Kebijakan di Indonesia Perlu Berlandaskan Pengetahuan dan Inovasi

Pada Bulan Juli 2020, KSI kembali menggelar kunjungan media. Bersama CIPG dan PSHK, kami bertemu dengan tim redaksi Harian Kompas. Pesan yang sama tentang urgensi ekosistem pengetahuan dan inovasi telah disuarakan. Diskusi tersebut menghasilkan salah satu liputan media yang mengangkat tentang kebijakan di Indonesia yang perlu didasarkan pada pengetahuan dan inovasi. Unduh artikel lengkapnya melalui tombol di bawah ini

Kebijakan di Indonesia Perlu Berlandaskan Pengetahuan dan Inovasi

(Only available in Bahasa Indonesia - This article has been published on Kompas, July 28, 2020 )

Kebijakan yang diambil pemerintah perlu didasarkan pada pengetahuan dan inovasi. Selain itu, kelemahan dalam perencanaan dan penyusunan membuat sejumlah kebijakan tumpang tindih satu sama lain.


Perencanaan lemah, antara lain, karena tidak melibatkan lembaga penelitian dan pengembangan saat menyusun kebijakan.


Menurut penasihat senior pada Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), Yanuar Nugroho, diperlukan kerangka ilmiah yang mampu menghasilkan kebijakan yang tepat sasaran. Oleh karena itu, pengembangan pengetahuan dan inovasi melalui riset yang memadai mutlak dilakukan. Sayang, pemerintah masih lebih berkutat pada kebijakan–kebijakan yang berkaitan dengan ekonomi.


”Padahal, menuju visi Indonesia Maju pada 2045 tak melulu soal ekonomi. Ada pilar penting lainnya yang masih terabaikan, yaitu pembangunan manusia serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi,” ujar Yanuar dalam diskusi dengan Kompas secara dalam jaringan, Selasa (28/7/2020).


Mengenai kesulitan menerapkan kerangka berpikir ilmiah dalam pengambilan kebijakan di Indonesia, menurut Yanuar, hal itu disebabkan beberapa faktor, antara lain diabaikannya peran ilmu sosial. Selama ini, kebijakan pembangunan di Indonesia lebih banyak berorientasi pada ekonomi. Aspek lain, seperti sosial, budaya, dan ekologi, menjadi kurang berkembang.


”Masalah ekonomi masih menjadi panglima dalam pembangunan di Indonesia. Diperlukan lebih banyak investasi di sektor lain, yaitu penelitian dan pengembangan,” kata Yanuar.


Dalam paparannya, Yanuar menyebutkan, anggaran penelitian di Indonesia pada tahun ini yang sebesar Rp 6,7 triliun masih dianggap terlampau kecil bagi peneliti. Sementara negara tetangga, seperti Singapura, mengalokasikan 3,5 persen dari produk domestik bruto (PDB) negara tersebut untuk penelitian. Korea Selatan menganggarkan dana penelitian sebesar 3,7 persen dari PDB dan akan dinaikkan menjadi 5 persen dalam beberapa waktu mendatang.


Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Gita Putri Damayana menambahkan, kebijakan yang disusun dan tidak menyesuaikan dengan rencana pembangunan akan menimbulkan masalah. Hal itu terjadi di Indonesia, yakni banyak kebijakan yang tumpang tindih satu sama lain.
”Dampaknya, investor enggan masuk karena kebijakan dan regulasi yang tumpang tindih di Indonesia tersebut. Selain itu, pangkal masalah lainnya adalah banyak peraturan yang dibuat di luar perencanaan,” ujar Gita.


Dalam catatan PSHK, sekitar 90 persen peraturan pemerintah (PP) dan peraturan presiden (perpres) dibuat di luar program penyusunan. Pada 2018, misalnya, dalam program penyusunan rancangan PP yang sebanyak 43 aturan, hanya tiga yang sesuai rencana. Lainnya, yakni 45 PP, disusun di luar rencana program penyusunan.
Begitu pula dalam hal rancangan perpres pada 2018 yang diagendakan sebanyak 30 aturan. Kenyatannya, hanya 3 perpres yang sesuai dengan program penyusunan dan 124 perpres lahir di luar rencana program penyusunan.


”Harus ada sinkronisasi agenda pembangunan dengan perencanaan, monitoring, serta evaluasi peraturan perundang–undangan,” kata Gita.

  • Share: