Penelitian Cepat Dorong Kebijakan Berbasis Bukti

Hasil dari penelitian cepat atau rapid research bisa mendorong hadirnya kebijakan berbasis bukti guna merespon pesatnya perubahan situasi akibat dampak pandemi. Inovasi diperlukan agar berbagai kendala dalam pelaksanaan penelitian cepat di masa pandemi bisa diatasi sehingga hasilnya bisa akurat. Keefektifan hasil penelitian cepat untuk mendukung kebijakan berbasis bukti itu menjadi topik diskusi KSIxChange#28 dengan tema “Keefektifan Penelitian Cepat di Era Pandemi Covid-19”

Hasil dari penelitian cepat atau rapid research bisa mendorong hadirnya kebijakan berbasis bukti guna merespon pesatnya perubahan situasi akibat dampak pandemi. Inovasi diperlukan agar berbagai kendala dalam pelaksanaan penelitian cepat di masa pandemi bisa diatasi sehingga hasilnya bisa akurat.

Keefektifan hasil penelitian cepat untuk mendukung kebijakan berbasis bukti itu menjadi topik diskusi KSIxChange#28 dengan tema “Keefektifan Penelitian Cepat di Era Pandemi Covid-19” pada Selasa (29/9). Narasumber diskusi daring yang diadakan Knowledge Sector Initiative (KSI) ini adalah Plt Sekretaris Menteri Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset Inovasi Nasional Mego Pinandito, Analis Kebijakan Ahli Utama Kementerian Kesehatan Siswanto, Manajer Program Article 33 Indonesia Agus Pratiwi, dan Koordinator Riset Partnership for Australia Indonesia Research (PAIR) dari Australia Indonesia Centre Hasnawati Saleh. Sedangkan moderator dalam diskusi ini adalah Leonardo Teguh Sambodo, Direktur Industri, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Counsellor Australian Embassy Jakarta Aedan Whyatt dalam pengantar diskusi mengatakan bahwa Covid-19 merupakan tantangan yang membuat sektor kesehatan dan ekonomi terkena dampak yang besar. Terkait dengan itu, masa pandemi telah memberikan pelajaran penting tentang meningkatnya kesadaran serta permintaan akan kebijakan berbasis bukti. Penelitian sangat dibutuhkan untuk mendukung hadirnya kebijakan berbasis bukti, termasuk di dalamnya penelitian cepat. Ia mengingatkan satu hal penting dalam pelaksanaan penelitian cepat, yakni kualitas, realibilitas dan akurasi data. Jika data tidak lengkap, hasil penelitian akan menjadi tidak lengkap sehingga kebijakan yang disusun menjadi tidak efektif. “Diskusi hari ini menjadi penting untuk membahas hal itu,” katanya.

Manajer Program Article 33 Indonesia Agus Pratiwi menuturkan, pihaknya telah melakukan penelitian cepat sejak sebelum pandemi. Penelitian semacam itu dilakukan dalam waktu 2 – 5 bulan. Singkatnya waktu penelitian itu berhubungan dengan momentum. “Momentum harus segera dijawab sebagai respons kebutuhan kebijakan ataupun perbaikan kebijakan. Kalau risetnya terlalu lama, momentum ini akan hilang sehingga nanti jadi tidak relevan,” jelasnya.

Selama masa pandemi, pihaknya juga melakukan sejumlah penelitian cepat yang isunya semula sama sekali tidak berhubungan dengan pandemi. Namun mengingat dampak pandemi, isu pandemi pun akhirnya dimasukkan dalam pelaksanaan penelitian cepat tersebut. Ketika melakukan penelitian cepat terkait peta jalan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), misalnya, pihaknya memasukkan adanya perubahan pasar prioritas sektor industri sebagai dampak dari pandemi. Hal itu perlu dilakukan agar nantinya kebijakan yang disusun bisa disesuaikan dengan kondisi yang ada.

Terkait tantangan pelaksanaan penelitian di masa pandemi, ia mengungkap bahwa penelitian kuantitatif akan sangat membutuhkan data sekunder yang cukup agar bisa dianalisis. Adapun untuk penelitian kualitatif, pengumpulan data terkendala karena peneliti tidak bisa ke lapangan. Inovasi sangat dibutuhkan agar peneliti bisa menangkap sensitivitas di lapangan. Di daerah yang jaringan internetnya baik, peneliti bisa mengontak narasumber via Zoom maupun Whatsapp video. Namun di daerah yang jaringannya kurang baik, pihaknya mengandalkan peneliti regional yang menggunakan alat perekam. Selain menjaga kualitas data, pelaksanaan penelitian itu juga harus menerapkan perspektif kesetaraan gender dan inklusi sosial.

Koordinator Riset Partnership for Australia Indonesia Research (PAIR) Hasnawati Saleh mengatakan, pihaknya semula hanya fokus pada penelitian jangka panjang. Melihat dampak pandemi, pihaknya merasa perlu bergerak cepat sehingga memutuskan melakukan penelitian cepat. “Pemerintah dan masyarakat harus merespons cepat dan tepat. Selain leadership yang bagus, itu harus berbasis evidence atau science. Gerakan cepat, tetapi tidak boleh mengorbankan keketatan akademik,” ucapnya.

PAIR pun meluncurkan penelitian cepat berskala kecil dengan jangka waktu 12 minggu. Tujuannya adalah menyalurkan hasil penelitian cepat untuk menjawab tantangan kebijakan yang ada sehingga bisa memberi masukan kepada pemerintah, khususnya terkait dampak pandemi di semua sektor. PAIR membuka layanan penelitian cepat semacam itu untuk seluruh wilayah di Indonesia. Meskipun ada kendala dalam proses pengumpulan data akibat adanya pembatasan pergerakan, pihaknya melakukan sejumlah inovasi agar proses pengumpulan data tetap bisa berjalan. “Bisa mengandalkan staf di lokasi, pertemuan virtual, jika tidak bisa pakai Zoom ya bisa membuat Whatsaap Group dan sebagainya,” jelasnya.

Plt Sekretaris Menteri Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset Inovasi Nasional Mego Pinandito menyampaikan, dari sisi pengambil kebijakan, semua data dan informasi dari lapangan harus dikumpulkan dengan cepat supaya kondisi terkini akibat dampak pandemi bisa diketahui. Dalam konteks itu, penelitian cepat akan sangat berguna apabila sejak awal penelitian itu sudah jelas targetnya dan jangka waktunya. “Hasil dari rapid research sangat kita butuhkan, itu bisa menjadi semacam feedback manakala sebuah kebijakan ditetapkan,” katanya.

Menurut Analis Kebijakan Ahli Utama Kementerian Kesehatan Dr Siswanto, penelitian cepat bisa dilakukan untuk mengevaluasi suatu kebijakan hingga program pelayanan masyarakat. Terkait pelaksanaan protokol kesehatan, misalnya, bisa diteliti secara cepat apakah masyarakat sudah melaksanakannya atau belum. Penelitian cepat juga pernah dilakukan untuk mengetahui pelayanan kesehatan esensial di Puskesmas selama masa pandemi. Temuannya, pelayanan menurun karena orang takut untuk datang ke Puskemas. Temuan itu bisa digunakan untuk merumuskan kebijakan agar masyarakat tetap bisa mendapatkan pelayanan kesehatan esensial di masa pandemi. “Dengan adanya Covid 19, banyak peluang riset yang hasilnya berupa informasi dan data, sehingga akan berguna untuk evidence based policy, ujarnya.

Menutup sesi interaktif, Leonardo Teguh Sambodo dari Bappenas selaku moderator mengungkapkan bahwa dalam situasi pandemi saat ini  rapid research menjadi langkah awal dalam menangani permasalahan bangsa terlebih lagi dengan situasi respon Covid-19 yang membutuhkan kebijakan yang cepat, tepat dan efektif. Kolaborasi dan pemanfaatan teknologi menjadi salah satu peluang untuk menyesuaikan dengan situasi pandemi saat ini yang membatasi pergerakan dan diskusi tatap muka yang sebenarnya krusial yang menjadikan hasil riset relevan dengan kebutuhan rekomendasi kebijakan kepada kementerian/lembaga terkait terlebih dalam upaya respon Covid-19

KSIxChange adalah diskusi interaktif yang diinisiasi Knowledge Sector Initiative (KSI), kemitraan antara pemerintah Indonesia dan Australia dengan pendanaan dari Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) Australia. KSIxChange yang digelar minimal sekali dalam sebulan bertujuan untuk mendukung pelaksanaan program pemerintah melalui peningkatan diskursus publik yang berdasarkan penggunaan bukti dalam proses pembuatan kebijakan.

  • Bagikan: