PUSAD Paramadina Dorong Penguatan Forum Kerukunan Umat Beragama

Studi yang dilakukan PUSAD Paramadina mengisi kelangkaan bukti terkait Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Pangkalan data PUSAD Paramadina telah mengumpulkan profil dan kinerja 167 FKUB di 24 provinsi, 33 kotamadya, dan 110 kabupaten, yang berarti lebih dari 30 persen dari total 548 FKUB di seluruh Indonesia. Rekomendasi PUSAD juga diperkaya dengan hasil wawancara dan diskusi dengan para pemangku kepentingan dan keterlibatan PUSAD di dalam kegiatan-kegiatan FKUB. Sejak tahun 2018, KSI mendukung PUSAD Paramadina untuk mengumpulkan informasi dan mengembangkan database nasional serta menangkap profil dan kinerja berbagai FKUB.

PUSAD Paramadina Dorong Penguatan Forum Kerukunan Umat Beragama

Kementerian Agama (Kemenag) menyatakan bahwa indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) di Indonesia pada 2019 mengalami peningkatan dibanding 2018. Rata-rata nasional indeks KUB 2019 mencapai angka 73,83, sedangkan pada 2018 hanya berada di angka 70,90. Meskipun begitu, angka tersebut masih rendah jika dibandingkan dengan indeks KUB 2015 yang mencapai angka 75,36. Berbagai upaya dilakukan pemerintah dalam memelihara kerukunan umat beragama, salah satunya adalah mendirikan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2006 (PBM 2006). FKUB didirikan untuk menengahi perselisihan agama dan mempromosikan toleransi, termasuk memberikan rekomendasi pendirian rumah ibadah. 

Forum yang didirikan sejak tahun 2006 ini diharapkan dapat menjalankan peran strategis sebagai wahana mediasi setiap persoalan yang timbul dalam hubungan antar umat beragama. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak kasus FKUB belum mampu menyelesaikan permasalahan secara efektif dan tidak memberikan rekomendasi sesuai perannya. Oleh karena itu, Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Yayasan Wakaf Paramadina merekomendasikan kepada kedua kementerian terkait untuk menetapkan kebijakan penguatan FKUB.

Penguatan FKUB melalui bukti

Di penghujung tahun 2019 dan awal tahun 2020, terjadi beberapa peristiwa terkait rumah ibadat yang memicu kontroversi tentang tata kelola kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Menanggapi peristiwa tersebut, beberapa tokoh pengambil kebijakan mulai menimbang kemungkinan merevisi PBM 2006 yang mengatur kedudukan dan fungsi FKUB. Wakil Presiden Maruf Amin dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian bahkan melontarkan wacana pembentukan FKUB di tingkat pusat. Langkah tersebut menunjukkan adanya respon dari para pengambil kebijakan untuk memperkuat FKUB. Namun, belum ada bukti-bukti pendukung yang cukup untuk menentukan arah perbaikan terhadap PBM 2006. Studi-studi mengenai FKUB selama ini dilakukan secara terpisah di tingkat lokal dan jumlahnya masih terbatas. 

Studi yang dilakukan PUSAD Paramadina mengisi kelangkaan bukti terkait PBM 2006 dan FKUB. Pangkalan data PUSAD Paramadina telah mengumpulkan profil dan kinerja 167 FKUB di 24 provinsi, 33 kotamadya, dan 110 kabupaten, yang berarti lebih dari 30 persen dari total 548 FKUB di seluruh Indonesia. Rekomendasi PUSAD juga diperkaya dengan hasil wawancara dan diskusi dengan para pemangku kepentingan dan keterlibatan PUSAD di dalam kegiatan-kegiatan FKUB.

Melalui penyebaran angket profil dan kinerja FKUB serta pendalaman di beberapa provinsi, studi ini menemukan tiga hal pokok. Pertama, peran pemerintah daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama masih belum optimal dan merata. Aturan yang kurang jelas dan minimnya mekanisme untuk memastikan akuntabilitas pemerintah daerah membuat dukungan terhadap upaya pemeliharaan kerukunan masih sangat bergantung pada preferensi pribadi kepala daerah atau kedekatan personal kepala daerah dengan FKUB. Kebijakan pemerintah kabupaten/kota juga kerap membuat ketegangan konflik pendirian rumah ibadat meningkat dan sulit diselesaikan. Minimnya mekanisme akuntabilitas mempersulit upaya untuk menegur pemerintah daerah yang mengeluarkan aturan dan kebijakan yang memperumit masalah pendirian rumah ibadat. 

Temuan kedua adalah terkait sumber daya yang dimiliki FKUB. FKUB memiliki modal untuk berperan dalam pemeliharaan kerukunan dengan dukungan sumber daya dan keanggotaan antar-umat beragama. Namun, peran tersebut terhambat dengan representasi dan kompetensi keanggotaan yang lemah, serta proporsi pengurus yang timpang. Oleh karena itu netralitas dan independensi FKUB dari pemerintah dan majelis agama dominan sering dipertanyakan. Dari segi representasi agama, skema penentuan komposisi anggota FKUB saat ini sebenarnya cukup memberikan ruang bagi kelompok minoritas dan membatasi dominasi mayoritas. Namun, usaha tersebut belum dapat dikatakan signifikan karena selain tidak ada wakil kelompok penghayat atau kelompok agama di luar arus utama, komposisi pengurus harian juga sebagian besar (52 persen) masih didominasi wakil kelompok mayoritas. Selain itu, hanya 14 persen pengurus FKUB yang memiliki profesi utama sebagai agamawan atau tenaga rohani. Dominannya pegawai negeri dalam kepengurusan FKUB membuat lembaga ini lebih tampak sebagai cerminan pemerintah daripada masyarakat. 

Ketiga, studi ini menemukan bahwa ketentuan tentang pendirian rumah ibadat dalam PBM yang meletakkan FKUB sebagai pemberi rekomendasi justru lebih sering menghambat peran FKUB untuk memfasilitasi komunikasi antar umat beragama. Hal ini disebabkan pemberian mandat tersebut telah menjadikan FKUB sebagai salah satu pihak yang berkonflik. Misalnya, ketika Izin Mendirikan Bangunan (IMB) rumah ibadat sudah keluar namun terjadi penolakan, pihak penolak menganggap bahwa FKUB berada di pihak pendukung. FKUB bahkan diidentikan sebagai lembaga pemberi rekomendasi pendirian rumah ibadat dan bukan sebagai penjembatan sebagaimana yang dicita-citakan di awal. Ketika ada perselisihan, FKUB sulit bertindak sebagai penengah, hanya 13 persen FKUB yang pernah melakukan penanganan perselisihan secara langsung sebagai penengah. 

Berdasarkan temuan-temuan tersebut, PUSAD Paramadina mengusulkan beberapa rekomendasi untuk mendorong efektivtias dan akuntabilitas FKUB serta memperbaiki kebijakan pemeliharaan kerukunan di Indonesia di masa depan. Pertama, selain melakukan perbaikan kebijakan yang lebih besar di tingkat nasional seperti penyempurnaan PBM, pemerintah perlu mendesak pemerintah daerah untuk menjalankan amanat pemeliharaan kerukunan sebagaimana tertera pada UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kedua, pemerintah perlu membuat ketentuan yang dapat mendorong kapasitas dan akuntabilitas FKUB. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat panduan dan ketentuan terkait rekrutmen anggota dan pengelolaan organisasi. Ketiga, pemerintah perlu mendorong FKUB untuk lebih meningkatkan fungsinya dalam dialog antar agama dengan memperbanyak peran sebagai fasilitator dan penengah di masyarakat, dan mengurangi peran sebagai administrator. Hal ini dapat dicapai dengan melepaskan fungsi mengeluarkan rekomendasi dari beban FKUB, khususnya yang terkait dengan verifikasi dan administrasi, atau memperjelas status dan prosedur rekomendasi FKUB. 

Meningkatkan peran perempuan dalam FKUB

Keseimbangan gender masih menjadi tantangan terbesar dalam tata kelola FKUB. Keanggotaan FKUB yang didominasi laki-laki (92 persen) membuat ruang penguatan kapasitas lembaga ini menjadi terbatas. Proporsi pengurus perempuan sebesar 8 persen ini masih jauh jika dibandingkan dengan keterwakilan perempuan di DPR atau DPRD, misalnya, yang menyaratkan minimal 30 persen. Rendahnya wakil perempuan ini juga mencerminkan kecenderungan dari majelis-majelis agama karena anggota FKUB merupakan utusan mereka. 

Meski demikian, beberapa FKUB sudah mulai menambah anggota perempuan yang berwawasan kerukunan dengan pertimbangan pentingnya peran perempuan dalam menjangkau kalangan tertentu. Anggota perempuan paling banyak ditemukan di FKUB di wilayah timur dengan mayoritas Kristen atau Katolik. Dalam satu FKUB bisa ditemukan sampai lima hingga tujuh orang anggota perempuan, seperti di Minahasa Selatan, Minahasa Utara, dan Tomohon di Sulawesi Utara, serta FKUB Provinsi Nusa Tenggara Timur. Di beberapa FKUB wilayah timur, perempuan juga menduduki jabatan strategis, meski jumlahnya masih sedikit. FKUB Provinsi Nusa Tenggara Timur dan FKUB Tomohon, Sulawesi Utara, dipimpin oleh perempuan. Adapun FKUB di daerah mayoritas Muslim yang memiliki anggota perempuan yang signifikan adalah di Bima (Nusa Tenggara Barat), Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat), dan Halmahera Selatan (Maluku Utara). 

Berdasarkan kondisi tersebut, PUSAD Paramadina merekomendasikan untuk mengembangkan pedoman teknis untuk merekrut anggota dengan lebih baik dan mengelola akuntabilitas FKUB. Dengan adanya advokasi ini, upaya PUSAD untuk mempromosikan lebih banyak perempuan di FKUB kini dilakukan juga oleh Badan Penelitian Pembangunan dan Pendidikan Latihan (Balitbang Diklat) Kemenag. 

Kontribusi Knowledge Sector Initiative (KSI)

Sejak tahun 2018, KSI mendukung PUSAD Paramadina untuk mengumpulkan informasi dan mengembangkan database nasional serta menangkap profil dan kinerja berbagai FKUB. Dalam pengumpulan data ini, PUSAD melibatkan Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kemenag dan mengikutsertakan beberapa organisasi seperti Komnas Perempuan, Kepolisian, dan unit penelitian partai politik dalam analisisnya. Di tahun 2019, dengan dukungan dari KSI, PUSAD Paramadina melakukan penelitian mendalam di beberapa provinsi untuk memperkuat temuan dan mengadvokasi rekomendasinya kepada Kemenag. Advokasi rekomendasi PUSAD Paramadina mulai mendapat dukungan dari Balitbang Diklat Kemenag di tahun 2020. Balitbang Diklat Kemenag mendukung PUSAD dalam perbaikan database dengan bersama-sama melakukan pendataan, menganalisis data yang terkumpul, dan menyusun rekomendasi bersama kepada Menteri tentang cara terbaik untuk memperkuat FKUB. Pada 8 Desember 2020, Menteri Agama meluncurkan database yang telah dikerjakan bersama PUSAD Paramadina dan terus mempromosikannya sejak saat itu.

  • Bagikan: