Organisasi Penyandang Disabilitas Perlu Ruang Pelibatan

KSIxChange#30 mendiskusikan bahwa Organisasi penyandang disabilitas memiliki peran penting untuk memastikan dipenuhinya hak-hak penyandang disabilitas dalam pembangunan

Organisasi penyandang disabilitas memiliki peran penting untuk memastikan dipenuhinya hak-hak penyandang disabilitas dalam pembangunan. Peran tersebut akan berjalan dengan baik apabila organisasi penyandang disabilitas mendapat ruang yang lapang untuk berpartisipasi dalam setiap tahap pembangunan.

Demikian salah satu pokok bahasan dalam KSIxChange#30 yang diadakan Knowledge Sector Initiative (KSI) secara daring dengan tema “Peran Organisasi Penyandang Disabilitas dalam Pembangunan Pasca COVID-19”, pada Rabu (02/12). Narasumber acara ini antara lain Direktur Eksekutif Yayasan Pergerakan Difabel Indoensia untuk Kesetaraan (PerDIK) Abdul Rahman, Ketua Jaringan Peduli Difabel dan Analis Litbang Badan Perencanaan Daerah (Bapppeda) Kota Padang Sumatera Barat Antoni Tsaputra, Penyandang Disabilitas Mental Dampingan Pusat Rehabilitasi YAKKUM Desty Endah Nurmalasari, Wakil Direktur Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak (SAPDA) Fatum Ade, Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Maulani A Rotinsulu, dan Ketua Yayasan Centre for Improving Qualified Activity in Live of People with Dissabilities (CIQAL) Nuning Suryaningsih. Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Fajri Nursyamsi menjadi moderator dalam acara yang disiarkan secara langsung di kanal Youtube Asumsi ini.                                       

Acara ini dibuka oleh Staf Ahli Menteri Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Vivi Yulaswati. Dalam pembukaannya, Vivi mengatakan bahwa dampak kasus COVID-19 yang masih terus meningkat dirasakan di seluruh sektor, termasuk perekonomian. Situasi ini meningkatkan kerentanan penyandang disabilitas. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai program jaring pengaman sosial dan penguatan ekonomi. Program-program tersebut akan terus diperbaiki. Dalam konteks ini, Organisasi Penyandang Disabilitas (DPO) berperan penting dalam mendampingi penyandang disabilitas untuk bertahan di tengah pandemi.

Menyambung peran penting DPO bagi penyandang disabilitas, Ketua HWDI Maulani A Rotinsulu mengatakan, selama ini DPO telah aktif berkomunikasi dengan pemerintah selaku aktor pelaksana pembangunan. Idealnya, DPO merupakan mitra pemerintah yang bisa berpartisipasi secara penuh dan bermakna dalam setiap tahapan pembangunan guna memastikan keselarasan program dengan aspirasi serta kebutuhan penyandang disabilitas. Namun, pelaksanaannya kerap tidak sesuai dengan prinsip tersebut. Dalam proses penyusunan regulasi dan kebijakan, misalnya, ia masih kerap menemukan munculnya produk regulasi maupun kebijakan yang tidak dikomunikasikan dengan DPO yang terkait. Akibatnya, isi produk tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas. “Ada yang ketika ada perubahan itu (DPO) di-update, tapi sebagian besar tidak di-update. Jadinya kita merasa dikhianati,” ucapnya.

Senada dengan itu, Ketua Yayasan CIQAL Nuning Suryaningsih mengatakan bahwa hak politik penyandang disabilitas belum dipenuhi secara adil dan merata. Padahal, pemenuhan hak politik bagi seluruh rakyat merupakan amanat undang-undang. Dalam pelaksanaan pemilihan umum (pemilu), misalnya, kebutuhan kelompok rentan dan penyandang disabilitas belum sepenuhnya dipenuhi. Di tahap pendataan pemilih, keberadaan penyandang disabilitas kerap kali diabaikan sehingga tidak masuk dalam daftar pemilih. Saat penyaluran suara, kebutuhan penyandang disabilitas kurang diakomodasi sehingga menghambat penyaluran hak politik mereka. Kondisi semacam itu salah satunya terjadi karena penyelenggaraan pemilu tidak melibatkan DPO.

Kurangnya pelibatan DPO dalam pembangunan juga disoroti oleh Wakil Direktur SAPDA Fatum Ade. Berdasarkan riset SAPDA di wilayah DI Yogyakarta, pandemi telah membuat perekonomian penyandang disabilitas porak poranda. Banyak dari mereka yang kehilangan pekerjaan. Alih-alih mendapat solusi ekonomi, pemerintah justru mengesahkan UU Cipta Kerja yang isinya tidak mendukung upaya pemenuhan hak penyandang disabilitas. Penyusunan UU tersebut tidak melibatkan penyandang disabilitas. “UU ini menghilangkan hak-hak penyandang disabilitas dalam aksesibilitas bangunan. Mengenai ketenagakerjaan, yang diutamakan (UU ini) adalah fleksibilitas pasar, bukan mengakomodasi penyandang disabilitas,” ujarnya.

Desty Endah Nurmalasari yang merupakan penyandang disabilitas mental menuturkan, ia aktif di dua organisasi penyandang disabilitas di desanya sehingga beberapa kali diajak mengikuti rapat perencanaan pembangunan di desa. Namun, ia merasa tidak diberi kesempatan untuk turut menyusun kebijakan desa seperti peserta rapat lainnya. Di bidang yang lain, ia merasa peluang kerja bagi penyandang disabilitas seperti dirinya sangat terbatas karena dianggap tidak mampu untuk bekerja. Padahal jika diberi kesempatan yang setara, ia yakin akan bisa bekerja dengan baik.

Diberi ruang

Antoni Tsaputra membagikan pengamatannya ketika tinggal di Australia. Sebagai penyandang disabilitas, Antoni terhubung dengan sejumlah DPO di Negara Bagian New South Wales. Ia melihat, DPO di negara tersebut sangat berperan dalam menentukan arah kebijakan pemerintah terkait inklusivitas layanan. DPO berpartisipasi penuh dari perencanaan, implementasi hingga evaluasi kebijakan. Semua itu bisa terjadi karena DPO di wilayah tersebut diberi ruang partisipasi yang seluas-luasnya serta diberi dukungan sumber daya baik berupa dukungan keuangan maupun akses ke dana-dana hibah. “DPO tidak hanya menuntut partisipasi, tetapi mereka diberi ruang partisipasi seluas-luasnya,”  ungkapnya.

Dukungan ruang dan sumber daya itu terlihat dampaknya di masa pandemi. Di Australia, DPO sangat berperan dalam menghadirkan respons kebijakan pandemi yang inklusif. Mereka bisa dengan cepat menyusun protokol kesehatan bagi anak penyandang disabilitas, panduan penyediaan layanan kesehatan bagi pasien disabilitas, panduan layanan prioritas dari supermarket bagi penyandang disabilitas yang terdaftar dan sebagainya.

Melihat hal itu, DPO di berbagai daerah di Indonesia menurutnya perlu menegaskan posisinya sebagai mitra sejajar pemerintah yang bisa memengaruhi kebijakan pembangunan. “Harus bisa menolak jika hanya dijadikan obyek program dan perpanjangan tangan,” tandasnya. 

Direktur Eksekutif Yayasan Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK) Abdul Rahman menyampaikan, pihaknya telah berperan aktif dalam perencanaan pembangunan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Bersama DPO lainnya, mereka terlibat aktif dalam mengusulkan serta mengawal kebutuhan penyandang disabilitas yang perlu diakomodasi dalam pembangunan dan mengusukan anggaran yang inklusif. Mereka juga akan terlibat dalam penyusunan rencana pembangunan lima tahun yang diadakan Bappeda Kota Makassar pada 2021 mendatang. “Peran DPO penting untuk terlibat dalam musrenbang dari tingkat kota, kelurahan sampai RT/RW,” ucapnya.

Menutup sesi interaktif, Fajri Nursyamsi yang merupakan direktur advokasi dan jaringan PSHK Indonesia menekankan bahwa menjadi penting untuk menghadirkan isu-isu terkait akomodasi bagi penyandang disabilitas secara menyeluruh diruang publik sebagai respon dari peraturan-peraturan yang telah ada yang menanamkan konsep kesetaraan. Karena selama ini regulasi telah diterbitkan tetapi tidak dibarengi dengan pemahaman konsep akomodasi bagi penyandang disabilitas secara holistik. Oleh karena itu, DPO memegang peran penting untuk mendokumentasikan setiap fase-fase perjuangan yang dilakukan oleh DPO sebagai bagian dari produksi pengetahuan dan pembelajaran kedepannya.

Diskusi interaktif KSIxChange#30 mempertemukan pemangku kebijakan, organisasi penyandang disabilitas dan lembaga penelitian kebijakan yang terdiri dari Kementerian PPN/Bappenas, Bappeda Kota Padang, SAPDA, Pusat Rehabilitasi YAKKUM, HWDI, Yayasan CIQAL, Yayasan PerDIK dan dipandu oleh Fajri Nursyamsi perwakilan dari PSHK Indonesia dalam rangka memperingati Hari Disabilitas Internasional 2020 dengan mengusung tema terkait peran organisasi penyandang disabilitas dalam konteks pembangunan pasca COVID-19 di Indonesia.

  • Share: