Undang-Undang Cipta Kerja yang disusun sebagai omnibus law dinilai berpotensi mengurangi wewenang daerah dalam pembangunan. Untuk itu, proses menindaklanjuti UU ini ke dalam peraturan turunan sebaiknya ditunda sembari membuka masukan seluas-luasnya dari masyarakat.
Demikian salah satu kesimpulan dari diskusi Knowledge Sector Initiative for Research Development and Innovation atau KSI4RDI ke-11 yang diadakan secara daring pada Rabu (4/11). Diskusi dengan tema “Menindaklanjuti UU Cipta Kerja dalam Konteks Perencanaan & Pembangunan” ini digelar KSI bekerja sama dengan Pusat Analisis Kebijakan dan Kinerja Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PAKK Bappenas). Pembicara dalam diskusi ini antara lain Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Na Endi Jaweng, Manajer Manajemen Pengetahuan Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) Yenti Nurhidayat, Direkur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Fajri Nursyamsi, Peneliti AURIGA Iqbal Damanik serta Direktur Eksekutif Migrant CARE Wahyu Susilo. Adapun peneliti senior utama The SMERU Research Institute Asep Suryahadi menjadi moderator dalam acara ini.
Kepala PAKK Bappenas Velix Vernando Wanggai yang membuka acara ini menuturkan bahwa UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah ditetapkan pada 5 Oktober 2020. Untuk itu, dari acara ini ia berharap mendapat masukan untuk klaster-klaster yang terkait dengan fokus Bappenas di bidang perencanaan dan penganggaran, karena Bappenas harus menyiapkan langkah-langkah untuk menindaklanjuti UU ini.
Direktur Eksekutif KPPOD Robert Na Endi Jaweng menyoroti potensi berkurangnya wewenang daerah karena ada banyak hal yang dialihkan ke pusat dalam UU ini. Salah satunya bisa dilihat dari gagasan terkait tranformasi perizinan. Jika sebelumnya semua jenis usaha harus berizin, kini izin diberlakukan berbasis risiko dengan klasifikasi berdasarkan sektor usahanya. Persoalannya, proses perizinan tersebut hampir semuanya ditangani pemerintah pusat. Izin dasar terkait lokasi, lingkungan dan bangunan, misalnya, ditarik ke pusat. Wewenang daerah dalam konteks itu adalah menyiapkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Padahal, jumlah kabupaten/kota yang memiliki RDTR sampai saat ini belum mencapai 10 persen. “Jadi apa dasar pusat untuk menetapkan izin terkait lokasi, apa pusat bisa memberi izin tanpa melihat RDTR?” ucapnya.
Selain itu, UU ini mengatur pembatalan peraturan daerah (Perda) oleh presiden. Padahal Mahkamah Konstitusi telah menetapkan bahwa lembaga yang bisa membatalkan perda hanyalah Mahkaman Agung.
Menurut dia, aturan semacam itu akan berdampak pada perencanaan daerah. Perencanaan berbasis lokal menjadi tidak akan dominan karena daerah harus fokus menerjemahkan kerangka dari pusat. “UU ini kental (nuansa) pusatnya, untuk tidak mengatakan ada upaya resentralisasi. Bagi kami di bidang otonomi, sejak 2014 arus balik itu sudah terasa. UU Cipta Kerja menggenapi proses arus balik itu,” tambahnya.
Manajer Manajemen Pengetahuan FITRA Yenti Nurhidayat juga menyoroti pembagian kewenangan pusat dan daerah yang berubah di UU ini. Urusan-urusan yang semula dipegang daerah kini ditarik ke pusat. Mulai dari aturan tentang perizinan hingga pembatalan perda. Ketika perizinan ditarik ke pusat, hal itu akan berimplikasi terhadap kemandirian fiskal daerah. Tingkat ketergantungan daerah terhadap transfer dari pusat pun akan semakin besar. Padahal, saat ini ketergantungan daerah pada pusat sudah cukup tinggi. “UU ini bisa menurunkan kemandirian fiskal daerah karena menurunnya PAD (pendapatan asli daerah) yang diakibatkan oleh menurunnya kewenangan daerah,” ujarnya.
Peneliti AURIGA Iqbal Damanik menyoroti masalah perizinan dan kaitannya dengan dampak terhadap lingkungan serta masyarakat. Ia menilai kemudahan izin lingkungan yang diberikan melalui UU ini bisa menghapus kemungkinan partisipasi masyarakat. Padahal masyarakat di sekitar lokasi usaha bisa terkena dampak langsung dari usaha yang akan dijalankan. Selain itu, peran organisasi lingkungan sebagai penilai kelaikan izin lingkungan dihapus.
Direktur Eksekutif Migrant CARE Wahyu Susilo menilai, UU Cipta Kerja merupakan langkah mundur bagi perlindungan pekerja migran di Indonesia. Dalam prosesnya, ada pasal-pasal perlindungan pekerja migran yang dimasukkan dalam UU ini, namun hal itu tidak pernah dikonsultasikan kepada pemangku kepentingan terkait pekerja migran. Dengan UU ini, ruang gerak perusahaan penggerak pekerja migran yang semula diperketat menjadi kendor. Padahal selama ini proses migrasi berbiaya tinggi yang dialami para pekerja migran terjadi akibat ulah perusahaan penggerak pekerja migran yang tidak taat aturan.
Direkur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Fajri Nursyamsi menjelaskan, di luar pro dan kontra terkait UU ini, besarnya perhatian publik terhadap UU ini menciptakan momentum untuk melakukan reformasi regulasi. Ia mencatat, UU ini bermasalah bukan hanya dari sisi substansi namun juga proses penyusunannya. Ia juga menyebut satu hal penting yang kurang banyak dibahas dalam UU ini, yakni terkait hak-hak penyandang disabilitas. Selain draftnya yang tidak bisa diakses penyandang tuna netra, UU ini masih menggunakan kata ‘cacat’ yang sudah lama diperjuangkan penyandang disabilitas untuk tidak dipakai.
Melihat hal itu, ia mengusulkan agar pemerintah menunda pembentukan peraturan pelaksanaan bagi UU ini. Waktu yang ada bisa digunakan untuk menyosialisasikan UU ini sembari membuka masukan seluas-luasnya dari masyarakat. Selain itu, ia merekomendasikan perlunya agenda reformasi regulasi secara menyeluruh dengan memastikan kebutuhan penyandang disabilitas juga terakomodasi di dalam prosesnya.
Menutup sesi diskusi, perwakilan dari PAKK menyatakan bahwa diskusi KSI4RDI kali ini akan ditindaklanjuti dengan pembuatan policy note yang ditujukan kepada Menteri PPN/Bappenas yang akan diikuti dengan diskusi lintas direktorat terkait, pada internal Bappenas. Sebagaimana rekomendasi yang disampaikan oleh para nasumber bahwa langkah yang paling memungkinkan dilakukan untuk saat ini adalah dialog dan sosialisasi, sembari meninjau kembali pengaturan-pengaturan terkait PP untuk kemudian dimasukkan dalam rencana kerja 2022. KSI sebagai mitra Bappenas telah berperan penting dalam membuka jaringan PAKK kepada lintas pemangku kepentingan melalui platform KSI4RDI ini.
KSI4RDI (KSI for Research, Development and Innovation) adalah diskusi interaktif yang di inisiasi oleh Knowledge Sector Initiative (KSI) kemitraan antara pemerintah Indonesia dan Australia dengan pendanaan dari Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT). Kegiatan diskusi KSI4RDI bertujuan untuk mendukung peningkatan penggunaan bukti dalam proses pembuatan kebiajakan yang secara langsung akan mendorong para pembuat kebijakan menghasilkan kebijakan yang lebih inklusif dan tepat sasaran.