukan mulai pertengahan Maret 2020. Dengan ditutupnya sekolah, kegiatan belajar mengajar kemudian dilakukan secara jarak jauh. Kegiatan ini kerap disebut dengan istilah Belajar dari Rumah (BDR). Pada mulanya, kebijakan penutupan sekolah akan diberlakukan selama dua minggu. Namun, angka penularan pandemi COVID-19 yang terus naik memaksa sekolah di berbagai daerah untuk terus menerapkan kegiatan BDR. Perubahan ini menuntut para guru dan siswa untuk beradaptasi secara cepat.

Pada praktiknya, pelaksanaan kegiatan BDR sangat bervariasi tergantung pada kapasitas guru, sekolah, dan kondisi lingkungan rumah siswa. Keberagaman situasi selama kegiatan BDR ini dapat menunjang sekaligus menghambat proses pembelajaran. Perbedaan dalam penerapan kegiatan BDR membuat hasil belajar murid semakin timpang. Kondisi tersebut harus segera ditindaklanjuti pemerintah agar ketimpangan pembelajaran tidak semakin besar. Lembaga penelitian kebijakan SMERU melakukan penelitian tentang ketimpangan pembelajaran pada masa COVID-19 dan menghasilkan beberapa rekomendasi untuk memitigasi hal tersebut. Rekomendasi ini kemudian diadopsi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dalam Pedoman Pelaksanaan Kurikulum pada Satuan Pendidikan dalam Kondisi Khusus (Peraturan Menteri No. 719/P/2020) sebagai salah satu langkah mitigasi ketimpangan pembelajaran pada masa COVID-19.

Analisis awal

Tim peneliti SMERU membuat analisis awal untuk melihat lebih dalam penerapan kegiatan belajar dari rumah dan implikasinya terhadap ketimpangan hasil belajar siswa. Dalam periode 15 April – 10 Mei 2020, dilakukan survei daring terhadap sejumlah guru yang pernah mendaftar program Pendidikan Profesi Guru (PPG) Prajabatan Bersubsidi program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) pada 2017. Kompetensi guru diukur berdasarkan nilai tes kemampuan pedagogis yang merupakan salah satu komponen tes seleksi masuk program PPG PGSD pada 2017. Responden dengan nilai di atas nilai rata-rata dikategorikan sebagai guru berkompetensi tinggi, sementara responden dengan nilai di bawah nilai rata-rata dikategorikan sebagai guru berkompetensi rendah. Jika dilihat berdasarkan tempat tinggal responden, sebagian besar guru berkompetensi tinggi tinggal di Pulau Jawa.

Guru berkompetensi tinggi terlihat melakukan upaya yang lebih besar untuk meningkatkan kualitas pembelajaran daripada guru berkompetensi rendah. Sebaliknya, sebagian besar guru berkompetensi rendah hanya menggunakan satu pendekatan dalam mengajar. Beberapa dari mereka bahkan tidak mengajar selama kebijakan pembelajaran jarak jauh diterapkan. Perbedaan signifikan ini khususnya terlihat di wilayah luar Pulau Jawa. Di Pulau Jawa, tidak ada perbedaan yang signifikan antara guru berkompetensi tinggi dan guru berkompetensi rendah dalam hal usaha untuk memperkaya materi ajar. Keduanya berinisiatif untuk mencari bahan tambahan dari internet yang dapat diaplikasikan dalam pembelajaran. Namun, di wilayah luar Pulau Jawa, guru dengan kompetensi tinggi cenderung lebih aktif untuk mencari bahan ajar tambahan dari internet.

Sebagian besar guru mencoba untuk berkomunikasi secara rutin dengan murid/orang tua murid agar dapat memberikan materi pembelajaran dan memantau proses belajar. Namun, tidak semua murid memiliki kesempatan untuk dapat terus belajar rutin di tengah pandemi. Hal tersebut terjadi akibat timpangnya akses terhadap alat komunikasi. Tabulasi silang antara kepemilikan alat komunikasi dan frekuensi komunikasi memperlihatkan bahwa di kelas dengan proporsi murid yang memiliki alat komunikasi lebih kecil, komunikasi antara guru dan murid cenderung lebih jarang dilakukan. Kondisi ini dapat mengakibatkan ketimpangan hasil belajar murid karena proses belajar di rumah makin tidak efektif jika murid tidak mendapatkan panduan yang memadai dari gurunya.

Hasil penelitian awal ini memperlihatkan bahwa dampak negatif kebijakan penutupan sekolah selama pandemi COVID-19 lebih dirasakan oleh murid yang berada di luar Pulau Jawa. Dampak negatif tersebut berupa proses belajar yang tidak efektif akibat keterbatasan fasilitas, serta kurangnya kreativitas dan rendahnya kemampuan guru mereka untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi saat ini. Untuk memperdalam tentang dampak kegiatan BDR pada ketimpangan pembelajaran, SMERU juga melakukan studi pemetaan praktik BDR di berbagai daerah di Indonesia dalam periode April-Juni 2020.  

Ketimpangan dalam mengakses pendidikan berkualitas sebenarnya terjadi jauh sebelum adanya pandemi. Hasil studi SMERU menemukan bahwa pada masa pandemi, kegiatan BDR membuat ketimpangan yang ada semakin lebar. Murid-murid tanpa guru yang adaptif, akses terhadap gawai dengan fitur memadai, akses internet, pendampingan oleh orang tua, serta fasilitas untuk pembelajaran daring akan kehilangan kesempatan belajar yang seharusnya mereka dapatkan dalam situasi normal. Sementara itu, murid di sekolah yang berkualitas dengan kondisi ekonomi keluarga yang lebih baik dan orang tua yang lebih peduli pada pembelajaran anaknya, tetap dapat belajar secara maksimal selama masa pandemi. Jika kondisi terus berlanjut, murid yang berada dalam situasi kurang beruntung berpotensi mengalami penurunan kemampuan belajar. Ketimpangan pembelajaran yang terjadi di antara murid dengan latar belakang sosial-ekonomi yang berbeda akan semakin lebar, begitu pula dengan ketimpangan belajar antar murid dalam satu kelas.

Pada saat itu, kondisi darurat di sektor pendidikan belum mendapat perhatian masyarakat luas jika dibandingkan dengan isu ekonomi akibat pandemi. Masih banyak pemangku kepentingan di sektor pendidikan yang belum sepenuhnya menyadari bahwa penutupan kegiatan sekolah berimbas pada terbatasnya pembelajaran bagi murid dalam kondisi yang kurang beruntung.

Pengaruhi kebijakan

SMERU merekomendasikan upaya yang lebih sistematis untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dari rumah dan mempersiapkan guru untuk melakukan pengajaran dengan memperhatikan variasi kemampuan belajar siswa di kelasnya. Hal ini penting untuk memastikan siswa yang kurang berprestasi tidak semakin tertinggal. Temuan-temuan penelitian di atas juga mendukung advokasi oleh tim program Research on Improving Systems of Education (RISE) SMERU dalam mengupayakan pemulihan penurunan kemampuan siswa saat sekolah dibuka kembali. Tim RISE SMERU menunjukkan bahwa kunci untuk mengurangi penurunan keterampilan siswa adalah melakukan asesmen diagnostik berisiko rendah secara berkala. Hal ini membutuhkan penyederhanaan target kurikulum.  

Dalam kegiatan advokasinya, sejak Mei 2020 SMERU secara rutin melibatkan Kemdikbud termasuk Direktorat Jenderal (Dirjen) Guru dan Tenaga Kependidikan, Staf Khusus Menteri, dan Kelompok Kerja (Pokja) Pendidikan Dasar. Advokasi yang dilakukan SMERU berhasil menginformasikan pemangku kepentingan terkait imbas penutupan sekolah terhadap penurunan kemampuan siswa yang mengakibatkan semakin lebarnya ketimpangan pembelajaran. Pada 4 Agustus 2020, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) mengeluarkan Keputusan Menteri No. 719/P/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Kurikulum pada Satuan Pendidikan dalam Kondisi Khusus. Keputusan tersebut mengadopsi rekomendasi SMERU terkait asesmen diagnostik dan penyederhanaan kurikulum.

Di dalam keputusan tersebut, asesmen diagnostik digunakan sebagai penilaian khusus yang dilakukan untuk mengidentifikasi kompetensi, kekuatan, dan kelemahan siswa. Dengan diawali dengan asesmen diagnostik, desain pembelajaran dapat diperbaiki dan disesuaikan dengan kompetensi dan kondisi siswa.  Siswa yang perkembangan atau hasil belajarnya paling tertinggal berdasarkan hasil asesmen dapat diberikan pendampingan belajar secara afirmatif. Asesmen tersebut dilaksanakan berdasarkan beberapa prinsip, diantaranya prinsip valid, reliabel, adil, fleksibel, otentik, dan terintegrasi. Detail mengenai pelaksanaan asesmen dijelaskan lebih lanjut dalam dokumen kebijakan. Rekomendasi SMERU yang diadposi dalam Keputusan Menteri No. 719/P/2020 terkait metode asesmen diagnostik ini kemudian dibagikan oleh Kemdikbud dalam acara-acara publik. Adapun aspek penyederhanaan kurikulum secara mandiri tercantum dalam pedoman pelaksanaan kurikulum dalam kondisi khusus tersebut.

Kontribusi Knowledge Sector Initiative (KSI)

Sejak Mei 2020, SMERU memanfaatkan dana dari KSI untuk melakukan studi tentang dampak pandemi terhadap ketimpangan pengajaran dan pembelajaran dan melakukan advokasi rekomendasi. Dalam penyusunannya, SMERU melibatkan unit Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud serta Direktorat Pendidikan dan Agama Kementerian PPN/Bappenas. Pada Juli 2020, SMERU membuat laporan singkat “Belajar dari Rumah: Potret Ketimpangan Pembelajaran Pada Masa Pandemi COVID-19” yang menunjukkan berbagai cara penilaian dilakukan di berbagai sekolah dan wilayah. Dengan dukungan KSI, SMERU juga memperkaya diskursus tentang upaya antisipasi ketimpangan pembelajaran dengan mengadakan webinar “Belajar dari Rumah: Tantangan dan Strategi Mengatasi Ketimpangan Pembelajaran Selama Pandemi #Covid19”. SMERU menyampaikan rekomendasinya dalam webinar yang melibatkan Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kemdikbud serta perwakilan guru dari Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan tersebut.

  • Bagikan: