Menjaga Laju Industri di Tengah Pandemi COVID-19

Sektor industri di Indonesia menghadapi pukulan keras di tengah pandemi COVID-19. Sebagai penyumbang 20% PDB nasional, hal tersebut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi 2020. Simak pembahasan pada KSIxChange#22 bersama dengan Bappenas, Kemenperin, PT Pan Brothers Tbk, Ribka Furniture, Yayasan PEKKA dan SMERU

Menjaga Laju Industri di Tengah Pandemi COVID-19

Sektor industri non-migas mengalami dampak dari wabah virus corona atau COVID-19. Menurut Deputi Bidang Ekonomi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Prijambodo dampak yang dialami industri ialah menurunnya permintaan barang/jasa dari pasar domestik dan global. Äkibatnya, neraca keuangan perusahaan terganggu dan terjadi pemutusan hubungan kerja.

“Pengangguran meningkat, konsumsi masyrakat melambat karena kehilangan pendapatan,” kata Bambang saat menjadi pembicara di diskusi daring KSIxChange 22 dengan tema ‘Industri Indonesia di Tengah Pandemi COVID-19’ yang digelar pada Kamis, 14 Mei 2020.

Data dari Badan Pusat Stastistik menunjukkan terjadi penurunan ekonomi dan industri non-migas pada triwulan I 2020 dibanding tahun-tahun sebelumnya. Bila tahun sebelumnya selalu di atas 5 persen, pertumbuhan ekonomi di tahun 2020 anjlok menjadi 2,97 persen. Begitu pula dengan pertumbuhan industri non-migas atau manufaktur yang anjlok hanya 2,01 persen, berbeda dengan periode sebelumnya yang selalu di atas 4 persen.

Sementara terkait pengurangan tenaga kerja industri, data dari Kementerian Perindustrian menunjukkan 5,5 juta tenaga kerja industri sudah dalam status tidak bekerja karena PHK ataupun dirumahkan tanpa mendapatkan gaji. Dari angka tersebut, sekitar 3 juta merupakan tenaga kerja industri kecil dan menengah dan sekitar 2 juta berasal dari sektor industri sedang dan besar. Angka ini merupakan 28 persen dari total tenaga kerja industri nasional yang secara keseluruhan mencapai 19,8 juta tenaga kerja.

Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan dampak COVID-19 ini mulai dirasakan sektor industri sejak Februari 2020. Beberapa lokasi ekspor mengalami lockdown dan pembatasan jarak fisik di dalam negeri mengurangi permintaan produk. Ditambah dengan kenaikan kurs dollar yang signifikan, industri semakin kesulitan mendapatkan bahan baku dan memilih mengurangi impor.

“Ini semua menggerus utilisasi (kapasitas produksi) industri hingga di bawah 50 persen,” kata Sigit.

Penurunan utilisasi industri ini juga terjadi di subsektor unggulan seperti industri makanan dan minuman, industri kima dan farmasi, industri otomotif atau alat angkutan, industri barang logam dan elektronik, serta industri tekstil dan pakaian jadi. Padahal, menurut Sigit, lima subsektor industri inilah yang banyak berkonstribusi pada Produk Domestik Bruto dan menghasilkan devisa negara dari ekspor.

Begitu pula dengan dampak COVID-19 yang dirasakan oleh industri mikro dan kecil. Founder dan Direktur Yayasan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) Nani Zulminarni mengatakan industri mikro dan kecil memang tak menyumbang porsi besar PDB tetapi sektor inilah yang paling banyak menyerap tenaga kerja terutama pekerja perempuan di sektor informal. Nani berharap kebijakan pemerintah menghadapi COVID-19 juga memperhatikan kelompok industri mikro dan kecil.

“Terutama untuk pekerja industri informal yang seringkali tak mendapatkan kompensasi apapun bila pekerjaan berhenti,” kata Nani. 

Untuk itulah, pemerintah membuat strategi agar industri non-migas ini bisa bertahan di tengah pandemik COVID-19. Deputi Bappenas Bambang mengatakan stimulus ekonomi berupa bantuan sosial kepada kelompok miskin rentan adalah upaya memastikan daya beli masyarakat sehingga permintaan terhadap barang industri non-migas terjaga dan produksi tetap berjalan.

Sekretaris Jenderal Kemepenrin Sigit memaparkan langkah strategi yang dilakukan pemerintah seperti mengoptimalkan pemanfaatan bahan baku industri dalam negeri dan insentif pajak dan cukai untuk industri. Sigit berharap industri tetap berjalan dengan memperhatikan protokol kesehatan karena keselamatan pekerja tetaplah yang utama. Kemenperin mengeluarkan Surat Edaran Menperin No. 4/2020 tentang Pelaksanaan Operasional Pabrik dalam Masa Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 untuk perusahaan dan kawasan industri agar produksi yang berjalan tetap mengutamakan keselamatan pekerja.  

“Untuk industri kecil, Kemenperin berkoordinasi dengan Kementerian Koperasi dan Ekonomi Kreatif dan kementerian lain untuk meningkatkan daya tahan di sektor ini,” kata Sigit.

Menyikapi ini, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertestilan Industri (API) Anne Patricia Sutanto mengapresiasi langkah yang dilakukan pemerintah terhadap sektor industri pengolahan. Dia juga memberikan rekomendasi kepada pemerintah agar mendorong Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial memberikan keringanan pembayaran seiring dengan berkurangnya utilisasi industri. Anne juga meminta pemerintah terus mempromosikan produk Indonesia ke luar negeri. 

“APD (Alat Perlindungan Diri) dan produk tekstil Indonesia dikenal dunia  karena kualitasnya yang jauh lebih baik dibanding negara ASEAN lain, bahkan bisa menyaingi China,” kata Anne yang juga Vice President PT. Pan Brothers Tbk.

Pendapat ini dibenarkan oleh Ketua Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Surakarta Adi Dharma Santoso yang mengatakan produk Indonesia, termasuk mebel, terkenal berkualitas di pasar global. Direktur Ribka Furniture ini berharap pemerintah membantu pemenuhan bahan baku dan relaksasi pinjaman. Kebutuhan bahan baku mebel bisa dihubungkan dengan BUMN penghasil kayu seperti Perhutani dan Inhutani.

“Turunnya permintaan internasional, pembatalan order, kebangkrutan pembeli sehingga tak bisa membayar tentu menimbulkan masalah finansial bagi pengusaha. Kami berharap ada relaksasi pokok bunga dan penjadwalan ulang dari perbankan,” kata Adi.

Asep mengingatkan bahwa wabah COVID-19 saat ini merupakan krisis yang sangat berat namun ada optimisme baik dari sektor pemerintah maupun pelaku industri untuk dapat melewati krisis ini. Beberapa penyesuaian tentunya harus dilakukan dengan lebih baik lagi yang berada di tataran kebijakan termasuk penerapan protokol kesehatan yang harus disegerakan. Untuk merealisasikan optimisme tersebut perlu adanya kerjasama dan sinergi lintas sektor, diantaranya kementerian dan lembaga-lembaga pusat, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta pemerintah dan pihak industri. Terlebih lagi sinergitas juga diperlukan pada internal pelaku industri, misalnya pengusaha dan serikat pekerja perlu ada harmonisasi yang baik. Penyesuaian tersebut perlu segera direalisasikan karena akan mempercepat recovery phase yang diproyeksikan akan berlangsung pada tahun 2021.

Diskusi daring KSIxChange ke 22 mempertemukan pemerintah, pelaku industri non-migas, dan pengamat untuk mencari solusi yang tepat agar industri tetap bertahan di tengah wabah COVID-19. Diikuti oleh hampir 200 orang, diskusi ini merupakan kolaborasi antara Knowledge Sector Initiative dengan Bappenas, Kemenperin, API, HIMKI, The SMERU Research Institute, Yayasan PEKKA, dan Asumsi.co untuk memberikan rekomendasi kebijakan publik yang berbasiskan data riset serta bukti di dunia industri saat ini.**

  • Bagikan: