Urgensi Ekosistem Pengetahuan dan Inovasi

Artikel opini yang ditulis oleh Penasihat Centre for Innovation Policy & Governance (CIPG), Yanuar Nugroho. Artikel ini menyoroti fondasi visi Indonesia 2015 yang rapuh dimana pengetahuan tak sungguh terintegrasi dalam kebijakan. Maka, membangun ekosistem pengetahuan dan inovasi tak bisa lagi ditunda

Urgensi Ekosistem Pengetahuan dan Inovasi

Artikel ini telah tayang di Laporan Khusus Majalah Tempo, 8 Agustus 2020

Indonesia mencanangkan visi: Menjadi negeri adil-makmur dan duduk sebagai salah satu pemimpin dunia di 2045. Kerja keras dilakukan nyaris tanpa henti lima tahun terakhir untuk mewujudkannya. Namun pandemi COVID19 menerpa. Lebih dari 113 ribu orang dinyatakan positif dan lebih dari 5 ribu meninggal, pertumbuhan ekonomi anjlok minus 3,68 persen, pengangguran dan kemiskinan melejit, dan resesi menerpa. Wabah ini meluluh-lantakkan berbagai capaian pembangunan.

Tapi ia juga membuka kenyataan. Pondasi visi Indonesia 2045 rupanya rapuh: pengetahuan tak sungguh terintegrasi dalam kebijakan. Mungkin mau hati-hati, tapi yang terlihat adalah kegagapan menyikapi pandemi ini. Kebijakan dituduh tidak berdasar bukti, sementara komunikasi dan data tidak transparan ditambah eksekusi setengah hati di lapangan. Kabar bohong pun merebak menyingkirkan akal sehat. Antara masa bodoh atau frustrasi, publik makin tak peduli saat pemerintah berusaha menyeimbangkan ‘rem dan gas’ kesehatan dan ekonomi.

Akibatnya, di sini pandemi tak terkendali dan kasus positif terus mendaki. Sementara di luar sana, banyak yang mulai berbenah, meski vaksin belum tersedia. Travel bubble dirancang antar mereka yang bisa mengendalikan wabah untuk mobilitas warganya. Perdagangan barang dan jasa juga kembali berjalan pelan-pelan. Tapi negeri kita tak termasuk di dalamnya. Mereka tak percaya cara kita menangani pandemi. Khawatir tertular lagi. Akibatnya, investasi macet, ekspor-impor terhambat, ekonomi yang sudah terpuruk kian melambat.

Jadi, kalau kita tak segera berbenah diri memperkuat pondasi, visi 2045 itu bisa jadi tinggal mimpi.

Pondasi itu adalah ekosistem pengetahuan. Indonesia 2045, dengan hasrat menjadi ekonomi terbesar keempat atau kelima di muka bumi, adalah negeri dengan ekonomi berbasis pengetahuan dan inovasi. Saat itu, tak bisa lagi semata mengandalkan jual-beli komoditas ataupun relokasi industri padat karya dan alas-kaki. Namun, hingga kini kita belum juga serius menyiapkan ekosistem pengetahuan dan inovasi yang sebenarnya kunci dalam kebijakan dan pembangunan.

Mengintegrasikan pengetahuan dalam kebijakan

Pengetahuan mestinya terintegrasi dalam setiap kebijakan dan rencana pembangunan. Namun, ia belum terjadi. Akibatnya, seringkali apa yang ingin dicapai (intended results) dalam sebuah kebijakan tidak memperhitungkan konsekuensi yang tidak diniatkan (unintended consequences). Konsekuensi ini sering tidak teridentifikasi, terantisipasi, apalagi termitigasi. Misalnya infrastruktur untuk mendongkrak ekonomi. Tol Trans-Jawa yang dibangun 2015-2018 mempersingkat perjalanan barang dan orang, meningkatkan kinerja logistik, dan akhirnya pertumbuhan ekonomi di Jawa. Namun, ternyata tol tersebut tanpa dimaksudkan (unintentionally) sempat melumpuhkan ekonomi rakyat di Pantai Utara Jawa. Para penjual bawang merah dan telur asin di sepanjang jalur Pantura di Brebes kehilangan pembeli. Baru setelah situasi ini diketahui, sebagian dari mereka diwadahi di rest area.

Banyak contoh serupa. Mulai dari protes pembangunan pabrik Semen Indonesia di Kendeng yang berlarut-larut hingga memakan korban, pembangunan infrastruktur bandara-pelabuhan yang diwarnai konflik dengan warga sekitar, hingga penolakan aktivis lingkungan, HAM dan perburuhan atas RUU Sapu-jagad ‘Omnibus Law’ Cipta Kerja. Semua kebijakan dan pembangunan ini memang diniatkan untuk mendorong kinerja ekonomi. Tetapi entah sadar atau tidak, punya dampak serius di bidang sosial, budaya, dan ekologi yang mesti diantisipasi.

Ini semua terjadi karena kebijakan atau rencana pembangunan tidak memikirkan aspek non-teknis dan non-ekonomis yang bisa menjadi unintended consequences tersebut. Kebijakan mestinya disusun berdasarkan pengetahuan dan bukti. Namun itu tidak selalu terjadi. Hubungan keduanya seringkali non sequitur (tidak terkait): pengetahuan lahir dalam momen intelektual (riset, refleksi), sedangkan kebijakan dibuat dan diputuskan dalam momen politis (negosiasi, lobi politik).

Implikasinya serius: pengetahuan harus dipastikan dan secara sengaja digunakan dalam penyusunan kebijakan atau perencanaan pembangunan. Ini prasyarat kemajuan. Bagaimana caranya? Membangun ekosistem pengetahuan dan inovasi.

Ekosistem Pengetahuan dan Inovasi

Negara berkembang seperti Indonesia akan masuk dalam ‘jebakan pendapatan menengah’ (middle-income trap) kecuali beralih dari ekonomi yang didorong akumulasi pertumbuhan sumber daya menjadi ekonomi yang didorong pengetahuan, produktivitas dan inovasi. Tapi di Indonesia hal ini masih lemah. Indeks pengetahuan dan inovasi kita tertinggal dari anggota ASEAN lainnya (INSEAD, 2019; WB, 2019); sektor pengetahuan dan inovasi juga kurang mendapat perhatian baik secara praktis, maupun konseptual dan kebijakan – yang tercermin dari tidak berfungsinya, atau malah tiadanya, ekosistemnya.

Ekosistem pengetahuan ini terdiri dari aktor dan elemen. Ada setidaknya empat aktor (Hertz et al., 2020): (i) produsen pengetahuan, yakni biasanya perguruan tinggi, lembaga penelitian/think tank pemerintah maupun non pemerintah; (ii)  pengguna yang memanfaatkan pengetahuan, seperti pemerintah yang membuat dan mengimplementasikan aturan/regulasi, dan kebijakan; (iii) pemungkin (enablers) misalnya pemerintah sebagai perancang regulasi, atau lembaga donor/pendanaan, dan filantropi; dan terakhir (iv) perantara (intermediaries) yang menjembatani dan mengadvokasi pentingnya pengetahuan seperti media dan organisasi masyarakat sipil.

Sedangkan elemennya setidaknya ada lima (Nugroho, 2020). Pertama, kerangka regulasi agar seluruh aktor dalam ekosistem pengetahuan bisa bergerak dan bekerja. UU No. 11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sinas Iptek) adalah kebijakan kunci (game-changing policy) karena menegaskan pentingnya kedudukan dan peran pengetahuan sebagai pondasi penetapan kebijakan dan perencanaan pembangunan. Namun, perlu peraturan turunan untuk menjalankannya dengan memperhatikan peran Kemenristek/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebagai ‘poros’ riset kebijakan dan ‘wasit’ dalam penyusunan kebijakan.

Kedua, kerangka kelembagaan untuk mengatur peran, kewajiban, tanggung jawab, dan kaitan aktor-aktor dengan tujuan integrasi pengetahuan dalam kebijakan. Badan litbang Kementerian/Lembaga harus memastikan kebijakan dihasilkan berdasar bukti, dalam koordinasi dengan Kemenristek/BRIN dan Bappenas yang arsitekturnya ditata Kementerian PAN-RB. Partisipasi swasta/industri harus didorong. Peran, tanggung jawab, dan jejaring media dan masyarakat sipil harus jelas dalam mendorong penggunaan pengetahuan dalam kebijakan pembangunan dan keputusan publik.

Ketiga, tata-kelola dan mekanisme akuntabilitas untuk mengelola sumber daya serta jejaring secara terbuka dan transparan untuk memastikan pengetahuan yang dihasilkan bisa dipertanggungjawabkan sebagai basis dan rujukan pembuatan kebijakan. Secara khusus, misalnya mekanisme kompetisi untuk pendanaan harus memastikan adanya check and balances mengapa riset atau inovasi tertentu mendapat pendanaan sementara yang lain tidak. Demikian pula akuntabilitas dalam mendorong komersialisasi dan hilirisasi hasil-hasil riset, termasuk kanal publikasi dengan mekanisme peer-review yang kredibel.

Keempat, mekanisme insentif dan pendanaan agar seluruh aktor bisa bergerak secara mandiri, berkolaborasi, dan berkesinambungan. Alokasi pendanaan perlu dijamin, baik bagi perguruan tinggi maupun lembaga penelitian (Rakhmani & Siregar, 2016). Skema Dana Abadi atau Dana Perwalian bisa menjadi opsi. Ini bukan hanya soal jumlah, tetapi juga pengelolaan yang berbeda dari pengelolaan keuangan negara tahunan, dan birokrasi yang harus sederhana (Brodjonegoro & Greene, 2012). Mekanisme ini penting untuk menjembatani ‘jurang kematian’ antara invensi dan komersialisasi inovasi. Selain itu, untuk menumbuhkan inisiatif mobilisasi sumber daya baik lokal (misalnya melalui pemotongan pajak) ataupun internasional (kolaborasi).

Terakhir, pengembangan aset terbesar ekosistem pengetahuan: manusia. Jenjang karir, skema remunerasi dan apresiasi peneliti dan dosen perlu ditata ulang. Tri Dharma Perguruan Tinggi, sistem kredit (kum) perlu ditinjau ulang kesesuaiannya untuk mendorong kinerja mereka (Nugroho, Prasetiamartati, & Ruhanawati, 2016). Kapasitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dan kelembagaan pemerintah mesti ditingkatkan agar birokrasi memahami mengapa pengetahuan wajib menjadi dasar tiap kebijakan, dan mengapa seluruh dampaknya harus diantisipasi.  

Kelima komponen dalam ekosistem pengetahuan dan inovasi ini menghasilkan setidaknya tiga hal. Satu, meningkatnya kapasitas akses dan penggunaan pengetahuan oleh individu, komunitas, dan pembuat kebijakan untuk membangun masyarakat yang memiliki perangai ilmiah (scientific temper) (Nehru, 1946). Kebijakan makin komprehensif dan antisipatif karena pengetahuan terintegrasi dalam proses pembuatannya. Dua, hilirisasi hasil-hasil riset dan inovasi agar bisa dipasarkan atau digunakan demi manfaat ekonomi/sosial, dan mendongkrak kemajuan, daya saing bangsa dan kualitas hidup manusia. Dan tiga, meningkatkan kapasitas negara (state capacity). Yaitu kemampuan negara untuk membangun mulai dari penyusunan regulasi, perencanaan, implementasi, hingga pengawasan. Ini tercermin dari kapasitas kelembagaan (institutional capacity) dan sumber daya ASN-nya (civil service capacity) yang kinerjanya terlihat dari efisiensi dan efektivitas proses dan tata kelola pemerintahannya.

Akhirnya

Meski mendera kita, pandemi ini membuka mata: membangun ekosistem pengetahuan dan inovasi tak bisa lagi ditunda. Ini kerja keras dan sistematik dari hulu ke hilir, lintas aktor dan sektor. Meski bukan jaminan, komitmen politik Presiden Jokowi amat dibutuhkan. Bukan sekedar untuk menjadi menjadi warisan atau kenangan, tetapi kunci keberhasilan membangun ekosistem ini. Kita mesti memastikan Indonesia tetap tegak berdiri meraih mimpi di usia 100 tahun nanti.

  • Bagikan: