Lembaga think tank memiliki kekhasan dan kekuatannya masing-masing dalam melakukan riset dan merumuskan rekomendasi kebijakan. Lembaga-lembaga semacam itu memiliki kontribusi penting mendorong perubahan kebijakan berbasis bukti sehingga perlu semakin dilibatkan dalam pembangunan.
Peran lembaga think tank dalam mendorong kebijakan berbasis bukti didiskusikan dalam acara KSIxChange#34 yang bertema “Kolaborasi Pengetahuan Antara Litbangjirap dan Think Tank dalam Aspek Sosial Humaniora”, Selasa (29/6). Narasumber diskusi yang diadakan Knowledge Sector Initiative (KSI) secara daring tersebut adalah Deputi Bidang Ilmu Sosial dan Kemanusiaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Tri Nuke Pudjiastuti, Deputi Pengembangan Masyarakat Sipil Institute for Research and Empowerment (IRE) Dina Mariana, dan Deputi Direktur Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Medelina K Henytio. Acara yang disiarkan secara langsung di kanal Youtube The Conversation Indonesia ini dimoderasi Knowledge Sector Senior Coordinator KSI Iskhak Fatonie.
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko yang menjadi pembicara kunci menuturkan, BRIN bertugas mengintegrasikan aktivitas riset dan inovasi yang selama ini tersebar di berbagai lembaga, serta mengkonsolidasikan berbagai sumber dayanya mulai dari sumber daya manusia, infrastruktur maupun anggaran. Tujuannya menciptakan ekosistem yang lebih mendorong masyarakat untuk bisa berkontribusi dalam aktivitas riset guna mendorong inovasi untuk kemajuan ekonomi. Untuk itu, infrastruktur riset akan menjadi platform yang terbuka (open platform) supaya bisa memudahkan berbagai pihak yang ingin melakukan riset di bidangnya masing-masing. “Karena riset itu high cost (berbiaya tinggi) dan high risk (berisiko tinggi). BRIN sebagai lembaga pemerintah memfasilitasi, menjadi enabler (pengungkit) berbagai pihak,” katanya.
Dalam konteks itu, ia menilai lembaga think tank bisa berperan sebagai penyeimbang. Namun, perlu mekanisme terkait relasi bisnis ke bisnis dengan lembaga think tank non pemerintah (NGO) maupun kementerian/lembaga (K/L)) selaku pemakai produk/hasil risetnya.
Seiring dengan integrasi BRIN, Deputi Bidang Ilmu Sosial dan Kemanusiaan LIPI Tri Nuke Pudjiastuti menuturkan, saat ini kerangka substansinya tengah disiapkan secara intensif. Pihaknya telah menentukan lima prioritas riset nasional untuk bidang sosial kemanusiaan, serta merancang desain invensi dan inovasinya. Untuk inovasi sosial yang mendukung perubahan kebijakan, keterhubungan dengan berbagai stakeholder (pemangku kepentingan) termasuk K/L dan mitra sangat diperlukan.
Menurutnya, lembaga think tank NGO maupun swasta punya ciri dan keunggulan yang luar biasa sehingga menjadi bagian penting dalam keterhubungan itu. Oleh karena itu, penting bagi BRIN untuk memberi pengakuan terhadap peran lembaga think tank karena mereka bisa berperan dalam riset sosial kemanusiaan seiring dengan kian banyaknya masalah sosial yang muncul. Ada banyak bukti menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah bisa sampai di masyarakat karena peran NGO. “Penting sekali kolaborasi. Keterbatasan seorang ilmuwan untuk turun di lapangan bisa dikuatkan think tank NGO. Pendekatan ilmu sosial pakai pendekatan penta helix (melibatkan pemerintah, akademisi, swasta, masyarakat sipil, media), bukan hanya triple helix (pemerintah, akademisi, swasta),” ujarnya.
Sementara itu, Deputi Pengembangan Masyarakat Sipil IRE Dina Mariana membagikan pengalaman lembaganya saat mengawal advokasi Rancangan Undang-Undang Desa (RUU Desa) pada tahun 2007 – 2013. RUU tersebut lolos berkat kerja bersama antara sesama NGO, asosiasi perangkat desa, lembaga kemasyarakatan desa dan lain-lain. Pengalaman itu menunjukkan bahwa lembaga think tank NGO memiliki kapasitas untuk melakukan riset yang berorientasi pada perubahan kebijakan. Banyak naskah akademik yang dihasilkan, termasuk naskah kajian kebijakan dan usulan kebijakan singkat. “Sebenarnya lembaga think tank punya kapasitas melakukan kerja-kerja teknokratik, karena kita punya standar kuat soal itu. Ada tenaga ahli legal drafting isu sektoral dan isu spasial, juga dokumen-dokumen pengetahuan dari hasil studi sehingga mampu beradaptasi dengan proses-proses teknokratis,” paparnya.
Ia menambahkan, di Indonesia ada banyak lembaga think tank yang memiliki kekayaan data dan kelengkapan metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan. Lembaga semacam ini tidak hanya di Jakarta ataupun Pulau Jawa, namun juga daerah-daerah lain. Pengetahuan yang dimiliki masing-masing merupakan aset penting. BRIN perlu memahami hal itu. “Mungkin perlu banyak dialog dengan lembaga think tank sehingga bisa membuka wawasan dan kepercayaan BRIN ke lembaga think tank,” ungkapnya.
Terkait kuantitas dan kualitas think tank di Indonesia, Deputi Direktur CSIS Medelina K Henytio menjelaskan, dengan makin banyaknya lembaga think tank, keberagaman ide, gagasan dan inovasi serta demokratisasi gagasan akan menjadi lebih baik. Negara-negara yang ekonominya maju umumnya memiliki banyak lembaga think tank. Berdasarkan laporan Think Tank and Civil Societies Program (TTCSP) University of Pennsylvania, jumlah lembaga think tank di Indonesia pada 2018 mencapai 31. Angka ini jauh dibanding China yang mencapai 507 dan India 509. Di Asia Tenggara, negara kecil seperti Singapura memiliki 18 lembaga dan Malaysia 23 lembaga. Laporan itu juga menyebut bahwa 2020 Global Go To Think Tank Index menempatkan CSIS sebagai lembaga think tank terbaik nomor 2 di wilayah Asia Tenggara dan Pasifik.
Medelina mengatakan, lembaga think tank akan lebih mudah mendorong perubahan kebijakan jika bekerja sama dengan pemerintah. Pola kerja sama yang sudah berjalan selama ini bisa dijadikan acuan untuk menyusun mekanisme relasinya ke depan. Untuk itu, rencana BRIN mendorong open platform bisa diperluas bukan hanya untuk ilmu eksata namun juga sosial humaniora. Selain itu, penggunaan datanya perlu diperluas hingga ke data perijinan serta infrastruktur dan pendanaan untuk mendorong adanya dana riset yang terbuka bagi lembaga think tank.
Sesuai harapan yang dikemukakan oleh Kepala BRIN, diskusi ini diharapkan dapat menjadi titik awal pengembangan eksplorasi kolaborasi yang semakin terstruktur antara lembaga peneliti kebijakan pemerintah dan non pemerintah (think tank NGO) untuk mendukung ekosistem riset dan inovasi di Indonesia.
KSIxChange adalah diskusi interaktif yang diinisiasi Knowledge Sector Initiative (KSI), kemitraan antara pemerintah Indonesia dan Australia dengan pendanaan dari Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) Australia. KSIxChange yang digelar minimal sekali dalam sebulan bertujuan untuk mendukung pelaksanaan program pemerintah melalui peningkatan diskursus publik yang berdasarkan penggunaan bukti dalam proses pembuatan kebijakan.