Guna mendorong hadirnya penelitian yang berperspektif gender dan inklusi sosial, dibutuhkan adanya semacam protokol penelitian. Protokol tersebut bisa menjadi pedoman bagi pelaksanaan penelitian mulai dari tahap perencanaan, pengambilan data hingga ke proses akhir dari suatu penelitian.
Hal itu terungkap dalam sesi ketiga diskusi KSI for Research, Development, and Innovation (KSI4RDI) GESI Streamline yang diselenggarakan Knowledge Sector Initiative (KSI) secara daring pada Selasa (22/9). KSI4RDI GESI Streamline merupakan rangkaian diskusi yang digelar untuk mengintegrasikan perspektif kesetaraan gender dan inklusi sosial (Gender Equality and Social Inclusion (GESI)) dalam penelitian, khususnya di era pandemi COVID-19. Rangkaian diskusi ini diselenggarakan sebanyak empat sesi dengan melibatkan para peneliti dan pemangku kepentingan terkait baik dari kalangan akademisi, lembaga penelitian pemerintah maupun non pemerintah.
Dalam diskusi sesi ketiga ini, pokok bahasan utamanya adalah perangkat serta pendekatan yang telah maupun perlu ada guna mendorong perspektif GESI dalam kebijakan maupun program riset. Berbeda dengan dua sesi diskusi sebelumnya, tidak ada narasumber utama dalam sesi ini. Para peserta diskusi diajak untuk saling berbagi pengalaman masing-masing ketika berupaya mengintegerasikan GESI dalam penelitian. Para peserta dibagi ke dalam dua kelompok diskusi, yakni ruang diskusi lensa gender yang difasilitasi the Abdul Latif Jameel Poverty Action Lab (J-PAL) dan ruang diskusi lensa inklusi sosial terhadap penyandang disabilitas yang difasilitasi Autralia-Indonesia Disability Research and Advocacy (AIDRAN) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Disabilitas. Di akhir sesi, para peserta dikumpulkan kembali dalam satu ruang untuk membacakan kesimpulan dari masing-masing kelompok.
Perlunya semacam protokol penelitian itu menjadi kesimpulan penting yang muncul dari dua kelompok diskusi. Christal Setyabudi, Research Associate J-PAL, selaku fasilitator kelompok diskusi gender menuturkan, keberadaan protokol penelitian dan komite etik sangatlah diperlukan guna menjamin hadirnya penelitian yang berperspektif gender. Persetujuan dari komite etik menjadi penting dalam setiap siklus supaya bisa terkontrol dari sisi etiknya, sehingga bisa lebih menjamin kerahasiaan dan kualitas data serta etika peneliti ketika mengumpulkan data di lapangan. “Dalam data collection misalnya bisa menghindari pertanyaan-pertanyaan maupun komentar yang bias gender. Tim riset dan enumerator perlu belajar mengidentifikasi hal itu,” katanya.
Selain protokol penelitian, kelompok ini juga membahas tantangan yang dihadapi dalam menyusun program maupun penelitian yang berperspektif gender. Tantangan itu antara lain berupa mitra program yang kerap kali belum memiliki kesadaran gender hingga sulitnya mengambil data secara langsung khususnya di masa pandemi seperti sekarang. Big data maupun data administratif saat ini menjadi salah satu alternatif sumber data. Namun, data-data semacam itu bersifat umum dan tidak dipilah berdasarkan jenis kelamin.
Aqila Putri selaku Senior Research Associate J-PAL membagikan pengalaman lembaganya dalam mengarusutamaan dan menerapkan lensa gender dalam setiap fase program, mulai dari fase perencanaan program, perancangan intervensi, pengumpulan data, hingga analisis data dan pengomunikasian hasilnya. Dalam setiap fase itu, setiap peneliti perlu berpikir kritis untuk memastikan program yang dirancang tidak buta gender. “Caranya dengan memahami konteks, menganalisis relasi kuasa yang ada, serta mempertimbangkan pengetahuan dan pengalaman peremuan dari kelompok marginal,” jelasnya.
Dari kelompok inklusi sosial untuk penyandang disabilitas, Slamet Thohari, Indonesian Chair of AIDRAN menjelaskan bahwa kelayakan etik (ethical clearance) dipandang sangat penting dalam penelitian. Suatu rencana penelitian mestinya tidak diteruskan jika tidak ada persetujuan secara etik dari komite etik. “Apabila berbasis kampus, biasanya ada komite itu di masing-masing kampus. Bila tidak memiliki itu ya penelitian akan menjadi kurang valid,” katanya.
Dalam etika itu, ia menyebut soal pentingnya persetujuan untuk berpartisipasi (informed consent) dari kelompok rentan yang terlibat. Terkait dengan itu, perencanaan teknis penelitian juga harus mempertimbangkan kondisi disabilitas yang tidak tunggal. Dengan demikian, aspek aksesibilitas dan akomodasi yang rasional harus dihitung dalam perencanaan anggaran penelitian. “Harus mempertimbangkan kebutuhan setiap individu karena kondisinya beda-beda,” katanya.
Selain itu, ia menggarisbawahi pentingnya metode partisipatif dalam riset inklusif. Rumusan masalah perlu langsung punya dampak bagi penyandang disabilitas. Selain itu, suara dari penyandang disabilitas adalah yang utama. Pihak non disabilitas tidak bisa mewakili kelompok penyandang disabilitas. “Jadi perlu clearing the space, memberi ruang bagi penyandang disabilitas untuk bicara dalam penelitian, melibatkan mereka dan memberikan perspektif penyandang disabilitas sejak dalam penyusunan rumusan masalah penelitian,” tambahnya.
Hari Kurniawan Direktur LBH Disabilitas menambahkan, lembaga penelitian yang ingin merancang penelitian inklusif namun tidak memiliki staf penyandang disabilitas bisa mengonsultasikan rencana penelitiannya itu dengan organisasi yang fokus pada isu-isu disabilitas. Dengan demikian, rencana penelitian itu bisa dikaji keinklusivitasannya. Selain itu, mereka juga bisa mendapat masukan terkait bagaimana proses pengumpulan data di lapangan, khususnya terkait etika berinteraksi dengan kelompok disabilitas sehingga bisa menjaga kenyamanan penyandang disabilitas yang diajak terlibat dalam penelitian.
Sebagai penutup, Noviana Koordinator Knowledge Exchange KSI menyatakan bahwa penyusunan dokumen keluaran akan berbentuk kompilasi dari Lesson Learned Stories (LLS) mengenai produksi pengetahuan inklusif dengan menggunakan perspektif GESI. Dokumen LLS ini akan berisi ringkasan singkat mengenai poin-poin utama mengenai pembelajaran selama kurang lebih 4 sesi diskusi. Para peserta diharapkan untuk dapat berkontribusi dalam sharing pengalaman dan pengetahuan selama mengikuti rangkaian KSI4RDI GESI streamline melalui tulisan singkat maksimal 2000 kata dalam Bahasa Indonesia. Penjelasan lebih lanjut mengenai struktur dan linimasa penyusunan dokumen keluaran akan dibahas pada sesi 4 yang akan dilaksanakan pada akhir Oktober 2020.
KSI4RDI (KSI for Research, Development and Innovation) adalah diskusi interaktif yang di inisiasi oleh Knowledge Sector Initiative (KSI). Kegiatan diskusi KSI4RDI GESI Streamline bertujuan untuk mendukung penelitian yang lebih inklusif dalam konteks kesetaraan gender dan inklusi sosial. Gelaran serial diskusi KSI4RDI#7 GESI Streamline sesi ketiga mempertemukan peneliti/produsen pengetahuan dan pelaku sektor program pembangunan untuk bertukar pengetahuan dan contoh praktik baik dalam menerapkan lensa GESI dalam siklus peneltian maupun kajian.