Pandemi dan Kepercayaan Inovasi Bangsa Sendiri

Co-Founder & Advisor Center for Innovation Policy and Governance (CIPG), Irsan A Pawennei in an article highlighted various initiatives that have emerged in various countries to deal with the Covid-19 pandemic.

Pandemi dan Kepercayaan Inovasi Bangsa Sendiri

(Only available in Bahasa Indonesia) 

Artikel ini telah tayang di Kompas.id, 3 Mei 2020

Penerapan langkah strategis dengan memperhatikan dukungan kebijakan yang tepat bisa menempatkan para inovator di garda terdepan dalam mendukung ketersediaan berbagai produk inovasi yang bermanfaat bagi masyarakat.

Pemberitaan selama satu bulan terakhir didominasi kegelisahan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Semua negara berusaha menyelamatkan diri masing-masing dengan membatasi masuknya orang dan barang dari luar negeri. Kemandirian tiap bangsa untuk dapat bertahan dan berinovasi diuji dalam kondisi ini.

Sejarah membuktikan bahwa pandemi tidak hanya membawa penderitaan. Kondisi keterbatasan sering kali menuntut akal manusia untuk dapat bekerja lebih keras dan menghasilkan pemikiran inovatif. Ketika pandemi penyakit pes melanda London, Inggris, pada tahun 1665, misalnya, kebijakan bekerja dari rumah juga diberlakukan. Dalam kondisi tersebut, Isaac Newton menemukan teori gravitasi.

Keterbatasan juga mewarnai kondisi saat ini, terutama terkait peralatan kesehatan yang dibutuhkan. Sebagaimana dikutip Kompas (23/3/2020), Presiden Joko Widodo menyampaikan situasi kelangkaan alat pelindung diri (APD) mengingat ada 180 negara yang berebut APD dan masker.

Melihat situasi tersebut, berbagai pihak berpacu dengan waktu dalam berinovasi menghasilkan produk penanggulangan Covid-19. Di Amerika Serikat, dilansir dari CNN (31/3/2020), Ford, perusahaan yang pada tahun 1908 memelopori produksi massal mobil di dunia, kini kembali berinovasi dengan rencana memproduksi 30.000 unit ventilator per bulan untuk pasien Covid-19.

Berbagai inisiatif serupa muncul di Indonesia. Sritex yang mempunyai pabrik garmen terbesar di Asia Tenggara turut memproduksi APD dan masker. Berbagai usaha konfeksi skala kecil dan menengah (UMKM) pun tidak ketinggalan dalam membantu menyediakan APD dan masker. Selain itu, para akademisi dari sejumlah perguruan tinggi ternama, seperti ITB dan UGM, unjuk gigi memperlihatkan kemampuannya mengembangkan ventilator dengan harga terjangkau.

Masyarakat sebagai pengguna pun mengapresiasi positif, tecermin dari membeludaknya permintaan. Padahal, selama ini produk dalam negeri sering kali tidak dipercaya kualitasnya. Kepercayaan masyarakat adalah modal dalam membangun ekosistem riset dan inovasi di Indonesia, yang mendukung terciptanya berbagai inovasi secara berkelanjutan.

Kondisi keterbatasan sering kali menuntut akal manusia untuk dapat bekerja lebih keras dan menghasilkan pemikiran inovatif.

Ekosistem riset dan inovasi

Pemerintah menyadari bahwa riset dan inovasi berperan dalam menanggulangi pandemi Covid-19. Peran itu misalnya terlihat ketika Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengoordinasikan konsorsium Covid-19.

Pada 6 April 2020, Menteri Riset dan Teknologi/Kepala BRIN bersama Kepala Gugus Tugas Covid-19, Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), serta Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menjelaskan berbagai target jangka menengah dan panjang penanganan Covid-19, antara lain pengembangan rapid test kit, ventilator, obat, dan vaksin Covid-19. Namun, konsorsium ini tidak dapat berhenti di fase penciptaan purwarupa produk saja.

Pengujian dan sertifikasi dibutuhkan untuk memastikan keamanan dan fungsinya. Selain itu, kebijakan yang menghambat harus direvisi. Salah satunya, Peraturan Menteri Kesehatan No 62 Tahun 2017 tentang izin edar alat kesehatan yang menetapkan waktu pengurusan izin edar alat kesehatan lebih dari satu bulan.

Ekosistem riset dan inovasi merupakan irisan dari berbagai ekosistem yang ada di Indonesia. Proses menghasilkan inovasi perlu dilakukan secara sistemik, dengan pendekatan multi-perspektif dan multi-pemangku kepentingan. Berbagai langkah strategis perlu dilakukan.

Pertama, penguatan interaksi antaraktor riset dan inovasi. Kunci utama terjadinya inovasi adalah adanya interaksi antaraktor, baik itu pemerintah, industri, perguruan tinggi, lembaga penelitian pengembangan pengkajian dan penerapan (litbangjirap), maupun masyarakat. Setiap aktor mempunyai kompetensi dan pengalaman yang berbeda. Tanpa adanya interaksi, tidak akan ada peralihan pengetahuan yang dibutuhkan untuk berinovasi.

Kemampuan suatu bangsa untuk segera berinovasi di masa genting dimungkinkan karena adanya tabungan pengetahuan (stock of scientific knowledge) yang sudah dibangun dari penelitian-penelitian sebelumnya. Oleh karena itu, untuk menjawab berbagai tantangan ke depan, selain melakukan inovasi, tabungan pengetahuan juga harus selalu ditambah.

Kedua, pelibatan industri dan masyarakat untuk dana riset. Belanja litbang industri yang masih di bawah 10 persen dari total belanja litbang di Indonesia menunjukkan masih rendahnya keterlibatan industri (LIPI, 2016). Pemerintah sudah mengeluarkan PP No 45 Tahun 2019 terkait super-tax deduction. Namun, satu kebijakan fiskal tidak akan mampu memenuhi harapan seperti di Korea Selatan yang dana riset industrinya sudah lebih dari 80 persen.

Industri mengharapkan berbagai stimulus lainnya, seperti pelonggaran proses penerbitan izin hingga pemberian penghargaan. Di sisi lain, fenomena gerakan gotong royong masyarakat melalui crowdfunding pembiayaan inovasi bermunculan. Tentunya ini memberikan secercah harapan terkait adanya dukungan masyarakat dalam pendanaan riset dan inovasi, asalkan manfaatnya dapat dirasakan.

Ketiga, penjaminan kualitas hasil riset dan inovasi. Kendali mutu dibutuhkan dalam memastikan suatu inovasi sudah layak teknis dengan adanya pengujian yang menyeluruh. Oleh karena itu, diperlukan investasi peralatan pengujian yang andal di lembaga litbang pemerintah, perguruan tinggi, ataupun industri dalam menjamin kualitas produk inovasi.

Dalam menjalankan tiga langkah tersebut, dibutuhkan adanya lembaga yang dapat membangun ekosistem riset dan inovasi dengan mengintegrasikan berbagai kegiatan litbangjirap dalam menciptakan invensi dan inovasi. Fungsi ini diharapkan dapat dijalankan oleh BRIN yang merupakan lembaga baru.

BRIN berfungsi membuat perencanaan program dan anggaran iptek, integrasi data dan informasi iptek, serta memberikan arah riset. Namun, harapan tinggi yang digantungkan pada BRIN masih menyisakan masalah berupa status kelembagaan BRIN yang belum mempunyai payung hukum. Perpres No 74 Tahun 2019 yang merupakan perpres masa transisi terkait BRIN sudah berakhir masa berlakunya pada akhir Desember 2019.

BRIN berfungsi membuat perencanaan program dan anggaran iptek, integrasi data dan informasi iptek, serta memberikan arah riset.

 

Selain status kelembagaan yang perlu untuk disahkan secepatnya, sebagaimana tenaga medis yang membutuhkan APD, BRIN pun membutuhkan berbagai aturan hukum dalam mendukung perannya. Dalam hal ini, UU No 11 Tahun 2019 tentang Sisnas Iptek telah mengamanahkan berbagai peraturan pemerintah, antara lain rencana induk pemajuan iptek sebagai dasar arah pengembangan iptek jangka panjang, serta ketentuan wajib serah dan wajib simpan yang dapat mengintegrasikan data dan informasi iptek pula mendukung interaksi antaraktor inovasi.

Penerapan langkah strategis dengan memperhatikan dukungan kebijakan yang tepat bisa menempatkan para inovator di garda terdepan dalam mendukung ketersediaan berbagai produk inovasi yang bermanfaat, baik saat pandemi maupun kondisi normal.

Semoga pandemi Covid-19 tidak hanya menghasilkan berbagai cerita menyedihkan, tetapi menjadi momentum tumbuhnya kepercayaan terhadap inovasi hasil karya anak bangsa.

  • Bagikan: