Membangun Ekosistem Penelitian dan Inovasi di Indonesia

Supaya tetap kompetitif dalam ekonomi global yang berbasis pengetahuan, Indonesia harus terus berinvestasi pada penelitian, serta mengatasi sejumlah hambatan yang menyurutkan kualitas penelitian. Penelitian dan pengembangan (litbang) berkontribusi pada inovasi dan ketersediaan sumber daya manusia yang dibutuhkan suatu negara agar tanggap terhadap perubahan dan kebutuhan pasar. Tanpa tenaga kerja yang terampil, Indonesia mungkin tidak dapat menghindari middle-income trap dan tidak memperoleh manfaat dari revolusi industri keempat.

Membangun Ekosistem Penelitian dan Inovasi di Indonesia

Opini Editorial

Membangun Ekosistem Penelitian dan Inovasi di Indonesia

Willi Toisuta

 

Artikel dimuat di Harian Kompas (Opini Desk), 28 Januari 2019

Supaya tetap kompetitif dalam ekonomi global yang berbasis pengetahuan, Indonesia harus terus berinvestasi pada penelitian, serta mengatasi sejumlah hambatan yang menyurutkan kualitas penelitian. Penelitian dan pengembangan (litbang) berkontribusi pada inovasi dan ketersediaan sumber daya manusia yang dibutuhkan suatu negara agar tanggap terhadap perubahan dan kebutuhan pasar. Tanpa tenaga kerja yang terampil, Indonesia mungkin tidak dapat menghindari middle-income trap dan tidak memperoleh manfaat dari revolusi industri keempat.

Pemerintah memang mengakui pentingnya agenda litbang yang kuat, unggul, dan ilmiah. Baru-baru ini pemerintah  mengesahkan Rencana Induk Riset Nasional melalui Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2018, dan sedang menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Namun litbang di Indonesia masih minim dana, sumber daya, dan produktivitas. Pendanaan hanya 0,25 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Bandingkan dengan dana riset di sebagian negara berkembang yang mencapai 1-2 persen PDB. Bahkan negara-negara di Asia Timur mengalokasikan lebih dari 3 persen.

Pada tingkat individu, permasalahan ada pada kualitas penelitian yang rendah dan bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga, jumlah publikasi yang melalui peer review internasional masih minim. Menurut Times World University Ranking tahun 2019 yang baru saja diumumkan, tidak ada perguruan tinggi Indonesia yang masuk dalam peringkat 500 teratas dunia untuk penelitian. Hanya Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung yang masuk dalam 1.000 teratas. Dilihat dari tingkat pendidikan, kurang dari 25 persen peneliti pemerintah memiliki gelar S2 atau S3. Persoalan lain, dana litbang dibagikan kepada lebih dari 80 lembaga, tanpa fokus strategis dan koordinasi yang memadai. Kinerja Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) kementerian mendapatkan tantangan karena rendahnya kualifikasi dan keahlian penelitinya, remunerasi, serta sikap profesional mereka. Kita melihat tak banyak produk, paten, dan inovasi baru yang dihasilkan oleh Balitbang.

Akibatnya, inovasi dan komersialisasi menjadi terhambat. Presiden Jokowi pernah berujar di dalam sidang kabinet paripurna, “Apa hasilnya anggaran Rp 24,9 triliun [untuk Balitbang]? Saya tanya.” (Berita Media Kemenristekdikti 10 April 2018, “Presiden Pertanyakan Kinerja Balitbang”). Pertanyaan berikutnya adalah apakah Balitbang memang memiliki masa depan atau sebaiknya dibubarkan saja? (Kompas.com, 10 April 2018). Baru-baru ini, Presiden juga mengeluh tentang kurang responsifnya universitas dalam menjawab berbagai tantangan masa kini melalui penelitian inovatif (Kompas, 2 November 2018, halaman 5). Bahkan, data yang menjadi bahan penyusunan kebijakan pemerintah selama bertahun-tahun sering kali diperoleh berkat bantuan donor asing.

Masalah utama adalah dicampuradukkannya tiga fungsi utama sektor pengetahuan dan inovasi yaitu penelitian, inovasi dan bukti untuk pembuatan kebijakan Di Indonesia, 80 persen dana litbang pemerintah masuk ke Balitbang Kementerian yang ditugaskan untuk melakukan ketiga fungsi di atas, tetapi seperti pengamatan Presiden Jokowi di atas, hasilnya belum dianggap efektif. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa pelbagai fungsi sektor pengetahuan tersebut akan optimal hasilnya jika masing-masing dijalankan oleh lembaga tersendiri.

Fungsi pertama, yakni penelitian atau penciptaan pengetahuan baru, terdiri dari penelitian dasar dan penelitian terapan. Penelitian dasar adalah eksperimen atau karya teoretis untuk memperoleh pengetahuan baru yang mendasari fenomena dan fakta yang teramati, tanpa mempertimbangkan penerapan atau penggunaannya. Penelitian terapan juga merupakan riset orisinal untuk memperoleh pengetahuan baru, tetapi diarahkan untuk tujuan atau sasaran yang spesifik dan praktis. Kedua jenis penelitian ini paling tepat dilakukan di universitas dan lembaga penelitian, bukan di kementerian. Penelitian harus memiliki ruang lingkup yang eksploratif, fleksibel, dan inovatif—yang saat ini bertentangan dengan prinsip-prinsip bagaimana dana kementerian digunakan dan dilaporkan. Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menyimpulkan bahwa dana publik akan menghasilkan dampak yang lebih besar jika disalurkan ke perguruan tinggi daripada ke lembaga Balitbang pemerintah.

Fungsi kedua adalah ekosistem inovasi yang dinamis, di mana organisasi maupun individu dapat berkolaborasi untuk menumbuhkan ide. Ekosistem yang baik memungkinkan tumbuhnya perusahaan yang dinamis dan industri yang kompetitif, dan memberikan dampak positif bagi masyarakat dan ekonomi. Hal ini dapat dicapai melalui kemitraan antara perguruan tinggi, inkubator, dan sektor swasta—untuk mendanai komersialisasi dan hilirisasi inovasi.

Fungsi ketiga adalah produksi pengetahuan yang relevan dengan kebijakan. Agar pembuat kebijakan tidak hanya berpikir jangka pendek dan supaya menghasilkan kebijakan yang konsisten, mereka membutuhkan dukungan riset dan data yang kuat. Sebagai negara demokratis, ada tekanan publik pada pemerintah Indonesia untuk menunjukkan efektivitas belanja pemerintah dan dampak kebijakan. Tanpa data, bukti dan penelitian, ketidakpuasan publik dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah akan meningkat dan dapat melemahkan legitimasi pemerintah. Maka, analisis kebijakan sangat dibutuhkan di unit-unit pemerintahan agar dekat dengan pembuat kebijakan. Analisis tersebut bersandar pada pengetahuan para birokrat (yang bisa bersifat ilmiah atau berdasarkan opini publik) untuk mendukung penerapan knowledge-to-policy.

Unit kebijakan kementerian harus mampu memberikan nasihat kebijakan yang tepat waktu bagi pengambil keputusan. Fokus unit-unit ini adalah untuk menerjemahkan temuan ilmiah ke dalam saran kebijakan dan memberikan saran yang berkualitas dan tepat waktu mengenai isu-isu kebijakan yang relevan. Tidak seperti penelitian dasar yang berfokus pada penciptaan pengetahuan baru, unit kebijakan pada kementerian akan memberikan just-in-time solusi atas masalah nyata pembangunan dan memberikan rekomendasi kepada pembuat kebijakan. Posisi analis kebijakan di pemerintah yang diperkenalkan pada 2013, menjembatani kesenjangan antara peneliti dan pembuat kebijakan. Agar lebih efektif, Balitbang pada kementerian harus berfokus pada analisis dan rekomendasi kebijakan. Dalam hal ini, Badan Kebijakan Fiskal di Kementerian Keuangan dapat menjadi contoh yang positif.

Ketiga fungsi di atas mensyaratkan tiga jenis institusi berbeda yang bertanggung jawab pada fungsi utamanya. Ada juga beberapa kendala sumber daya manusia dan administratif yang perlu ditangani dengan solusi yang komprehensif. Setelah bertahun-tahun, banyak peneliti pemerintah di Balitbang yang kemudian berubah menjadi lebih seperti birokrat. Persyaratan pelaporan pemerintah juga dinilai memberatkan, sedangkan dana penelitian sering tidak cukup untuk menggaji staff administrasi. Hal ini menyebabkan peneliti lebih sering menghabiskan waktu untuk mengelola administrasi daripada berfokus pada penelitian. Sistem penganggaran, pelaporan dan bahkan proses audit yang kaku perlu diubah agar fleksibel dalam menanggapi permintaan dan untuk menyelaraskan dengan karakter penelitian yang sering tidak dapat diukur pada awal riset. Memasukkan “hibah penelitian” sebagai akun khusus dalam sistem penganggaran dan pelaporan pemerintah juga bagian dari reformasi ini.

Jumlah peneliti berkualitas juga perlu diperbanyak. Jalur karier peneliti harus lebih menarik dengan menerapkan sistem kinerja sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, termasuk soal remunerasi berdasarkan kinerja dan promosi berdasarkan prestasi. Strategi nasional diperlukan untuk mengembangkan bakat ilmuwan untuk berpartisipasi dalam ekonomi berbasis pengetahuan (knolwedge-based economy), dan membangun budaya universitas yang menghargai prestasi, kualitas, dan pikiran kritis dalam penelitiannya. Dengan meningkatkan investasi pada penelitian dan pendidikan tinggi, dividen ekonomi dan pembangunan dapat terdongkrak secara signifikan, sehingga daya saing nasional akan meningkat. Penelitian dan pengembangan harus menjadi mesin penggerak inovasi, yang selanjutnya akan mendorong industri, menarik investasi, dan mendorong kolaborasi internasional.

Kurang dinamisnya penelitian dan pengembangan berarti Indonesia berisiko kehilangan manfaat dari penelitian dan penemuan besar dalam ilmu alam dan ilmu sosial. Akuntabilitas kelembagaan dan persaingan harus menjadi pusat reformasi ini. Tidak ada pendekatan "one size fits all". Pelbagai penyesuaian diperlukan. Belajar dari pengalaman internasional, pemerintah harus mengurangi kontrol atas sektor penelitian, dan mendorong otonomi, inovasi, dan kolaborasi. Pemangku kepentingan di seluruh lembaga (baik pemerintah, akademisi, serta sektor swasta) dan sektor industri harus menjadi bagian dari strategi ini.

Manusia adalah sumber dan pendorong inovasi. Memperjelas peran pelbagai lembaga sektor pengetahuan di Indonesia adalah langkah pertama. Ihwal ini, Balitbang sebaiknya ditransformasi menjadi unit kebijakan di masing-masing kementerian dan diisi dengan jabatan fungsional Analis Kebijakan. Sedangkan fungsi penelitian diserahkan kepada perguruan tinggi dan lembaga riset seperti Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia (LIPI) dan Badan Penelitian dan Pengkajian Teknologi (BPPT).

  • Bagikan: