Only in Bahasa Indonesia - This article has been published on Kompas, August 25, 2020
Dunia sedang dilanda resesi demokrasi. Dalam laporan terbarunya, Freedom House (2020) mencatat 25 dari 41 negara demokrasi yang telah mapan mengalami kemerosotan demokrasi selama 14 tahun berturut-turut. Indonesia tanpa terkecuali. The Economist Intelligence Unit mencatat indeks demokrasi Indonesia menurun tiga tahun berturut-turut. Pada 2016, Indonesia masih menempati peringkat ke-48 dari 167 negara yang distudi.
Kini, peringkat demokrasi Indonesia terjerembap ke peringkat 64 dengan skor hanya 6,39. Artinya, kita berada di dasar paling bawah kategori “flawed democracies” (negara demokrasi yang cacat). Menurut lembaga pemeringkat demokrasi terkemuka tersebut, rapor merah Indonesia terletak pada kebebasan sipil dan kultur politik, terutama menguatnya intoleransi dan politik identitas.
Pertanyaannya adalah apakah regresi demokrasi di Indonesia semata-mata karena perilaku elite politik, atau apakah ada faktor pendorong yang lain? Apakah publik punya kontribusi terhadap erosi demokrasi kita? Menunjuk elite sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas kemunduran demokrasi adalah perkara yang mudah. Studi telah menunjukkan bahwa aktor utama di balik kemunduran demokrasi di dunia adalah elite politik, seperti kasus Donald Trump di Amerika Serikat, Vladimir Putin di Rusia, atau Viktor Orbán di Hungaria.
Namun, menganggap publik seperti makhluk suci yang tak berdosa juga sebentuk kenaifan tersendiri. Studi Aspinall, Fossati, Muhtadi, dan Warburton (2019) menemukan bahwa resesi demokrasi yang kita alami juga disumbang oleh sikap illiberal dan otoritarian di kalangan warga yang diukur melalui kurangnya dukungan terhadap checks and balances, pluralisme, dan lain-lain. Studi Mietzner dan Muhtadi (2018) juga menunjukkan naiknya tren intoleransi politik dan religio-kultural di kalangan pemilih yang membuat indeks demokrasi kita merosot. Eurasia Group menambahkan, faktor politik identitas dan pasca-kebenaran (post-truth) yang turut meracuni publik, sehingga pilihan elektoral mereka terkontaminasi virus jahat.
Jadi mengklaim bahwa publik kita adalah benteng demokrasi (democratic bulwark) tanpa mengakui adanya budaya politik yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi bisa menjebak kita pada romantisisme. Para ahli umumnya mendasarkan demokrasi terkonsolidasi semata-mata karena dukungan warga Indonesia terhadap demokrasi sebagai sistem (Diamond, 2010). Mereka lupa demokrasi bukan semata-mata preferensi terhadap rezim demokrasi, atau partisipasi elektoral lima tahunan, tetapi juga pengakuan terhadap nilai-nilai substansi demokrasi, seperti kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, toleransi, dan lain-lain.
Ironisnya, warga berpendidikan tinggi sekalipun tidak menjamin mereka bersikap lebih baik. Studi Nick Kuiper dan Mujani (2020) membuktikan, bahkan kelompok berpendidikan tinggi justru yang paling percaya disinformasi atau hoaks di Indonesia. Potret yang sama terjadi di arena elektoral. Studi penulis dalam Vote Buying in Indonesia: The Mechanics of Electoral Bribery (2019) juga menemukan tingkat pendidikan kita tidak berkorelasi dengan insiden politik uang. Seharusnya pendidikan mampu mengajarkan bahwa malapraktik elektoral, seperti politik uang, bertentangan dengan demokrasi, dan karenanya haram dilakukan.
Daftar masalah demokrasi illiberal kita makin bertambah panjang seiring dengan menguatnya polarisasi yang membelah warga berdasarkan sikap partisan yang merusak akal sehat. Polarisasi antarkubu cebong dan kampret bahkan menjalar di luar isu-isu elektoral. Masalah serius yang membutuhkan solusi teknokratik, seperti ketimpangan sosial (Muhtadi dan Warburton, 2020) atau pandemi (Soderborg dan Muhtadi, 2020) bahkan di-frame secara partisan. Akibatnya kita kehilangan kesempatan berharga untuk menilai sesuatu secara objektif. Apalagi pada saat yang sama politisi bukannya melakukan edukasi politik, tetapi mereka justru memanfaatkan kondisi tersebut untuk kepentingan elektoral.
Singkatnya, publik turut bertanggung jawab atas dekonsolidasi demokrasi yang kita alami. Untuk itu, demokrasi harus dikembalikan pada rel akal sehat, akal budi, dan budi luhur. Michael Waldman, dalam A Return to Common Sense (2008) mengatakan, agen utama dalam merevitalisasi demokrasi akal sehat adalah rakyat itu sendiri. Agar demokrasi bisa berlandaskan akal budi, rakyat harus aktif dan terinformasi (informed public). Akal sehat bisa menjadi kata kunci imperatif jika publik berdaya dengan informasi yang memadai, sehingga tidak dipermainkan oleh politisi.
Studi telah lama menunjukkan bahwa semakin terinformasi seorang warga dengan isu-isu publik, semakin baik kualitas pilihan dan sikap politiknya (Andersen et al., 2005). Hal ini karena informed public menjadikan informasi dan pengetahuan sebagai panglima. Karena itu, dua hal harus dilakukan dalam rangka mewujudkan demokrasi berakal budi.
Pertama, perlu sikap aktif publik agar menjadikan bukti dan pengetahuan sebagai dasar (ex-ante) dan bukan sebagai pembenaran (ex-post). Kedua, lembaga atau institusi yang mampu menjembatani dan mengadvokasi pentingnya pengetahuan, seperti media massa dan LSM harus aktif memfasilitasi pengetahuan dan data kepada publik. Ruang publik akan lebih sehat jika media menjadi mediator yang memasok informasi yang berkualitas.
Membudayakan demokrasi berakal budi tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi di era digital seperti saat ini: pengaruh knowledge intermediaries konvensional, seperti media massa makin berkurang karena gempuran media sosial. Dalam banyak kasus, media sosial justru mempersulit agenda demokrasi berakal budi. Akal sehat sering dikebiri oleh polarisasi. Gejala echo-chamber menjebak warganet dalam ruang gema dan mendorong mereka selektif dalam memilih informasi. Jika informasi yang masuk bertentangan dengan sikap politiknya, maka ia akan menolak terlepas dari betapapun akurat. Namun, jika informasi datang dari kelompoknya atau sesuai dengan garis politiknya, maka informasi tersebut akan disebarluaskan, meskipun palsu.
Justru karena itulah, perlu sikap aktif informed public untuk mengembalikan akal sehat dalam diskursus di ruang publik. Jika tidak, ruang publik kita makin keruh dan beracun, dan erosi demokrasi akan terus terjadi.