Berbagai upaya sistemik dan langkah terobosan perlu dilakukan berbagai pihak terkait untuk mendorong terciptanya ekosistem riset, khususnya terkait kebijakan, yang lebih kompetitif di Tanah Air. Budaya pemanfaatan hasil-hasil riset yang berkualitas dan aplikatif, berdasarkan pengalaman di banyak negara maju, terbukti mampu meningkatkan daya saing dan ekonomi sebuah bangsa.
Hal tersebut dikemukakan dalam Seminar Nasional bertajuk “Penelitian di Indonesia: Kesempatan dan Tantangan” yang digelar Aliansi Riset Kebijakan (ARK) Indonesia dengan menggandeng Knowledge Sector Initiative (KSI), Rabu 28 Februari 2018 lalu di Kantor CSIS di Jakarta. Seminar yang dihadiri Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas RI Prof. Dr. Bambang P.S. Brodjonegoro itu mengulas berbagai peluang sekaligus tantangan yang dihadapi dalam pengembangan riset kebijakan di Indonesia.
Di dalam seminar itu, ARK meluncurkan situs www.ark-indonesia.id dan aplikasi repository database atau portal data yang menjadi bagian upaya mendorong ekosistem riset kebijakan dan pemanfaatannya yang lebih optimal di Indonesia. Melalui aplikasi portal data itu misalnya, para anggota ARK yang terdiri dari 16 lembaga bisa mengakses dan berbagai data atau analisis terkait riset yang mereka lakukan.
Pembuatan situs dan portal data tersebut menjadi langkah monumental terkait upaya untuk menyinergikan hasil kerja multisektoral riset-riset kebijakan di Tanah Air. Sebelum adanya situs dan portal itu, berbagai data atau produk yang dihasilkan pusat-pusat riset kebijakan di Tanah Air tidak tersentralisir alias terpencar di banyak tempat. Itu menyulitkan khalayak umum dan instansi pemerintah atau lembaga negara yang ingin mengakses data-data riset itu.
“Aplikasi ini adalah sarana untuk berbagai data riset bersama. Itu dibuat berdasarkan kebutuhan akan suatu pusat data yang terkoneksi dan terintegrasi dengan seluruh anggota dan komunitas (peneliti riset kebijakan). Data-data disumbangkan 16 anggota ARK dan berbagai kementerian terkait,” ujar Yolanda Panjaitan, perwakilan ARK, dalam peluncuran aplikasi pusat data itu.
Data-data di aplikasi pusat data itu tersaji secara interaktif untuk memudahkan para penggunanya. Data-data lintas sektor itu tersaji dalam berbagai rentang waktu dan berbasis geospasial, baik kualitatif maupun kuantitatif. “Tidak lupa, itu (aplikasi pusat data) juga ikut memerhatikan isu gender dan inklusi sosial (GESI). Kami berharap aplikasi ini bisa lebih mendorong proses pengambilan kebijakan berdasarkan kajian data (evidance-based policy),” tutur Panjaitan yang juga peneliti riset kebijakan di Cakra Winara Indonesia.
Peranan Strategis ARK
Prof. Dr. Bambang P.S. Brodjonegoro selaku perwakilan pemerintah mengakui, ARK memiliki peranan strategis untuk menjadi “jembatan” antara riset dan kebijakan publik. Di Tanah Air, riset dan kebijakan selama ini seolah masih menjadi dua “kutub” berbeda yang belum dapat tersinergi optimal. “Selamat atas peluncuran pusat data ini. Ini adalah bagian dari knowledge initiative yang tentunya harus terus didukung. Kami berharap ke depannya ARK bisa terus meningkatkan kualitas riset dan berkontribusi lebih jauh dalam perencanaan (kebijakan),” ujar Brodjonegoro dalam pidatonya.
Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, ARK harus lebih berani mengambil peran sebagai think-thank dari kebijakan pemerintah. Untuk itu, riset-riset yang dihasilkan harus lebih aplikatif, tidak lagi teoritik. Itu agar keberadaaan ARK, yang didirikan September 2016 silam di Kuningan Jawa Barat, tidak tumpang tindih dengan asosiasi-asosiasi riset kebijakan lainnya seperti Biro Ekonomi dan Riset Indonesia (Indonesia Bureau of Economic Reserach/IBER) yang terbentuk akhir Januari lalu.
“Jika IBER lebih fokus ke riset-riset dasar (terkait kebijakan publik), maka ARK ke terapannya. Jadi, keduanya bisa saling melengkapi, tidak bertabrakan. Saya berharap ARK bisa menjadi think-thank yang berkualitas lewat saran dan masukannya kepada pemerintah. Analisa cepat dan akurat adalah yang kini cenderung banyak dibutuhkan oleh pemerintahan saat ini,” ungkap Brodjonegoro kemudian.
Dalam pidatonya, ekonom dari Universitas Indonesia itu juga menekankan pentingnya peranan lembaga-lembaga riset kebijakan, atau yang disebutnya think-thank, untuk daya saing bangsa. Ia berkata, maju tidaknya suatu negara dapat dilihat dari jumlah dan kualitas lembaga riset di negara itu. “Artinya, semakin banyak think-thank maka kian maju negara itu. Riset memiliki peranan penting misalnya, mengarahkan pelaku-pelaku usaha agar bisa berkembang di era globalisasi seperti saat ini,” tutur Brodjonegoro.
Ia mencontohkan kemajuan pesat Korea Selatan yang tidak terlepas dari peranan riset dan ilmu pengetahuan. Enam dekade lalu, Korsel termasuk salah satu negara miskin di Asia. “Tahun 1972, mereka naik kelas dari negara low income menjadi middle income. Sementara itu, Indonesia baru naik ke middle income pada 1992. Pada tahun 1992, Korsel sudah masuk ke high income, sementara kita hingga saat ini masih di middle income. Penyebab kemajuan Korsel bukan minyak bumi atau kekayaan alam lainnya, melainkan riset dan pengembangan,” tuturnya.
Tidak heran, Korsel punya jumlah peneliti atau ilmuwan melimpah, yaitu 8.105 orang per satu juta penduduknya, mengacu data dari Unesco Institute of Statictics 2015 lalu. Jumlah itu termasuk yang tertinggi di Asia. Adapun rasio peneliti di Indonesia hanya 1.070 orang per satu juta penduduk. Rasio itu jauh lebih rendah dibanding Korsel, termasuk negara tetangga seperti Malaysia (2.590) dan Singapura (7.115).
Minimnya kuantitas peneliti di Indonesia berkorelasi dengan kualitas riset dihasilkan. Brodjonegoro menyebutkan, hanya 12 persen publikasi penelitian sosial tentang Indonesia di dalam peer-reviewed jurnal-jurnal internasional yang ditulis oleh peneliti Indonesia. Dengan kata lain, 88 persen penelitian sosial tentang Indonesia justru dihasilkan oleh peneliti-peneliti asing atau mancanegara. Itu tidak terlepas dari terbatasnya jumlah think-thank di Indonesia, yaitu hanya 26 lembaga.
Dari jumlah 26 lembaga itu, hanya dua di antaranya yang masuk jajaran 20 besar di Asia Tenggara dan Pasifik, yaitu CSIS dan Eria. Diakui Brodjonegoro, salah satu kendala terbesar dalam pengembangan riset kebijakan di Tanah Air adalah minimnya sokongan dana. Alokasi dana riset dari pemerintah hanya 0,1 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Jumlah ini sangat kecil dibandingkan negara lainnya seperti Korsel (4,04 persen), Singapura (2,20 peren) dan Malaysia (1,07 persen).
Insentif pajak sebagai stimulus riset
Namun, menurut Brodjonegoro, tidak mudah meningkatkan alokasi anggaran riset di APBN. “Banyak sekali pos-pos anggaran lainnya di APBN. Pertanyannya, apakah riset lebih penting dari pembangunan infrastuktur di Papua atau pengentasan kemiskinan? Tentu tidak. Riset selama ini lebih dianggap sebagai hal mewah. Maka, dalam hal ini, skema paling tepat adalah insentif pajak. Jika itu dilakukan, secara tidak langsung maka akan ikut mendorong industri manufaktur di Tanah Air,” paparnya menjelaskan.
Untuk itu, Bappenas sangat mendukung rencana peningkatan insentif pajak, yaitu hingga 300 persen, bagi industri-industri di Tanah Air yang mengembangkan risetnya sendiri. Saat ini, insentif komersialisasi hasil riset dan pengembangan di Tanah Air hanya 100 persen. Sebagai perbandingan, negara seperti Thailand menerapkan insentif sebesar 200 persen, lalu Singapura 400 persen.
Sementara itu, dalam deklarasi yang dirumuskan seusai seminar itu, ARK Indonesia meminta pemerintah untuk membuka akses dana APBN/APBD bagi lembaga-lembaga non-pemerintah yang mengembangkan riset-riset di bidang sosial. ARK juga berharap bahwa lembaga-lembaga pemerintah dapat mempermudah akses terhadap data dan informasi guna mempermudah proses penelitian yang dibuat.