Presidensi Indonesia G20: Transformasi Ekonomi Membutuhkan Penguatan Riset dan Inovasi

Transformasi ekonomi Indonesia, yang merupakan strategi besar untuk pulih dari pandemi Covid-19, membutuhkan riset dan inovasi sebagai kunci untuk menaikkan produktivitas. Pemerintah sebagai regulator dan pengawas berperan penting mendorong peningkatan riset dan inovasi, serta mendorong ekosistem pengetahuan dan inovasi menjadi lebih baik. Namun, masih banyak tantangan lain dalam mewujudkan transformasi ekonomi di Indonesia. Demikian benang merah pidato kunci Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa dalam webinar “Presidensi G-20 Indonesia: Transformasi Ekonomi untuk Penguatan dan Pemulihan Bersama” pada Kamis (24/2/2022).

JAKARTA, 24 Februari 2022 — Transformasi ekonomi Indonesia, yang merupakan strategi besar untuk pulih dari pandemi Covid-19, membutuhkan riset dan inovasi sebagai kunci untuk menaikkan produktivitas. Pemerintah sebagai regulator dan pengawas berperan penting mendorong peningkatan riset dan inovasi, serta mendorong ekosistem pengetahuan dan inovasi menjadi lebih baik. Namun, masih banyak tantangan lain dalam mewujudkan transformasi ekonomi di Indonesia.

Demikian benang merah pidato kunci Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa dalam webinar “Presidensi G-20 Indonesia: Transformasi Ekonomi untuk Penguatan dan Pemulihan Bersama” pada Kamis (24/2/2022). Pidato tersebut dibacakan oleh Deputi Bidang Ekonomi Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti. Webinar ini terselenggara lewat kerja sama Knowledge Sector Initiative (KSI) dengan T20 Indonesia dan Katadata.

Narasumber dalam webinar ini adalah Deputi Bidang Ekonomi Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti dan Deputi Bidang Kerja Sama Ekonomi Internasional Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Edi Prio Pambudi. Adapun yang bertindak sebagai penanggap adalah Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri dan Direktur SMERU Widjajanti Isdijoso.

Menurut Suharso, pertumbuhan ekonomi Indonesia perlu didorong ke angka 6-7 persen per tahun agar ekonomi Indonesia tumbuh tinggi dalam jangka panjang dan keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap) sebelum 2045. Hasil perhitungan Bappenas menunjukkan, jika ekonomi Indonesia tumbuh 6 persen setiap tahun pascapandemi Covid-19 sampai 2045, maka Indonesia dapat keluar dari jebakan tersebut pada 2043, artinya butuh waktu 20 tahun.

“Pengalaman Korea Selatan (Korsel) menunjukkan bahwa dalam 14 tahun mereka dapat menaikkan status dari negara berpendapatan menengah ke atas ke negara dengan berpendatan tinggi (high income). Kunci penting Korsel adalah transformasi ekonomi, riset, dan inovasi, serta komitmen besar pemerintah dan rakyatnya,” kata Suharso dalam sambutan yang dibawakan oleh Deputi Bidang Ekonomi Bappenas.

Suharso menambahkan, Indonesia perlu mendesain ulang perekonomiannya pascapandemi yang tidak hanya membawa Indonesia ke kondisi sebelum pandemi, tetapi bisa membalikkan kondisi ke yang lebih baik sebelum krisis ekonomi akibat pandemi. Untuk itu, transformasi ekonomi menjadi titik kunci dalam mencapai visi Indonesia Emas 2045. Namun, transformasi tersebut membutuhkan riset dan inovasi sebagai kunci agar produktivitas Indonesia meningkat. 

“Terkait riset dan inovasi, pemerintah berupaya memobilisasi unsur pemangku kepentingan ilmu pengetahuan dan inovasi, serta memperkuat hubungan antaraktor. Pemerintah juga berupaya mendifusi pengetahuan dan inovasi yang dihasilkan kepada para produsen dari para aktor sehingga terjadi sinergitas peran sektor publik dan swasta di mana hal ini kunci keberhasilan kemajuan ekonomi Korsel. Pemerintah terus berusaha merumuskan kebijakan berbasik bukti serta menyusun aturan yang berlandaskan produk pengetahuan dan inovasi,” ucap Suharso.

Desain ulang ekonomi Indonesia pascapandemi, lanjut Suharso, harus jadi rujukan bagi semua pihak untuk bersama-sama berkolaborasi dalam mendorong pelaksanaan transformasi ekonomi secara inklusif dan berkelanjautan. Sumber daya manusia yang berdaya saing adalah bagian terpenting dari transformasi ekonomi untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045; peningkatan kualitas pendidikan, riset, dan inovasi; pengetahuan; serta penerapan kebijakan berbasis bukti menjadi titik penting bagi Indonesia meningkatkan daya saing.

“Peningkatan kualitas sumber daya manusia bersifat multidimensi membutuhkan kerja sama yang aktif dari seluruh pemangku kepentingan. Untuk itu, sudah saatnya berkolaborasi mewujudkan Indonesia yang produktif dan yang berdaya saing,” ujar Suharso.

Terkait pemulihan ekonomi global dari pandemi, menurut Amalia Adininggar Widyasanti, prosesnya masih menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, masih ada perbedaan kecepatan pemulihan dalam suatu kawasan atau antarnegara. Ini menjadi isu penting dalam G-20 di bawah Presidensi Indonesia. Kedua, kemampuan likuiditas yang berbeda antara negara maju dengan negara berkembang; dan ketiga adalah naiknya utang swasta dan publik. 

“Selain risiko global tersebut, ada juga risiko domestik di Indonesia. Pertama, pemulihan dunia bisnis belum optimal. Bisa dilihat dari permintaan kredit yang masih rendah. Kedua, angka pengangguran Indonesia belum kembali ke level sebelum pandemi Covid-19. Dan ketiga, belum meratanya dampak pembangunan di Indonesia yang masih banyak diperoleh manfaatnya oleh wilayah bagian barat Indonesia,” ucap Amalia.

Strategi transformasi

Amalia menambahkan, Indonesia perlu bangkit dan tumbuh jauh lebih cepat dibanding sebelum pandemi. Dalam lima tahun sebelum pandemi, ekonomi Indonesia bisa tumbuh 5 persen per tahun. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi 5 persen sejatinya belum mampu membawa Indonesia mencapai atau keluar dari middle income trap sebelum 2045. Hasil penilaian Bappenas, imbuh dia, kalau Indonesia ingin bisa mencapai Visi Indonesia 2045, maka rata-rata pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkan adalah 6 persen per tahun.

Oleh karena itu, lanjut Amalia, ada kepentingan mendesak dari Indonesia untuk melakukan tranformasi ekonomi sesegera mungkin. Alasannya, struktur ekonomi Indonesia masih bergantung pada komoditas non-olahan sehingga nilai tambahnya tidak optimal. Selain itu, tantangan sumber daya tenaga kerja di mana angkatan kerja di Indonesia tinggi, tapi lapangan kerja yang tersedia belum cukup. Demikian juga masalah infrastruktur. Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau perlu perbaikan konektivitas infrastruktur untuk menurunkan biaya logistik antarpovinsi atau antarwilayah. 

Untuk mempercepat transformasi ekonomi tersebut, menurut Amalia, ada enam strategi besar ekonomi Indonesia agar tumbuh inklusif dan berkelanjutan. Keenam strategi ini adalah peningkatan kapasitas sumber daya manusia; produktivitas sektor ekonomi; ekonomi hijau; transformasi digital; integrasi ekonomi domestik; dan pemindahan ibu kota negara (IKN). Menurut dia, pemindahan IKN bukan saja memindahkan urusan administrasi, tetapi juga dimaksudkan untuk menciptakan sumber pertumbuhan ekonomi baru di kawasan timur Indonesia. Ini bagian tak terpisahkan dari strategi tranformasi ekonomi Indonesia. 

“Ada lima kesimpulan untuk bisa merealisasikan tranformasi ekonomi di Indonesia. Pertama, perlu sinergi yang baik antara negara maju dan berkembang untuk bisa bersama mengatasi dan menghadapi tantangan global agar bisa pulih bersama. Kedua, negara maju dapat menyediakan akses likuiditas dan program terkait lainnya, seperti akses ke teknologi dan kesehatan untuk mempromosikan keberpihakan, kesetaraan, kemajuan, dan kemakmuran di antara negara-negara di dunia,” ucap Amalia.

Sebagai kesimpulan ketiga, lanjut Amalia, dalam G-20 di bawah Presidensi Indonesia, Pemerintah Indonesia menunjukkan komitmen untuk mendorong transformasi ekonomi, penciptaan nilai tambah dan diversifikasi ekonomi, serta meningkatkan produktivitas untuk menuju menjadi negara maju. Keempat, melalui G-20, Indonesia dapat memetik manfaat dari negara lain tentang bagaimana mengubah ekonominya dan berkolaborasi di bidang yang perlu ditingkatkan.

“Yang terakhir atau kelima, transformasi ekonomi Indonesia akan didasarkan pada inklusifivitas dan pengembangan ekonomi berkelanjutan, sejalan dengan target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s) 2030 dan mendorong pendekatan pemulihan keberlanjutan,” kata Amalia.

Sementara itu, terkait pekerjaan rumah pemulihan ekonomi global, menurut Edi Prio Pambudi, sudah dua tahun pandemi berlangsung masih belum muncul arah pemulihan yang jelas dan pasti. Yang ada adalah sejumlah negara menyatakan telah pulih dari pandemi dan masih ada negara yang menyatakan kesulitan mendapatkan vaksin. Ketika vaksinasi di wilayah tersebut masih rendah, dipercaya menimbulkan varian baru dipercaya menimbulkan kepanikan global kembali. Kondisi yang tak merata itu mempersulit pemulihan ekonomi global.

Pekerjaan rumah lainnya adalah tranformasi digital yang sudah terjadi sebelum pandemi. Saat itu, ketika transformasi digital terjadi, dampaknya adalah risiko naiknya pengangguran. Selama pandemi, transformasi digital terjadi lebih cepat. Di satu sisi menciptakan manfaat, di sisi lain menciptakan kesenjangan. Ini kemudian yang menjadi isu yang perlu dibahas dalam G-20 di bawah Presidensi Indonesia. 

“Perubahan iklim juga butuh solusi. Dari tiga hal tersebut, ini yang akan kami bawa dalam Presidensi G-20. Pertama, ya, harus pulih dulu. Ekonomi belum bisa pulih kalau masih ada masalah kesehatan. Kedua, risiko kalau terjadi digitalisasi. Bagaimana dengan mereka yang masih terbatas kemampuannya? Lalu, masalah transisi energi yang butuh dana besar. Persoalannya adalah ketika pandemi terjadi, beban utang negara-negara meningkat pesat. Nah, itu akan membuat kesulitan tersendiri dalam memobilisasi dana untuk pemenuhan kesehatan, transisi energi, dan penyediaan infrastruktur,” ucap Edi.

Monitoring dan evaluasi

Yose Rizal Damuri sependapat terhadap enam strategi besar transformasi ekonomi yang disampaikan Bappenas. Menurut dia, keenam strategi tersebut sangat erat kaitannya dengan apa yang diperjuangkan Indonesia atau negara lain di tingkatan G-20 atau di tingkatan global. Ia mencontohkan masalah green economy. Sulit bagi Indonesia tanpa ada kerja sama lebih kuat dari negara lain, serta tanpa ada mekanisme sistem yang dibangun di tingkat global. Semua akan lebih mudah dicapai apabila negara G-20 mendukung mekanisme tersebut. 

“Tantangan terbesar Indonesia adalah bagaimana menemukan aspirasi atau kepentingan yang sama dari negara anggota G-20 atau non-G-20. Ini agar ada mekanisme atau sistem di tingkat global yang bisa mendukung penyelesaian masalah yang ada,” kata Yose.

Yose juga menyinggung peran dunia usaha. Menurut dia, peran mereka sangat penting terutama untuk keluar bersama dari masalah yang ada sekarang. Bagaimana pun, pemulihan ekonomi bergantung pada pemulihan kesehatan. Pemulihan kesehatan bisa terwujud apabila ada dunia usaha yang bekrontribusi lebih jauh pada pemulihan kesehatan dunia. Dunia usaha sebaiknya tidak melihat momentum untuk mendapat keuntungan, tetapi momentum untuk berkontribusi lebih besar lagi.

“Yang terakhir adalah monitoring dan evaluasi terhadap komunike dari G-20. Ini penting untuk mendorong monitoring dan evaluasi terhadap hal tersebut. Saya juga mendukung apa yang disebut G-20 di masa mendatang tidak hanya berakhir pada komunike semata, tetapi juga dalam bentuk penggalangan aksi atau aksi yang lebih konkret lagi,” ucap Yose.

Sementara itu, Widjajanti Isdijoso menyampaikan, ketimpangan sumber daya manusia dan kesejahteraan bisa menjadi bahan pembelajaran antarnegara dan bisa dijadikan landasan untuk membangun komitmen bersama. Begitu pula dalam hal transformasi digital yang tidak bisa tidak dilakukan, tetapi ada konsekuensi atas perubahan ekonomi digital tersebut. Bukan hanya kehilangan kesempatan kerja, tetapi bagaimana harus bisa memperbaiki infrastruktur, literasi digital, dan pendidikan dasar. Ini tentunya menjadi isu ke depan yang harus jadi perhatian dalam G-20.

“Kemudian yang berkaitan dengan sumber daya manusia secara umum. Kami melihat isunya terkait kesehatan, malanutrisi, pelayanan kesehatan yang berkurang, dan dampak Covid-19 itu sendiri, juga akan menjadi isu utama. Terkait anak, ada isu tentang pekerja anak. Krisis ekonomi cenderung mendorong hal ini (ke arah pekerja anak). Ini akan menjadi isu utama,” ucap Widjajanti. 

Widjajanti juga menyampaikan perlunya langkah-langkah korektif untuk menuju pemulihan ekonomi. Ia menyoroti perlunya upaya afirmasi lebih besar kepada kelompok rentan dan miskin sebab pandemi COVID-19 tidak hanya berdampak pada aspek kesehatan atau ekonomi, melainkan menciptakan masalah multidimensi.

Aksi kolektif

Edi Prio Pambudi yang juga Co-Sherpa G20 juga menjelaskan bagaimana Kepresidenan G20 Indonesia akan mengintegrasikan masukan dari kelompok kerja dan kelompok keterlibatan untuk memastikan serapan kebijakan G20 terkait transformasi ekonomi dan kebijakan sosial. “Langkah-langkah parsial sudah tidak mungkin dilakukan, yang dibutuhkan adalah aksi kolektif. Kami dengan senang hati akan memfasilitasi think tank supaya bisa menghasilkan G20Think, sesuatu yang mengarahkan dari komitmen menjadi referensi kebijakan yang dihasilkan.” kata Edi. 

Acara webinar ini menekankan perlunya aksi kolektif dari seluruh unsur kelompok keterlibatan dan kelompok kerja untuk mendukung pencapaian Presidensi G20 Indonesia. Dalam diskusi ini Edi selaku Co-Sherpa G20 menyampaikan harapan mengenai adanya jalur tambahan, yaitu jalur akademik (academic track) di mana akademisi dan think tank terlibat didalamnya untuk menemukan common ground dalam memperjuangkan kepentingan negara berkembang. “Indonesia selama ini dipercaya sebagai pihak pembangun jembatan, kita akan menjalankan peran ini untuk mengajak dunia lebih fokus pada percepatan pemulihan pandemi.” tutup Edi.

(*)

  • Share: