Pada 5 Oktober 2020, Pemerintahan Joko Widodo mengesahkan Omnibus Law Cipta Kerja (UU No. 11 Tahun 2020). Beleid ini bertujuan untuk menyederhanakan lanskap peraturan yang kompleks untuk mendorong investasi dan lapangan kerja. Omnibus Law Cipta Kerja berimplikasi pada perubahan kewenangan daerah dan business processpelayanan perizinan berusaha di daerah.
Berkaitan dengan otonomi daerah dan perizinan usaha, lembaga penelitian kebijakan yang telah lama melakukan penelitian dan advokasi di bidang tersebut, yakni Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), sejak awal memiliki kekhawatiran terhadap rancangan undang-undang (RUU) Omnibus Law. Kekhawatiran muncul dari upaya Omnibus Law memusatkan kewenangan dengan pemerintah pusat, termasuk yang terkait dengan perizinan usaha. Oleh karena itu, sejak awal KPPOD terlibat dalam pengembangan RUU Omnibus Law. Keterlibatan KPPOD ini berhasil mengadvokasi revisi RUU Omnibus Law untuk mengembalikan kewenangan tertentu ke daerah. Hal ini merupakan capaian penting, tanpa perubahan yang diadvokasi oleh KPPOD, Omnibus Law akan merusak Undang-Undang Dasar (UUD) dan memundurkan Indonesia 20 tahun dalam hal pengaturan otonomi daerah.
Rekomendasi KPPOD
KPPOD menganalisis draf Omnibus Law dan menyiapkan Nota Pengantar (Background Note) dan Inventarisasi Masalah (Daftar Inventaris Masalah) yang dikirim ke DPR dan kementerian kunci. Dari daftar tersebut, pemerintah mengadopsi enam rekomendasi spesifik dari KPPOD ke dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Pertama, mengenai kewenangan presiden atas daerah. Rancangan awal Omnibus Law menyatakan bahwa presiden dapat melimpahkan kewenangan kepada daerah. KPPOD menilai, pemberian kewenangan kepada Presiden untuk mendelegasikan wewenang kepada daerah berisiko bagi penyelenggaraan otonomi daerah. Hal ini berpotensi melanggar konstitusi karena presiden kelak dapat menarik pelimpahan dan penyerahan urusan ke daerah. Dalam hal pengaturan perizinan usaha, hal ini juga menciptakan ketidakpastian terkait dengan tingkat pemerintah yang memiliki kewenangan untuk menerbitkan perizinan. KPPOD merekomendasikan agar tiga klausul di Omnibus Law terkait pelimpahan wewenang Presiden kepada daerah dihapus. Rekomendasi ini sebagian diambil dalam UU Omnibus Law, dengan dihapusnya salah satu dari tiga klausul bermasalah.
Kedua, kewenangan presiden untuk mengubah Omnibus Law. Menurut pejabat Badan Keahlian DPR yang diwawancarai, RUU awal Omnibus Law memberi kewenangan kepada presiden untuk mengamandemen Omnibus Law. KPPOD menyatakan bahwa hal ini melanggar konstitusi, karena amandemen UU seharusnya melalui parlemen dengan merevisi atau membuat UU baru.
Selanjutnya rekomendasi KPPOD berkaitan dengan kewenangan presiden untuk membatalkan peraturan daerah yang bermasalah. KPPOD merekomendasikan untuk menghapus klausul yang menyatakan bahwa presiden dapat menghapus peraturan daerah karena klausul tersebut melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUU-XIV/2016) yang menetapkan bahwa hanya Mahkamah Agung (MA) yang bisa membatalkan peraturan daerah. Rekomendasi KPPOD ini diadopsi dengan dihapusnya klausul terkait penghapusan peraturan daerah oleh presiden.
Keempat, KPPOD memberikan rekomendasi terkait Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK). NSPK mengatur level kewenangan pemerintahan dan prosedur, waktu dan biaya pelayanan perizinan berusaha. Draf awal Omnibus Law menyebutkan bahwa NSPK dapat dilimpahkan ke daerah. KPPOD menilai, hal ini bermasalah karena NSPK dirancang sebagai standar nasional yang harus diterapkan oleh daerah, bukan didelegasikan kepada mereka. Untuk itu, KPPOD merekomendasikan agar NSPK dipertahankan sebagai standar nasional. Daerah harus mengembangkan NSPK yang sejalan dengan standar yang telah ditetapkan di tingkat nasional. Rekomendasi ini kemudian diadopsi sebagian dalam UU Omnibus Law yang menyatakan bahwa pemerintah pusat akan menerbitkan NSPK berdasarkan best practice dari daerah.
Rancangan awal Omnibus Law memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk menerbitkan perizinan berusaha dasar (tata ruang, lingkungan, dan bangunan) dan sektoral. KPPOD menyampaikan bahwa ketentuan tersebut melanggar UUD dan UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan sesuatu ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk urusan penanamaman modal (perizinan usaha). Mengalihkan kewenangan kepada pemerintah pusat akan menambah waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh izin usaha, serta mengurangi kendali pemerintah daerah atas pembangunan dan pendapatan yang mereka terima dari penerbitan izin usaha. Hal ini tentu akan mempersulit bisnis untuk mendapatkan izin usaha.
Rekomendasi kelima KPPOD adalah pembagian kewenangan penyelenggaraan perizinan berusaha (dasar dan sektoral) disesuaikan dengan prinsip efiesiensi, akuntabilitas, dan eksternalitas. Berdasarkan prinsip ini, setiap level pemerintahan (Pusat dan Daerah) berbagi kewenangan dalam memberikan suatu pelayanan perizinan. Misalnya, Pusat akan menerbitkan perizinan berusaha yang beroperasi pada atau memiliki dampak eksternalitas lintas provinsi, Provinsi berwenang memberikan perizinan berusaha yang berdampak eksternalitas lintas kabupaten/kota, dan Kabupaten/Kota menerbitkan perizinan berusaha beroperasi dan/atau tidak memiliki dampak eksternalitas ke daerah lain.
Keenam, rekomendasi KPPOD yang diadopsi dalam Omnibus Law Cipta Kerja adalah terkait penerima pendapatan (retribusi) izin usaha. Rancangan awal Omnibus Law memberikan hak kepada pemerintah pusat untuk mendapatkan retribusi dari izin usaha yang dikeluarkan untuk bangunan gedung (retribusi IMB). KPPOD menilai, pengaturan ini merampas pendapatan pemerintah daerah dan tidak sesuai dengan nomenklatur perizinan berusaha yang baru (persetujuan bangunan). Oleh karena itu, KPPOD mengadvokasi agar daerah (kabupaten/kota) tetap memiliki kewenangan untuk menerbitkan dan menerima pendapatan dari izin usaha tersebut.
Advokasi berkelanjutan
Pengaruh KPPOD pada revisi RUU Omnibus Law dicapai melalui proses advokasi yang telah dilakukan sejak Maret 2020. Pada 5 Maret 2020, KPPOD mengadakan focus group discussion (FGD) dengan pejabat senior dari kementerian utama untuk mempresentasikan analisis tentang implikasi UU tersebut bagi otonomi daerah dan perizinan usaha. Selanjutnya, KPPOD menyusun background notes dan Daftar Inventaris Masalah (DIM) untuk menyiapkan rekomendasi revisi RUU tersebut. KPPOD kemudian mengadakan serangkaian diskusi publik untuk mempresentasikan DIM dan mengundang masukan dari pemangku kepentingan. DPR dan kementerian utama diundang untuk mendengarkan langsung pembahasan tersebut. Dalam serangkaian acara publik tersebut, KPPOD juga mengundang media massa untuk meliput rekomendasi mereka. DIM dan background notes yang telah diselesaikan dan diterbitkan KPPOD pada bulan Agustus kemudian dikirimkan ke Badan Keahlian, Badan Legislasi, dan seluruh fraksi di DPR.
Selain dengan pemangku kebijakan di pusat, KPPOD juga terlibat dalam advokasi dengan pemerintah daerah dan asosiasi pemerintah daerah (APEKSI, ADEKSI, ADKASI, APKASI). KPPOD mempresentasikan DIM yang telah disusun untuk meningkatkan kesadaran tentang Omnibus Law dan implikasinya bagi pemerintah daerah dan mendorong pemerintah daerah melakukan advokasi tentang masalah ini. Pada September 2020, advokasi rekomendasi kepada DPR telah dilakukan bersama-sama dengan pemerintah daerah, asosiasi pemerintah daerah, dan Katadata. KPPOD juga melakukan advokasi bersama organisasi masyarakat sipil lain, yakni Pattiro.
Keterlibatan KPPOD dalam proses Omnibus Law dihargai oleh para pembuat kebijakan terkait. Seorang pejabat dari Badan Keahlian DPR yakin bahwa KPPOD berperan penting dalam menjaga demokrasi dan desentralisasi di Indonesia melalui penelitian dan advokasi. Lebih lanjut, pejabat dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) mengapresiasi kepiawaian KPPOD perihal perizinan usaha dan otonomi daerah, dan perannya sebagai ‘teman diskusi’ yang telah membantu memperkaya pemikiran kementerian dan membuat mereka lebih percaya diri untuk terlibat dengan kementerian lain. Ia juga mengapresiasi kemampuan KPPOD dalam memahami kebutuhan pemerintah pusat saat membicarakan masalah otonomi daerah.
Omnibus Law memang mendapat banyak perhatian publik, namun banyak di antaranya yang berfokus pada masalah ketenagakerjaan, bukan otonomi daaerah. Badan Keahlian DPR mencatat bahwa selain KPPOD, pemangku kepentingan lainnya yang mengadvokasi isu otonomi daerah adalah asosiasi pemerintah daerah dan DPRD. Pemangku kepentingan ini merupakan kelompok yang didorong oleh KPPOD untuk terlibat dalam advokasi. KPPOD mencatat, Asosiasi Perusahaan juga mengadvokasi masalah perizinan usaha. Namun, lebih berfokus pada masalah prosedur, biaya, dan waktu daripada mengenai kewenangan untuk menerbitkan izin. Akses KPPOD yang dekat dengan DPR dan kementerian utama memungkinkan mereka untuk mengikuti dan memengaruhi proses Omnibus Law dengan cermat.
Langkah KPPOD selanjutnya adalah melanjutkan advokasi pengaturan daerah dan perizinan usaha dengan terlibat dalam penyusunan regulasi pelaksanaan Omnibus Law terkait NSPK, penatausahaan perizinan usaha, dan perpajakan.
Kontribusi Knowledge Sector Initiative (KSI)
KSI berkontribusi dalam proses knowledge to policy pada Omnibus Law Cipta Kerja melalui tiga hal. Pertama, pendanaan KSI memungkinkan KPPOD untuk melakukan penelitian yang memberikan dasar bukti untuk advokasi dan mencukupi biaya yang dibutuhkan KPPOD dalam proses advokasi. Kedua, melalui sesi logika program dan dukungan evaluasi dan monitoring, KSI membantu KPPOD untuk mengadvokasi kebijakan secara lebih sistematis. Proses tersebut juga membantu KPPOD mengukur aktivitas mereka dengan lebih baik dan mendorong KPPOD untuk mengintegrasikan proses reflektif bulanan dalam pekerjaan. Ketiga, KPPOD meyakini bahwa dukungan KSI pada Tahap 1 dan hibah inti telah memungkinkan KPPOD untuk memperkuat kualitas penelitian mereka, baik secara individu maupun sebagai sebuah institusi.