Jumlah wajib pajak yang melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) di tahun 2019 meningkat dibanding tahun sebelumnya. ini berhubungan dengan inisiatif Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengirimkan surat elektronik pemberitahuan kepada wajib pajak pada 1-5 Maret 2019.
“Pengiriman surel tersebut menggeser puncak pelaporan SPT Tahunan menjadi 13 Maret, delapan belas hari lebih awal dari sebelumnya” kata Pelaksana Seksi Mitigasi dan Evaluasi Risiko Direktorat Jenderal Pajak Gitarani Prastuti di KSI XChange 17 bertajuk “Intervensi Berbasis Perilaku dalam Pengambilan Kebijakan: Praktik Baik Direktorat Jenderal Pajak dan BPJS Ketenagakerjaan”, Rabu, 5 Februari 2020.
DJP mengambil inisiatif pengiriman surel kepada wajib pajak ini setelah melakukan riset dengan pendekatan perilaku. Sebelumnya, para wajib pajak banyak yang melaporkan SPT Tahunan pada tanggal 31 Maret, yakni hari terakhir menjelang tenggat waktu. Perilaku mengisi SPT menjelang tenggat waktu sering dilakukan dengan terburu-buru sehingga wajib pajak sering tak sempat memahami regulasi pajak yang baru. Akibatnya, sistem pelaporan kerap mengalami kelebihan muatan, membuat frustrasi wajib pajak yang tidak dapat mengaksesnya, yang tentunya menyurutkan minat pelaporan pajak.
Melihat adanya perilaku wajib pajak seperti ini, DJP melakukan sebuah riset untuk mengkaji apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi persoalan tersebut menggunakan pendekatan perilaku (behavioural insight) sebagai basis kajian. Mengacu pada kajian yang dilakukan The Behavioural Insights Team (UK), para wajib pajak dibagi menjadi tujuh kelompok dengan jumlah dan karakter wajib pajak yang sama. Masing-masing kelompok kemudian diberikan perlakuan berbeda, yakni: Kelompok pertama tanpa intervensi; kelompok kedua mendapatkan surel dengan pemberitahuan standar; kelompok ketiga mendapatkan surel berisi informasi dengan bahasa sederhana; kelompok keempat mendapatkan surel berisi informasi tentang manfaat pajak bagi publik; kelompok kelima mendapatkan surel berisi petunjuk pengisian SPT Tahunan; kelompok keenam menerima surel berisi perencanaan jadwal pelaporan SPT Tahunan bagi wajib pajak beserta kesempatan mengatur pengingat otomatis; kelompok terakhir mendapatkan surel yang menggabungkan intervensi kelompok 5 dan kelompok 6.
Hasilnya, kata Gita, kelompok ketujuh paling banyak melaporkan SPT Tahunan. Cara terakhir inilah yang diinisiasi menjadi kebijakan publik.
“Analisis fakta dan bukti yang dilakukan melalui behavioural insight, membantu DJP dalam menyusun dan mengkaji kebijakan yang diambil,” kata Kepala Seksi Kepatuhan Wajib Pajak Sektor Industri, DJP Adityawarman.
Riset dengan pendekatan perilaku juga dilakukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan untuk menyusun kebijakan. Asisten Deputi Bidang Riset dan Pengembangan Jaminan Sosial BPJS Ketenagakerjaan Sartika Kooshanafiah mengatakan riset diperlukan untuk meningkatkan pembayaran iuran BPJS Ketenagakerjaan yang tepat waktu oleh perusahaan dan menghindari tunggakan.
“Karena saya percaya perilaku manusia bisa diubah dengan pendekatan-pendekatan tertentu,” kata Tika.
BPJS Ketenagakerjaan melakukan eksperimen perilaku terhadap lima kelompok. Kelompok pertama tidak menerima surel pemberitahuan. Kelompok kedua mendapatkan surel bahwa mayoritas perusahaan membayar tepat waktu. Kelompok ketiga mendapatkan surel yang berisi risiko hukum bila tak membayar tepat waktu. Kelompok keempat mendapatkan surel berisi risiko karyawan bila perusahaan tidak membayar tepat waktu. Kelompok terakhir mendapatkan surel mengenai perencanaan pembayaran.
Hasilnya menunjukkan bahwa perusahaan yang mendapatkan surat elektronik berisi risiko hukum paling tinggi tingkat kepatuhan pembayarannya dibanding yang lain.
Tika mengatakan ada lima aspek yang mesti diperhatikan saat menggunakan riset berbasis perilaku ini, yaitu Target, Explore, Solve, Trial, dan Scale (TESTS).
Target adalah perubahan perilaku yang diinginkan dari kebijakan tersebut. Explore artinya mendalami konteks dan hambatan untuk terjadinya perubahan perilaku. Solve adalah jenis intervensi, termasuk efisiensi dan efektivitas biaya. Trial ialah pengujian intervensi dan pengukuran hasil yang dapat dilihat sebelum dan setelah intervensi. Scale berarti meningkatkan jangkauan intervensi. Ketika sudah siap masuk ke tahap scale, penting untuk selalu memerhatikan anggaran yang ada dan target yang diinginkan saat menentukan intervensi terbaik untuk mengubah perilaku.
“Ada yang intervensinya nendang tapi anggarannya besar. Ada yang anggarannya nol tapi nendangnya sedikit. Terbaik adalah anggarannya kecil tapi nendangnya besar,” kata Tika.
Menanggapi praktik baik yang dilakukan oleh DJP dan BPJS Ketenagakerjaan, Direktur Perencanaan Kependudukan dan Perlindungan Sosial Bappenas Muhammad Cholifihani mengatakan ini merupakan masukan yang baik untuk kebijakan berbasis riset. Perubahan perilaku yang merupakan hasil intervensi kebijakan kemudian dievaluasi dan diteliti kembali untuk menyusun rencana selanjutnya.
“Perencanaan berbasis perilaku itu bisa menjadi siklus untuk menghasilkan sebuah kebijakan yang sesuai dengan kondisi publik,” kata Lifi.
Peningkatan kualitas kebijakan publik melalui pendekatan perilaku juga memiliki tantangan seperti keterbatasan waktu, kepercayaan untuk melakukan studi serta pendanaan. Namun, para narasumber dari DJP dan BPJS Ketenagakerjaan memberikan dorongan untuk melakukan pendekatan ini karena terbukti efektif meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Knowledge Sector Initiative (KSI) hadir bersama Pemerintah Australia untuk melakukan diskusi terbuka seperti ini dalam rangka mendukung Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kualitas kebijakan melalui bukti riset dan praktik baik. KSI mendorong pertukaran pengalaman dan praktik baik oleh para aktor pengetahuan dan pembangunan untuk inovasi pelayanan publik. Hasilnya diharapkan mampu memperkaya alternatif pembuatan kebijakan dan meningkatkan efektivitas keluaran.**