Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia: Membuka Potensi Nobel Putra-Putri Bangsa Indonesia

Saat perayaan 25 Tahun AIPI (Silver Jubilee) pada 27 Mei 2015, barulah AIPI untuk pertama kalinya mengumumkan secara resmi soft-launching DIPI kepada masyarakat umum bersama-sama dengan Kementerian Keuangan dan Kepala Bappenas. Komitmen pemerintah terhadap lahirnya DIPI ini diperkuat dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman antara AIPI dengan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) pada 7 Agustus 2015.

(Only available in Bahasa Indonesia)

Malaysia, negara tetangga kita memiliki target melahirkan seorang penerima penghargaan Nobel pada 2030. Kapan Indonesia memiliki seorang penerima penghargaan Nobel? Sungguh ini bukan pekerjaan mudah yang dapat diselesaikan dalam waktu semalam. Tapi langkah terobosan dan pembenahan dunia penelitian harus segera dilakukan.

Peran Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)

Siang itu, hembusan hawa dingin dari dua kipas angin kabut tidak terasa terkalahkan oleh teriknya matahari bulan Juli. Meski begitu, setiap undangan terlihat antusias menantikan momen bersejarah diluncurkannya hasil kajian “Creating an Indonesian Science Fund” di Museum Nasional pada 10 Juli 2012. Pimpinan AIPI sengaja memilih Museum Nasional untuk mengabarkan berita tersebut, secara simbolik dimaksudkan agar kepingan-kepingan sejarah tentang kemajuan ilmu pengetahuan Indonesia tersimpan di sana.

Kajian yang dilakukan Profesor Satryo Soemantri Brodjonegoro itu mengungkapkan bahwa sistem pendanaan penelitian yang independen, yang terlepas dari siklus pendanaan negara, adalah sebuah keharusan. “Selain isu siklus pendanaan yang rumit, terdapat permasalahan yang lebih besar, yaitu rendahnya investasi nasional dalam penelitian dan pengembangan,” ujar Wakil Ketua AIPI ini.

Dia melanjutkan, investasi Indonesia secara kotor dalam bidang penelitian dan pengembangan kurang dari 0,1 persen dari produk domestik bruto (PDB), nyaris terlalu rendah. Kehadiran DIPI bagi dunia ilmu pengetahuan Indonesia sangatlah mutlak diperlukan.

Pada 18 Desember 2014, dua tahun setelah kajian tersebut diumumkan, AIPI terus berusaha untuk meyakinkan pemerintah dan secara internal melakukan soft-launching Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia. Acara ini digelar bersama dengan pemerintah melalui Kementerian Keuangan, dan dukungan Kedutaan Besar Amerika Serikat, Kedutaan Besar Australia, Dewan Riset Nasional, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan perwakilan instansi lainnya.

Embrio yang Mencari Bentuk

Saat perayaan 25 Tahun AIPI (Silver Jubilee) pada 27 Mei 2015, barulah AIPI untuk pertama kalinya mengumumkan secara resmi soft-launching DIPI kepada masyarakat umum bersama-sama dengan Kementerian Keuangan dan Kepala Bappenas. Komitmen pemerintah terhadap lahirnya DIPI ini diperkuat dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman antara AIPI dengan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) pada 7 Agustus 2015.

Tiga tahun sudah berjalan. Meski sudah dilakukan dua kali soft launching, Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia masih belum memiliki bentuk. Nama yang tepat masih belum terpikirkan. Komunitas ilmiah Indonesia terus menanti dan mulai bertanya, “Kapan bayi yang sudah benar-benar terbentuk ini akan lahir?”

Tekanan dan rasa cemas mulai dirasakan berbagai kalangan. Sebagai lembaga yang dianggap orang tuanya, AIPI harus menemukan jalan bagaimana bayi DIPI terlahir dengan selamat. Karenanya AIPI memerlukan “bidan” yang handal, berpengalaman, dan mampu memimpin sebuah tim yang solid. Akhirnya dengan dukungan Knowledge Sector Initiative (KSI), AIPI diperkenalkan kepada seorang profesional yang dianggap tepat, yaitu Dr. J. W. Saputro. Dia adalah sosok penting di balik berdirinya lembaga Millennium Challenge Account-Indonesia (MCA-Indonesia), lembaga pengelola hibah.

Pada 13 Oktober 2015, AIPI secara aklamasi sepakat menjadikan Dr. J. W. Saputro sebagai koordinator pembentukan DIPI, dan kemudian ditetapkan sebagai Direktur Eksekutif. Tugas utamanya adalah merumuskan naskah akademik perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) AIPI yang di kemudian hari menjadi landasan hukum pembentukan DIPI.

Mission Impossible, How to Make it Possible

Pada 26 Oktober 2015, pemerintah menjadwalkan kunjungan Presiden RI ke Washington DC. AIPI memanfaatkan momentum ini untuk meyakinkan pihak-pihak terkait di Kementerian Luar Negeri dan Kedutaan Amerika Serikat untuk memasukkan DIPI sebagai salah satu butir kesepakatan dalam Joint Statement antara Presiden Joko Widodo dan Presiden Barrack Obama. Joint Statement ini terbukti ikut membantu usaha AIPI agar Presiden mengesahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) AIPI melalui keputusan presiden.

Akhirnya Sekretariat Negara meminta agar naskah keputusan presiden tersebut diparaf oleh Menteri Keuangan, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Dalam proses awal ini, dukungan negara-negara mitra sebagai donor, antara lain Australia, Amerika Serikat, dan Inggris, baik dalam bentuk finansial, barang maupun sumber daya manusia bagi DIPI sungguh tak ternilai.

Setelah melalui proses panjang, DIPI akhirnya lahir melalui Keputusan Presiden Nomor 9 tentang Pengesahan AD/ART AIPI, yang ditandatangani pada 29 Februari 2016. Lahirnya DIPI akan memperkuat usaha memajukan ilmu pengetahuan di Indonesia, melengkapi keberadaan AIPI sebagai lembaga yang memberikan pertimbangan berbasis ilmu pengetahuan. "Kehadiran DIPI akan mendukung visi AIPI dalam mempromosikan budaya ilmiah unggul di Indonesia, dengan menciptakan komunitas ilmiah dan ekosistem yang mendukung berkembangnya ilmu pengetahuan," ujar Profesor Sangkot Marzuki, Ketua AIPI yang juga pakar bidang biologi molekuler ini.

Tepat satu bulan sejak kelahirannya, pada 30 Maret 2016, Menteri Keuangan Republik Indonesia saat itu, Profesor Bambang P.S. Brodjonegoro akhirnya meresmikan kelahiran DIPI kepada seluruh masyarakat ilmiah Indonesia. Dalam sambutannya, menteri mengemukakan, “(Selama ini) masalahnya, doktor-doktor yang ingin melanjutkan riset kelas dunia di Indonesia menghadapi kenyataan bahwa dana riset terbatas dan skema pendanaan rumit." Karenanya menteri berharap, peresmian DIPI dapat mendorong para lulusan pendidikan tingkat lanjut di universitas ternama luar negeri untuk melanjutkan risetnya di Indonesia.

Epilog

Lahirnya sistem pendanaan yang lebih ideal untuk membangun ekosistem penelitian dan ilmu pengetahuan, menyebabkan tidak ada alasan lagi bagi peneliti Indonesia untuk tidak produktif. Tak butuh waktu lama untuk berbenah, DIPI segera menyelenggarakan DIPI 2016 Research Call for Proposal untuk pertama kalinya telah dibuka pada 15 April 2016 dan ditutup pada 31 Juli 2016 lalu. Ketika naskah ini ditulis proses seleksi dan review proposal masih berlangsung. Kegiatan ini berhasil menjaring 467 proposal penelitian, sesuatu yang menunjukkan betapa antusiasnya para peneliti untuk memanfaatkan dana maksimum hingga sebesar 4.5 miliar per 3 tahun untuk penelitian-penelitian fundamental dan memiliki sifat kebaruan.

Tingginya antusiasme peserta DIPI 2016 Research Call for Proposal disambut baik berbagai instansi di Indonesia. “DIPI akan mendorong peneliti menjadi lebih produktif, termasuk dosen di universitas,” ujar rektor Universitas Indonesia, Profesor Muhammad Anis, saat berdiskusi mengenai program DIPI di kampus UI Depok, 28 Juni 2016.

Karena itu, jika anda putra-putri Indonesia saat ini masih melakukan penelitian di luar negeri, sekaranglah saatnya kembali dan mengabdi di tanah air. Persis seperti pesan yang diungkapkan J.W Saputro, “If you are good and have a good research idea, you should get funded.” Jika kita memiliki kualitas dan produktivitas penelitian yang mumpuni, tak perlu lagi risau dengan masalah keterbatasan dana penelitian. Melalui skema pendanaan DIPI, sekarang saatnya menyongsong perubahan besar dalam dunia ilmu pengetahuan Indonesia.

Nugraha Dian Putra

Asisten Eksekutif Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia

  • Bagikan: