Pengarusutamaan Perspektif Gender Masih Menemui Tantangan

Penerapan pendekatan kesetaraan gender dan inklusi sosial dalam penelitian di Indonesia telah mendapatkan sejumlah praktik baik. Meskipun demikian, masih ada banyak tantangan yang harus dihadapi guna lebih mengarusutamakan pendekatan tersebut. Hal tersebut dibahas pada KSI4RDI#4 yang bertema "GESI Streamline: Why is the Gender Equality and Social Inclusion (GESI) Approach Important in Research".

Pengarusutamaan Perspektif Gender Masih Menemui Tantangan

Penerapan pendekatan kesetaraan gender dan inklusi sosial dalam penelitian di Indonesia telah mendapatkan sejumlah praktik baik. Meskipun demikian, masih ada banyak tantangan yang harus dihadapi guna lebih mengarusutamakan pendekatan tersebut.

Hal itu terungkap dalam agenda diskusi tematik yang dilangsungkan secara daring pada KSI4RDI#4 yang bertema “GESI Streamline: Why is the Gender Equality and Social Inclusion (GESI) Approach Important in Research”, Rabu (19/8). Diskusi yang di inisiasi Knowledge Sector Initiative (KSI) ini membahas situasi riset dengan pendekatan kesetaraan gender dan inklusi sosial di Indonesia, serta gagasan dan strategi untuk menyusun penelitian yang lebih inklusif.

Hadir sebagai narasumber dalam diskusi ini Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Lidwina Inge Nurtjahyo serta Monitoring and Evaluation Specialist Program MAMPU Stewart Norup, dengan moderator Deputy Team Leader Program PEDULI Natalia Warat. Diskusi ini disiarkan secara langsung di kanal Youtube The Conversation Indonesia dengan dilengkapi penerjemah bahasa isyarat.

Lidwina Inge Nurtjahyo menuturkan, pengarusutamaan perspektif gender dalam penelitian di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan. Sampai saat ini, di sejumlah wilayah isu tersebut masih dianggap bertentangan dengan ajaran agama dan budaya. Selain itu, isu kesetaraan gender masih disangka hanya berbicara tentang perempuan. “Padahal ini juga tentang bagaimana laki-laki dan perempuan berelasi,” katanya.

Anggapan itu bisa sangat terasa dalam pelaksanaan penelitian di lapangan. Ketika peneliti mengadakan diskusi kelompok terfokus, misalnya, instansi yang diundang mengirim staf perempuan walaupun mereka bukan pengambil keputusan. “Jadi mereka dikirim hanya karena mereka perempuan,” tambahnya.

Menurut Lidwina, tantangan lainnya adalah isu kesetaraan gender juga masih tidak dianggap sama pentingnya dengan isu lain, misalnya isu lingkungan, korupsi dan intoleransi. Di sisi lain, ada tantangan berupa ego sektoral dan keilmuan sehingga penelitian berperspektif gender menjadi sulit untuk multidisipin. Selain itu, peneliti isu gender seringkali tidak cukup rendah hati untuk membaca dan memperbarui konsep maupun kajian terbaru yang dilakukan koleganya maupun juniornya sehingga isu penelitiannya tidak mendapat pengayaan.

Meskipun demikian, ia mencatat ada banyak praktik baik dalam upaya pengarusutamaan isu kesetaraan gender yang dimulai sejak tahun 1980-an ketika sejumlah kampus mulai merintis pusat kajian gender. Di UI, langkah selanjutnya adalah dimasukkannya perspektif kesetaraan gender kemudian dalam kurikulum Fakultas Hukum. Sejumlah hasil penelitian juga digunakan untuk advokasi kebijakan, misalnya dalam menyusun Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, standar prosedur operasional penanganan kekerasan seksual di UI, penanganan deradikalisasi bagi keluarga narapidana terorisme hingga advokasi hak-hak pekerja migran, dan sebagainya. Di masa pandemi, sejumlah penelitian juga digunakan untuk mengubah cara pelaporan kasus maupun pelayanan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kebijakan rapid test yang lebih ramah bagi perempuan, hingga perbaikan proses belajar mengajar daring.

Stewart Norup menuturkan, dalam program MAMPU ia merasa tidak banyak menemukan tantangan dalam mengarusutamakan perspektif gender karena program tersebut memang hadir untuk mendukung aktivis perempuan dan mendorong kesetaraan gender. Ada 130 lembaga masyarakat sipil dari seluruh Indonesia yang terlibat dalam program tersebut.  

Dalam program MAMPU ada sejumlah riset yang diadakan selama periode 2012 - 2019, baik oleh sekretariat MAMPU maupun oleh lembaga masyarakat sipil yang menjadi mitra program.  Riset-riset tersebut menghasilkan pembelajaran untuk mengatasi berbagai kendala di lapangan. Ia mencontohkan KLIK (Klinik Layanan Informasi dan Komunikasi) PEKKA, yakni klinik yang bergerak untuk mengumpulkan data perempuan yang menjadi kepala keluarga dan membutuhkan dukungan untuk mendapatkan legalitas status dan akses ke program perlindungan sosial. Contoh lainnya adalah riset KAPAL Perempuan tentang akses perempuan ke jaminan kesehatan. Riset ini dilakukan langsung oleh para perempuan di tingkat akar rumput, sehingga proses riset juga mendukung proses pemberdayaan dan membantu perempuan menyuarakan kebutuhan mereka kepada pengambil kebijakan.

Menurut Stewart, refleksi dari riset-riset tersebut antara lain harus ada perhatian pada nilai kesetaraan gender dalam riset termasuk dengan memastikan adanya kesetaraan gender dalam tim riset. Selain itu, suara dari subyek perempuan sangatlah penting dalam riset karena hal itu lebih bisa memengaruhi kebijakan. “Kami belajar bahwa authentic voice itu penting,” katanya.

Sebagai penutup, Natalia Warat dari Program PEDULI menyatakan bahwa penting untuk melanjutkan upaya advokasi yang telah dilakukan oleh KSI dalam hal memperbaiki dan membangun jejaring kerja para peneliti yang menguatkan kegiatan penelitian/ peer review culture mulai dari paradigma, epistomologi dan analisis yang mengarusutamakan pendekatan kesetaraan gender dan inklusi sosial untuk mendukung kebijakan berbasis bukti. Lebih lanjut, opsi untuk membangun sebuah clearing house dan penyusunan guidelines memberi gambaran akan keluaran hasil diskusi kedepannya.

Harapan kedepannya akan ada output dari seluruh rangkaian kegiatan diskusi KSI4RDI GESI Streamline yang diproyeksikan akan mulai dirancang bersama pada bulan Oktober 2020. Keluaran tersebut terdiri dari identifikasi akar rumput permasalahan terkini terkait pendekatan GESI itu sendiri dalam kalangan peneliti, identifikasi tantangan yang dialami oleh para peneliti dalam menanamkan dan memhami perspektif GESI, serta analisis praktik baik yang dapat di jadikan lesson-learned untuk aplikasi pendekatan GESI dalam penelitian. Penting untuk menggarisbawahi peran KSI sebagai katalis yang memfasilitasi pemerintah dan penghasil pengetahuan untuk mendukung pengambilan keputusan berbasis bukti.

KSI4RDI (KSI for Research, Development and Innovation) adalah diskusi interaktif yang di inisiasi oleh Knowledge Sector Initiative (KSI) kemitraan antara pemerintah Indonesia dan Australia dengan pendanaan dari Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT). Kegiatan diskusi KSI4RDI GESI Streamline digelar dua kali dalam sebulan bertujuan untuk mendukung peningkatan penggunaan bukti dalam konteks kesetaraan gender dan inklusi sosial dalam proses pembuatan kebijakan yang secara langsung akan mendorong para pembuat kebijakan menghasilkan kebijakan yang lebih inklusif dan tepat sasaran. Gelaran serial diskusi KSI4RDI#4 GESI Streamline sesi pertama mempertemukan peneliti/produsen pengetahuan dan pelaku sektor program pembangunan/ kemanusiaan dari Australia dan Indonesia untuk mendiseminasikan contoh praktik baik yang dilakukan oleh organisasi/lembaga dalam mengarusutamakan pendekatan GESI yang berfokus pada kesetaraan gender dalam penelitian dan program.

  • Bagikan: