Dua dekade lalu, definisi yang cukup populer mengenai think tank adalah ‘organisasi penelitian non-pemerintah, nirlaba dengan otonomi organisasi yang substansial dari pemerintah dan dari kepentingan masyarakat seperti perusahaan, kelompok kepentingan, dan partai politik’ (McGann dan Weaver, 2000). Seiring berjalannya waktu, definisi dan bentuk organisasi think tank semakin berkembang. Definisi think tank tidak lagi harus berbentuk nirlaba, tetapi lebih dijabarkan menurut fungsi dan bertujuan untuk menghasilkan pengetahuan untuk memengaruhi proses penyusunan kebijakan (Hartwig, 2011). Definisi tersebut selaras dengan peran think tank sebagai knowledge producer di dalam ekosistem pengetahuan (Hertz et al., 2020). Think tank sering bertindak sebagai jembatan antara akademisi dan aktor kebijakan dan antara negara dan masyarakat sipil—melayani kepentingan publik sebagai suara independen yang menerjemahkan penelitian dasar ke dalam narasi dan rekomendasi kebijakan yang dapat dimengerti, diaplikasikan, dan diakses untuk pembuat kebijakan dan publik (McGann, 2019). Referensi lain juga menggambarkan fungsi think tank sebagai penghubung pengetahuan dan kekuasaan (Fraussen et al, 2017; Radin, 2013). Melalui fungsi-fungsi tersebut, think tank juga dapat berperan sebagai knowledge intermediary (Hertz et al, 2020) di dalam ekosistem pengetahuan.
Peran ganda think tank sebagai knowledge producer juga knowledge intermediary menjadikannya strategis untuk memperkuat posisi sebagai policy entrepreneur. Policy entrepreneur didefinisikan sebagai seorang advokat yang terus mendukung perubahan kebijakan dengan memanfaatkan pengetahuan, keahlian, ide kebijakan, reputasi, advokasi kebijakan, dan jaringan kebijakan untuk memajukan tujuan kebijakan mereka sendiri (Kingdon, 2003; Mintrom dan Norman, 2009). Dengan posisi strategisnya, think tank memiliki peran di semua tahap kebijakan. Meskipun begitu, peran think tank lebih dominan dalam tahap agenda-setting mengingat kemampuan mereka untuk membingkai isu-isu kebijakan dan menyoroti masalah kepada masyarakat dengan cara yang menarik (Ordonez, et al., 2012). Partisipasi think tank dalam tahap agenda-setting ini membuka peluang bagi mereka untuk berpartisipasi dalam tahap desain kebijakan dan proses pengambilan kebijakan, dimana keterlibatan dalam setiap tahapnya membutuhkan hubungan kerja dengan pemerintah (Ordonez, et al., 2012).
Dalam hubungan kerja think tank dengan pemerintah, kolaborasi antara think tank berbasis pemerintah dan non-pemerintah menjadi penting untuk mendukung perumusan kebijakan yang inklusif, berkesinambungan, berbasis bukti, serta membangun peer review culture sebagai salah satu pilar infrastruktur kemajuan bangsa. Knowledge Sector Initiative (KSI) memanfaatkan platform KSIxChange ke-34 untuk mengeksplorasi pentingnya meningkatkan kolaborasi dan policy entrepreneurship antara think tank pemerintah dan non-pemerintah dalam proses perumusan kebijakan berbasis bukti. Diskusi pada 29 Juni 2021 ini menghadirkan Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko, BRIN selaku pengampu integrasi penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan (litbangjirap) memiliki posisi strategis dalam mengorkestrasi platform kolaborasi think tank pemerintah dan non-pemerintah. Hadir juga dalam diskusi ini Deputi Bidang Ilmu Sosial dan Kemanusiaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Tri Nuke Pudjiastuti, Deputi Pengembangan Masyarakat Sipil Institute for Research and Empowerment (IRE) Dina Mariana, dan Deputi Direktur Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Medelina K Hendytio. Kedua lembaga think tank tersebut hadir sebagai organisasi yang berperan aktif dalam mengembangkan pengetahuan untuk mempengaruhi kebijakan strategis akan memaparkan mengenai pentingnya kolaborasi yang berkesinambungan antara think tank pemerintah dengan non-pemerintah.
Perkembangan Think Tank Non-Pemerintah
Deputi Direktur CSIS Medelina memaparkan perkembangan think tank non-pemerintah di dunia dan Indonesia. Berdasarkan laporan Think Tank and Civil Societies Program (TTCSP), University of Pennsylvania, perkembangan aktivitas dan kontribusi think tank secara global masih didominasi oleh Eropa dan Amerika Utara. Negara-negara yang ekonominya maju umumnya memiliki banyak lembaga think tank. Dalam konteks Indonesia, menurut Medelina, perkembangan think tank dari segi kuantitas dapat dibilang cukup menggembirakan. Jumlah lembaga think tank non-pemerintah di Indonesia pada 2018 mencapai 31, hampir dua kali lipat dari jumlah pada satu dekade sebelumnya. Namun, angka ini masih jauh dibanding China yang mencapai 507 dan India yang mencapai 509 lembaga. Di Asia Tenggara, negara kecil seperti Singapura memiliki 18 think tank dan Malaysia mencapai 23 lembaga.
“Perkembangan think tank di Indonesia masih perlu didorong, tentu bukan hanya kuantitas tetapi juga kualitas. Dengan semakin banyaknya think tank, tentu keberagaman ide, gagasan, inovasi, maupun demokratisasi gagasan akan lebih baik.” ujar Medelina.
Laporan itu juga menyebut bahwa 2020 Global Go To Think Tank Index menempatkan CSIS sebagai lembaga think tank terbaik nomor 2 di wilayah Asia Tenggara dan Pasifik. Medelina menegaskan bahwa angka dalam pencapaian rangking merupakan hal sekunder, yang terpenting adalah bagaimana think tank melakukan upaya semaksimal mungkin untuk perubahan maupun perbaikan kualitas kebijakan. Ada empat indikator yang digunakan index tersebut dalam menilai kualitas sebuah think tank, yakni (1) indikator sumber daya yang menilai keberlangsungan dan kualitas pendanaan, kualitas peneliti, jaringan, dan teknologi penunjang; (2) indikator pemanfaatan, menilai reputasi organisasi di kalangan media dan testimoni elit kebijakan; (3) indikator keluaran, menilai jumlah dan kualitas proposal, ide, inovasi, proyek, studi, publikasi yang dilakukan maupun interview sebagai narasumber dan jumlah staff yang diminta duduk dalam pemerintahan; dan (4) indikator dampak, menilai rekomendasi yang dipertimbangkan atau diadopsi oleh pembuat kebijakan. Keempat indikator ini dapat dimanfaatkan bukan semata-mata untuk mengejar ranking melainkan sebagai acuan think tank untuk menentukan prioritas dan memperbaiki kualitas lembaga.
Akses pada pembuatan kebijakan dan pemanfaatan studi dalam proses pembuatan kebijakan menjadi indikator sentral dalam pencapaian think tank secara global. “Think tank tidak punya luxury untuk membedakan penelitian dan advokasi” ujar Medelina. Ia menambahkan, lembaga think tank akan lebih mudah mendorong perubahan kebijakan jika bekerja sama dengan pemerintah. Pola kerja sama yang sudah berjalan selama ini bisa dijadikan acuan untuk menyusun mekanisme relasinya ke depan.
Mekanisme Kolaborasi
Deputi Bidang Ilmu Sosial dan Kemanusiaan LIPI Tri Nuke Pudjiastuti mengemukakan pentingnya kolaborasi pengetahuan antara think tank pemerintah dan non-pemerintah. “Penting sekali kolaborasi pengetahuan. Kami sudah memiliki pengalaman, keterbatasan seorang ilmuwan turun di lapangan bisa dikuatkan oleh think tank NGO (non-governmental organization/non-pemerintah) yang hasilnya menjadi luar biasa. Dimana dalam pentahelix ilmu sosial ada peran masing-masing yang tidak bisa disamakan. Kekhasan dari masing-masing lembaga menjadi hal penting.” ujarnya.
Dalam diskusi ini, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menyampaikan peran BRIN dalam memfasilitasi kolaborasi antara BRIN dan think tank dalam konteks mendukung kebijakan berbasis sains. Ia menuturkan, BRIN bertugas mengintegrasikan aktivitas riset dan inovasi yang selama ini tersebar di berbagai lembaga, serta mengkonsolidasikan berbagai sumber daya mulai dari sumber daya manusia, infrastruktur maupun anggaran. Arahan BRIN terkait integrasi kelembagaan ini terkait dengan bagaimana BRIN mendukung kebijakan berbasis bukti dengan kolaborasi antara BRIN dan think tank non-pemerintah.
Untuk mendukung kebijakan berbasis sains, BRIN berperan sebagai hub-kolaborasi dan enabler multi-pihak baik di dalam negeri maupun luar negeri. Infrastruktur dan sumber daya riset dijadikan open platform untuk semua pihak yang terlibat, baik swasta, akademisi, dan lainnya sehingga bisa dengan mudah menjalankan riset tanpa harus berinvestasi. Handoko menjelaskan, sistem open platform ini dibangun karena riset bersifat high-cost (berbiaya tinggi) dan high-risk, BRIN sebagai lembaga pemerintah hadir untuk memfasilitasi dan menjadi enabler berbagai pihak yang ingin menjalankan riset.
BRIN tengah dipersiapkan menjadi lembaga think tank resmi pemerintah. Artinya, BRIN menjadi sumber kajian akademis dan akan memasok rekomendasi kebijakan kepada pemerintah yang diharapkan memiliki pandangan non-sektoral untuk melihat kebijakan secara lintas kementerian. “Dalam perpres (Peraturan Presiden) baru yang akan dilansir, di situ memuat tentang dua deputi yakni deputi kebijakan pembangunan dan deputi kebijakan riset dan inovasi. Deputi riset ini yang akan menjadi sumber think tank Bappenas,” ujar Handoko.
Ia menuturkan, BRIN harus menjadi pendukung utama science-based policy dimana think tank tetap fokus pada aktivitas riset di bidangnya: pencipta aset pengetahuan, penjaga budaya dan norma sains, basis literature primer dan terpercaya, metode kuantitatif yang kuat, serta koleksi dan pengelolaan data. Handoko menilai, lembaga think tank non-pemerintah bisa berperan sebagai penyeimbang atau peer review (ulasan dari rekan sejawat) terkait kebijakan yang akan dikeluarkan pemerintah. Namun, perlu mekanisme terkait relasi bisnis ke bisnis dengan lembaga think tank non-pemerintah maupun kementerian/lembaga (K/L)) selaku pemakai produk/hasil risetnya. Untuk itu, BRIN terbuka untuk diskusi lebih lanjut mengenai relasi dan proses bisnis B-to-B antara BRIN, think tank non-pemerintah, dan pembuat kebijakan.
Terkait mekanisme kolaborasi, Deputi Bidang Ilmu Sosial dan Kemanusiaan LIPI juga menyampaikan rekomendasi terkait kolaborasi pengetahuan antara BRIN dan think tank non-pemerintah dalam mendorong kualitas kebijakan. Pertama, beberapa think tank telah masuk dalam lima prioritas penelitian nasional dengan posisi yang sama dengan universitas tetapi dengan kerangka pendanaan yang berbeda. Masa depan prioritas penelitian nasional untuk lembaga think tank non-pemerintah masih dipertanyakan dan perlu menjadi perhatian BRIN. Kedua, dengan semakin meningkatnya kebutuhan untuk menjawab permasalahan bangsa, ilmu sosial tidak hanya terbatas pada prioritas penelitian nasional dalam ilmu-ilmu sosial, tetapi sebenarnya dapat dimasukkan dalam semua lini. Maka dari itu susunan sub-program yang ada perlu dikaji ulang.
“Pengarusutamaan ilmu sosial kemanusiaan menjadi hal yang utama, hal ini terkait dengan pemenuhan kebutuhan dari lembaga-lembaga riset baik pemerintah maupun non-pemerintah” ujar Nuke. Rekomendasi selanjutnya adalah perlunya integrasi sistem evaluasi pemantauan, manajemen pengetahuan dengan mekanisme dan prosedur yang jelas, serta pengembangan indikator kesiapterapan lembaga riset dengan mengakomodasi perbedaan aspek sosial dan humaniora untuk pengembangan lembaga penelitian yang lebih baik.
Pengaruhi Kebijakan
Terkait posisi strategis think tank non-pemerintah sebagai policy entrepreneur, Deputi Pengembangan Masyarakat Sipil Institute for Research and Empowerment (IRE) Dina Mariana membagikan pembelajaran IRE sebagai policy entrepreneur yang melakukan advokasi dengan beberapa pendekatan dan strategi untuk mendorong perubahan kebijakan. IRE mengawal advokasi Rancangan Undang-Undang Desa (RUU Desa) pada tahun 2007 – 2013. RUU tersebut lolos berkat kerja bersama antara sesama NGO, asosiasi perangkat desa, lembaga kemasyarakatan desa dan lain-lain. “(Hal) yang paling penting dilihat dari think tank adalah jaringannya. Kekuatan besar kita waktu itu adalah jaringan NGO dan ormas yang pada saat itu sama-sama merapatkan barisan, punya kepentingan untuk melahirkan UU ini.” ujar Dina.
Pengalaman itu menunjukkan bahwa lembaga think tank non-pemerintah memiliki kapasitas untuk melakukan riset yang berorientasi pada perubahan kebijakan. Banyak naskah akademik yang dihasilkan, termasuk naskah kajian kebijakan dan usulan kebijakan singkat. “Lembaga think tank memiliki kualitas dan kapasitas melakukan kerja-kerja teknokratik. Kita sendiri punya standar kuat soal itu. Ada tenaga ahli legal drafting isu sektoral dan isu spasial, juga dokumen-dokumen pengetahuan dari hasil studi sehingga mampu beradaptasi dengan proses-proses teknokratis,” paparnya. Kolaborasi, basis data, dan penelitian yang kuat terbukti dapat memengaruhi pembuat kebijakan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian lainnya sehingga mereka mengadopsi beberapa rekomendasi kebijakan yang IRE dan koalisinya sampaikan sejak 2007 hingga 2014.
Kapasitas think tank non-pemerintah untuk mendorong perubahan untuk kualitas kebijakan yang lebih baik perlu disambut oleh pengampu kebijakan. BRIN yang membuka dialog lebih lanjut terkait pola kerja sama dan mekanisme proses bisnis antara pemerintah dan think tank non-pemerintah menjadi titik terang untuk meningkatkan peluang kolaborasi. Kepala BRIN Handoko menyampaikan bahwa ekosistem riset dan inovasi yang dituju adalah ekosistem yang lebih mendukung dan memotivasi segenap masyarakat untuk bisa berkontribusi pada aktivitas riset yang kemudian diharapkan bisa menghasilkan berbagai invensi, pembaruan, dan inovasi yang akan mendukung ekonomi ke depan. “Mengapa semuanya harus dilakukan? Karena kita semua ingin mencapai target Indonesia maju 2045 yang tidak mungkin terjadi tanpa adanya dukungan riset dan inovasi yang lebih terstruktur dan lebih kuat.” terangnya.