Artikel telah tayang di Katadata.co.id pada 19 Juni 2020
Penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia menimbulkan polemik. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah tak jarang menuai kritik dari para peneliti. Penanggulangan pandemi yang menghantam berbagai sendi kehidupan masyarakat dinilai belum melibatkan dunia penelitian secara utuh. Apalagi dalam kesiapan menghadapi fase kenormalan baru (new normal). Fase di mana semua komponen masyarakat dan pemerintah harus beradaptasi dengan pandemi yang masih berlangsung. Tujuannya agar ekonomi tetap berputar di mana berbagai kegiatan memperhatian protokol kesehatan.
Meskipun Presiden Joko Widodo mengingatkan perlunya pengawasan yang ketat dan bertahap dalam implementasinya, pertimbangan dalam penerapan tatanan normal baru masih dipertanyakan. Sebab, menurut anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) Yanuar Nugroho, pemerintah masih perlu menyelesaikan beberapa hal penting yang menjadi persoalan hingga kini. Persoalan itu antara lain jumlah tes yang harus diperbanyak dan peningkatan fasilitas kesehatan di daerah. Selain itu, ia menambahkan, pemerintah perlu mengukur isu kesenjangan risiko. Menurutnya, setiap orang atau keluarga menghadapi risiko dan memerlukan penyelesaian masalah yang berbeda-beda.
“Apakah riset dan inovasi multidisiplin sudah menjadi pertimbangan untuk melihat efektivitas atau ketepatan penerapan new normal? Belum. Harusnya mereka call for research dan berinovasi untuk new normal ini,” ujar Yanuar dalam sebuah wawancara daring, Selasa (9/6).
Penasihat pada Centre for Innovation Policy & Governance (CIPG) ini menjelaskan, pandemi Covid-19 yang bersifat multidimensi dapat diselesaikan. Caranya, pemerintah turut andil mengintegrasikan riset sosial humaniora (soshum) dengan sains dan teknologi (saintek).
Perbaikan Ekosistem Riset dan Inovasi
Kepala Bagian Pemantauan dan Evaluasi Program dan Anggaran Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Yudho Baskoro melihat, pandemi ini dapat menjadi momentum penguatan kolaborasi riset dan inovasi di Tanah Air. Saat ini telah terbentuk Tim Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 yang merupakan hasil kolaborasi Kemenristek dengan berbagai pihak.
“Ikatan jejaring yang ada di konsorsium riset itu sudah ada, Covid-19 ini memperkuat kolaborasinya,” katanya. Yudho tidak menampik jika dalam praktiknya riset saintek dan soshum kerap berjalan masing-masing. Sedangkan kolaborasi yang terjadi masih berdasarkan program riset, bukan sebagai satu tata kelola. Oleh karenanya, diperlukan ekosistem riset dan inovasi yang terintegrasi dan berkelanjutan.
Selain ekosistem riset dan inovasi, Yanuar mengingatkan, diperlukan ekosistem pengetahuan yang akan mendorong manajemen pengetahuan. Dengan begitu komponen-komponen di dalamnya saling berintegrasi dan menghasilkan sistem yang berkelanjutan. Catatannya, ada lima komponen yang harus bersinergi. Antara lain kerangka regulasi yang tepat, insentif atau pendanaan yang menunjang integrasi ilmu, institusi pendukung, akuntabilitas pemerintahan, dan pengembangan sumber daya manusia (SDM).
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek) menjadi momentum penting untuk menata kembali kerangka dan perencanaan riset di Indonesia. “Riset berada dalam satu komando, yaitu satu agenda dan satu strategi,” kata Yanuar. Strategi tersebut dapat mengarahkan sumber daya, tata kelola, dan pendanaan riset sesuai prioritas jangka panjang negara (programmatic). Namun, tak menutup kemungkinan membuka kebebasan untuk melakukan riset di luar prioritas nasional (blue sky).
“Kita perlu tahu, 20 atau 50 tahun ke depan kita mau menjadi apa dan menghasilkan apa. Lalu kita tuang itu ke agenda riset kita,” ujarnya.
Mendorong Peran BRIN
Menurut Yudho, saat ini BRIN sedang merancang strategi untuk integrasi keilmuan dan riset berkelanjutan. Gagasan ekosistem riset dan inovasi disusun dalam rancangan peraturan pemerintah (RPP) sebagai turunan dari UU Sisnas Iptek.
Berdasarkan UU Sisnas Iptek, BRIN memiliki empat model bisnis. Pertama, merancang arah kemajuan iptek dalam pembangunan nasional. Kedua, memperkuat penguasaan iptek melalui penelitian dan pengembangan. Ketiga, pendorong pengkajian dan penerapan iptek untuk invensi dan inovasi. Keempat, menjamin pemanfaatan produk inovasi dan invensi (soshum dan saintek) untuk kebutuhan nasional. Keempat model bisnis tersebut perlu mengarusutamakan integrasi, kontinuitas, dan inovasi terbuka (open innovation). Inovasi tersebut merupakan kolaborasi antar institusi dan bidang keilmuan yaitu saintek dan soshum.
Adapun untuk mendorong ekosistem riset dan inovasi yang terintegrasi dan berkelanjutan, Yudho menjelaskan, BRIN akan menjaga interaksi empat komponen. Antara lain producer sebagai penghasil riset dan inovasi, dan intermediaries sebagai aktor yang menjembatani hasil riset agar dapat diterapkan. Selain itu, enablers sebagai aktor penguat sistem dan jejaring yang membuat ekosistem berkelanjutan, serta users sebagai pengguna hasil riset dan inovasi. Ekosistem tersebut akan didukung oleh tiga peraturan yakni RPP Penyelenggaraan Iptek, RPP Rencana Induk Kemajuan Iptek, dan RPP Sumber Daya Iptek. Aturan turunan ini sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan direncanakan selesai pada 2024.
Menurut Yanuar, dengan adanya BRIN, balitbang di kementerian-kementerian akan semakin fokus pada tujuan utamanya di bawah koordinasi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Sedangkan BRIN akan melakukan riset dasar dan terapan untuk tiap sektor dengan melakukan kolaborasi lintas bidang. Perbaikan ekosistem riset dan inovasi diharapkan mampu mendorong daya saing Indonesia. Pasalnya, dalam Indeks Daya Saing Global 2019 yang dikeluarkan World Economic Forum (WEF), peringkat Indonesia tertinggal dibandingkan dengan negara tetangga. Terutama dalam ranah kapabilitas inovasi yang menyoroti kolaborasi lintas pemangku kepentingan serta besarnya pengeluaran riset dan pengembangan terhadap produksi domestik bruto (PDB).
Peringkat indikator kolaborasi lintas pemangku kepentingan Indonesia di posisi 28 dari 141 negara. Sedangkan Malaysia peringkat 9 dan Singapura peringkat 11. Adapun terkait indikator besaran anggaran riset terhadap PDB, Indonesia menduduki peringkat 116. Sedangkan Malaysia di urutan 24 dan Singapura urutan 14.